JAHULA DAN HARINYA

Si Jahula kembali beraksi pagi ini. Mencoba mahir tidak hanya di depan kompor. Namun, juga lihai di depan layar komputer.

Sepuluh jari ini, kini tak hanya akrab dengan bumbu dapur, tusuk sate, dan satu kilo adonan donatkeong. Karena kini, mereka mulai membuka diri dan rutin berlatih, menari di antara papan Qwerty. Usia tak boleh lagi menjadi pengganggu konsentrasi, karena Jahula semakin tahu diri bahwa menjadi tua adalah sebuah kepastian. Akan tetapi, untuk menjadi dewasa adalah juga sebuah pilihan yang tak pernah sepi dari lembar ujian.

Mungkin ada yang sedang bertanya-tanya, bagaimana kabar rutinitas Jahula, pagi ini. Tak perlu, lah, ditanya karena hati Jahula sedang menahan rindu setengah mati. Rindu pada dapur, tempat di mana ia biasa mengolah donat di kala semua orang masih terlelap dalam mimpi. Rindu pada rumah, di mana ia pertama kali belajar membangun singgasana mimpi. Rindu pada istana tanpa kabel, di mana untuk pertama kalinya pintu menuju gudang mimpi terbuka lebar dan dapat ia masuki.

 
Jahula meringis perih. Hatinya berdenyut setiap kali mulai mengingat kisah indah yang ia dapati saat berada di dalam gudang mimpi. Mengingat seratus delapan puluh virus wormshortcut yang tiba-tiba menyerang komputer yang ia gunakan, membuat Jahula tertawa geli. Berteriak sambil berjingkrakan, mengingat di dunia nyata ia memang takut dengan hewan invertebrata. Tak pernah ia menyangka bahwa akan menjumpai hewan itu di dunia maya. 

Si Jahula terus memutar ingatannya pada masa lalu, demi menghibur dirinya dari kesedihan yang menyapanya pagi ini. Kembali pada kelanjutan tragedi virus cacing potong-pendek, membuat Jahula kembali mengerutkan keningnya. "Ternyata, dulu dan sekarang tetap tak jauh berbeda," batin Jahula, lirih bersuara diiringi dengan embusan napasnya yang berat. 

***

"Apa pun yang kamu cari, cari di Google. Dan, ingat satu hal ... setelah ini, kamu harus siap saya lepas berlayar sendiri ke tengah lautan," jawab salah satu tenaga IT yang dipasrahi untuk menjadi pendamping selama ia menjadi peserta didik di sana. 

Tentu saja Jahula patah hati dan mulai sedikit putus asa. "Apa gunanya kita menempati ruangan bersama-sama, jika untuk saling berkomunikasi dan bertukar ilmu harus terlebih dulu bertanya pada mesin?" Lagi-lagi, Jahula mulai menggerutu pada dirinya sendiri.

"Sudah, jangan terlalu diambil pusing. Semua itu cuma masalah mindset," ujar tenaga IT yang lainnya, tanpa lupa memberi semangat pada Jahula.

"Betapa kasihannya si bayi jika sang bunda benar menerapkan mindset itu di kepalanya. Kamu akan bisa berjalan jika sudah saatnya dan kelak, kamu akan menempuh perjalanan hidupmu sendiri? Apa benar bisa seperti itu? Tanpa pengajaran, atau bimbingan? Lalu, sentuhan lembut, wejangan, pundak untuk bersandar, apakah semua juga serta-merta menghilang bersamaan dengan perahu layar kita yang telah dihempas ke tengah lautan begitu saja?"

***

Ada apa dengan kata 'mindset,' sebenarnya? Beberapa tahun berlalu, tetapi Jahula tetap tak bisa menemukan jawabannya. Atau mungkin, karena memang ia saja yang terlalu bodoh dan lamban dalam berpikir sehingga tak mampu mencerna gambaran-gambaran yang kerap hadir mengisi benaknya setiap kali mencoba menerapkan penjelasan kata Maindset yang pernah ia terima.

"Err ...." Kini Jahula sibuk menggaruk-garuk kepalanya, lalu berbicara pada dirinya sendiri. "Mindset. Feedback. Talaqi? Proses berpindahnya ilmu sesuai dengan saat penyampaian. Haddatsana, amba'ana, gila wa qola, begini dan begitu." Jahula terus bergumam dan membuatnya terlihat seperti orang yang mulai kehilangan akal.

"Apa mungkin, selama ini memang cara berpikirku yang salah? Dunia ada sebagai cerminan akhirat yang akan datang. Aku pikir, menjadi pintar tanpa guru serta bimbingan akan bisa menjadi sebuah ancaman, karena selalu dikatakan telah berguru dengan setan. Ya, seperti sebuah virus yang sengaja diciptakan, apa benar untuk menciptakan teror, atau justru membuka ajang selebriti yang baru. Anti virus yang dicekal, terkadang justru sengaja menawarkan dirinya pada pembuat virus yang handal, dan mereka pun berkongsi demi meraup keuntungan. Sungguh, musuh abadi semakin lihai memainkan perannya. Tak peduli dari depan, belakang, atas, bawah, samping kiri dan kanan, bahkan sampai menyasar aliran darah, seakan-akan tak ada celah yang tak bisa ditembus olehnya." 

Kali ini, Jahula bangkit dari duduknya, dan perlahan berjalan mendekati cermin besar yang terpasang di dinding kamarnya. Lama ia mematung dan sengaja mendekatkan wajahnya pada cermin, itu. "Satu, dua, tiga ...." Rupanya, Jahula tengah menghitung kerutan yang mulai menghias di sudut matanya.

"Kecuali hamba-hambaKu yang dimurnikan ...." Nampak Jahula mulai kembali pada kegiatannya semula, berbicara pada dirinya sendiri.

Masih memandangi pantulan dirinya di dalam cermin, Jahula memandangi dirinya sendiri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meraba beberapa helai rambutnya yang mulai memutih, dan tatapan matanya pun kembali terlihat menerawang jauh. 

"Andai saja, aku bisa jadi salah satu hamba yang dimurnikan itu. Tak peduli dari arah mana musuh abadi menyerang, karena yang aku tuju hanyalah Sang Mahasatu. Kun aliman wala takun jahulan, ajari si jahula ini sampai menjadi pintar dengan cara yang benar. Ajari jahula ini menangkap setiap yang tersirat pada yang telah tersurat, agar dapat berhenti jalan di tempat dan mulai bergerak pada titik akhir yang dituju. Sahih, hasan, ghorib, muttafaqun alaih, ah ... diri ini hanya berusaha menjadikan masa hidupnya bermanfaat. Berhenti bingung dan memutus keraguan, karena sadar setiap gerak yang aku buat adalah bagian dari penyembahan."

***

Perlahan, bulir hangat mulai membasahi pipi tirusnya. Sepertinya, kali ini Jahula sengaja membebaskan air matanya keluar begitu saja. Masih mematung di hadapan cermin, Jahula sengaja menampung setetes air mata di ujung jari telunjuknya, lalu entah dengan tujuan apa ia menorehkan air mata itu pada cermin. 

"Rambutku semakin memutih, Yaa Rabb .... Garis-garis halus mulai menghias sudut mataku sementara aku masih terus terombang-ambing dalam perahu layarku." Jahula berkata, lalu bergegas kembali pada tempat duduknya semula. 

Setelah cukup banyak menguras air mata, nampaknya bohlam kecil mulai menyala di atas kepalanya. Jahula pun mengulas senyum di wajah sayunya, sebelum akhirnya kembali memainkan jemarinya di atas papan kunci. Dari gerak jarinya yang terlihat lincah mengetik tanpa henti, sepertinya Jahula telah menemukan harinya.

Komentar

Postingan Populer