Agenda bilik in polybag - Pakai ini, Mata hati.
Lewat mereka aku belajar waktu keimanan turun dan kesulitan mencari jalannya syukur. Mulanya harus ke stasiun dulu untuk bisa bertemu, tapi sekarang dari lapangan alap-alap aku sudah bisa melihat mereka walau dari kejauhan. Iedul Fitri 2009, saat untuk pertama kalinya aku melihat sebuah pemandangan yang mengajarkan aku tentang arti kata, Syukur.
Mereka jalan berbaris, persis seperti anak TK saat bermain ular naga panjang. Ada beberapa baris kulihat dihari itu, tak seperti hari-hari biasanya yang kulihat saat sengaja berlama-lama duduk seorang diri ditepi lapangan menikmati senja. Dan selalu, pemandangan yang paling menyentuh adalah bagian yang ada dibarisan paling depan. Anak-anak kecil usia tak lebih dari tiga sampai lima tahun dan beda yang paling jelas terlihat dari anak-anak seusia mereka pada umumnya adalah mereka berjalan didepan, bukan disamping atau sengaja bermanja-manja dalam buaian sang bunda atau menggelayut dipundak sang ayah. Mereka menuntun bukan dituntun, seperti layaknya usia kumpul bocah yang masih terbebas dari kata "kewajiban dan tanggung jawab." Menjadi penunjuk jalan untuk orang dewasa yang ada dibelakang mereka, tanpa tongkat tentunya melainkan dengan sepasang bola mata yang dapat melihat indahnya dunia.
Kedua bola mata bulat sempurna, menatap lugu apapun yang ada disekitarnya, walau sesekali berlarian sengaja memisahkan diri dari barisan, namun tanpa menunggu perintah atau komando dari orangtua dan keluarga yang sedang mereka pimpin, tak berlama-lama bermain dengan sendirinya segera kembali dalam barisan, dan kembali pula menjadi penunjuk jalan.
Ah, walaupun melihat hanya dari kejauhan, aku masih bisa mendengar canda dan tawa mereka. Iya, para pemilik gelap yang selalu bergelimang cahaya. Senyuman yang selalu menghias wajah mereka, yang seringnya berbanding terbalik dengan para pemilik panca indera yang lengkap dan sempurna. Hemhh, semoga benar prasangkaku bahwa kesyukuran senantiasa melimpah ruah ditengah-tengah mereka.
Bersyukur bukan karena apa dan siapa kita, atau besyukur karena Sang Pencipta telah memberi kita sesuatu yang berharga dengan menjadikan kita seseorang yang besar saat di dunia. Bersyukur ternyata juga tak harus menunggu kita berada dalam satu baju yang sama, saling menatap dan mengenal lebih dekat. Bersyukur tak hanya dengan lisan namun juga dengan hati, dari hati.
Dari para pemilik gelap aku banyak belajar, walau seumur hidup mereka tinggal dalam kegelapan namun mereka selalu ingat untuk mengenalkan indahnya cahaya pada keturunan mereka berikutnya. Meski tak mendapat kesempatan untuk melihat indahnya dunia, namun mereka tak pernah lupa untuk menyelipkan kisah-kisah indah pada keturunan mereka. Berbagi kebahagiaan saat melahirkan keturunan yang akan menceritakan langsung pada mereka betapa indahnya dunia.
Iya, berbagi cerita tak hanya dengan mata, tapi juga dengan hati.
Komentar
Posting Komentar