Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez
Bilik sakit, tiba-tiba saja sikat cuci melayang jatuh dari atas
lemari. Taak, duk …! Mendarat mulus lumayan keras, tepat di atas tubuhnya. Seketika
itu juga Bilik pun tak sadarkan diri.
Pagi hari Bilik masih bisa bersenandung riang, mengalunkan suara
merdu Iwan Fals dengan singlenya berjudul Ibu. Tong kosong milik Slank, Kasih tak Sampai-nya
Padi, Bilik setia menemani saat tangan sibuk berselancar di atas kain, dengan
setrika jadul milik Mak-nyi’.
Malam hari jeda beberapa jam setelah tertimpa sikat cuci, Bilik
mengeluarkan suara berat saat dihidupkan, gambar yang muncul di layar
bertumpuk-tumpuk kemudian hilang, lalu yang muncul hanyalah warna hitam dan satu
garis putih. Saat tombol power ditekan kembali untuk dimatikan, Bilik tetap tak
memberikan jawaban. Seperti tak ada lagi tanda-tanda kehidupan, tapi warna
hijau yang menyala menandakan Bilik belum mati benar.
“Mungkin gara-gara ketimpa sikat sore tadi, Bund.” Suamiku berkata,
hampir sama putus asanya seperti aku, karena ia pun tahu Bilik adalah
perantaraku merajut mimpi, “lagian, kenapa naro sikat cuci di atas lemari?” sambungnya
lagi.
Hemh, sikat cuci itu sudah sebulan lebih ada di atas lemari, hampir
tiga hari sekali kugunakan untuk membersihkan karpet alas tidur kami. Tak
pernah sekali pun sikat itu jatuh walau aku letakkan sembarangan setiap kali
selesai kupakai. Tapi kenapa hari ini bisa jatuh persis di atas bilik, cuma
gara-gara kesenggol kain lap yang juga ada di atas lemari?
“Udah, jangan sedih gitu. Nanti kalo bunga laku kita betulin di le’
pendi, ya?” Suamiku masih berusaha menenangkan, karena melihat rona wajahku
yang mulai kaku. Sempat terheran-heran karena melihat airmukaku yang terlihat
begitu datar. Sempat panik juga dia bilang, karena takut tiba-tiba aku menjadi
histeris.
“Kalaupun aku sedih, itu bukan karena Bilik rusak hari ini, Mas.
Tapi karena aku tau Bilik bakal rusak dalam waktu dekat. Yang bikin aku sedih
teh, aku kadang tahu hal-hal yang bakal aku alamin tapi aku nggak bisa berbuat
apa-apa.” Aku berusaha melupakan suara-suara yang kudengar, percakapan ringan
tapi berisi sumpah serapah yang ditujukan padaku dan ternyata tak menunggu
waktu lama untuk jadi kenyataan. Salah aku apa?
“Udah, nggak usah dipikirin. Do’a aja akhir bulan kita bisa beli komputer,
okeh?” Suamiku terus menghibur.
Hemh, do’a barokah kubaca waktu pertama kali bilik sampai di tangan. Kuusap dengan segenap harap
bahwa dengannya aku bisa mulai bekerja, menjemput mimpi, merajut asa. Merekam
semua yang terjadi dalam hidupku melalui kumpulan kata dan mengubahnya menjadi sebuah
Buku.
Kembali bertanya tentang keadilan, sedangkan diri sudah pernah
berjanji untuk berhenti mempertanyakan tentang segala bentuk bukti kuasa-Nya.
Benarkah Allah Maha Penyayang? Maha Pemurah?
Yaa Mujib, Yaa Tawwab, Ya Allahuladzi laa ilaha illa anta … sedang
kembali kufurkah aku ini? Yaa Mabsuthothan, satu-satunya yang kuminta untuk
Engkau bentangkan adalah Naungan-Mu, bukti bahwa apa yang telah kupilih untuk kuyakini
adalah benar-benar Rohmatan lil alamin, terlepas dari nubuat yang pasti terjadi.
Namun aku yakin, ada peluang untuk menunda di balik janji itu. Iya, hanya
menunda … karena seiring bertambahnya usia semakin menyadarkan aku bahwa hidup
benar ada masanya. Untuk dimulai, untuk diselesaikan.
Istirahat yang tenang dalam paragon, Bilik. Maaf, aku tidak bisa
menjagamu dengan baik.
Komentar
Posting Komentar