Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez


        1.      30 April 2013     

Bilik sakit, tiba-tiba saja sikat cuci melayang jatuh dari atas lemari. Taak, duk …! Mendarat mulus lumayan keras, tepat di atas tubuhnya. Seketika itu juga Bilik pun tak sadarkan diri.

Pagi hari Bilik masih bisa bersenandung riang, mengalunkan suara merdu Iwan Fals dengan singlenya berjudul Ibu. Tong  kosong milik Slank, Kasih tak Sampai-nya Padi, Bilik setia menemani saat tangan sibuk berselancar di atas kain, dengan setrika jadul milik Mak-nyi’.

Malam hari jeda beberapa jam setelah tertimpa sikat cuci, Bilik mengeluarkan suara berat saat dihidupkan, gambar yang muncul di layar bertumpuk-tumpuk kemudian hilang, lalu yang muncul hanyalah warna hitam dan satu garis putih. Saat tombol power ditekan kembali untuk dimatikan, Bilik tetap tak memberikan jawaban. Seperti tak ada lagi tanda-tanda kehidupan, tapi warna hijau yang menyala menandakan Bilik belum mati benar.

“Mungkin gara-gara ketimpa sikat sore tadi, Bund.” Suamiku berkata, hampir sama putus asanya seperti aku, karena ia pun tahu Bilik adalah perantaraku merajut mimpi, “lagian, kenapa naro sikat cuci di atas lemari?” sambungnya lagi.

Hemh, sikat cuci itu sudah sebulan lebih ada di atas lemari, hampir tiga hari sekali kugunakan untuk membersihkan karpet alas tidur kami. Tak pernah sekali pun sikat itu jatuh walau aku letakkan sembarangan setiap kali selesai kupakai. Tapi kenapa hari ini bisa jatuh persis di atas bilik, cuma gara-gara kesenggol kain lap yang juga ada di atas lemari?

“Udah, jangan sedih gitu. Nanti kalo bunga laku kita betulin di le’ pendi, ya?” Suamiku masih berusaha menenangkan, karena melihat rona wajahku yang mulai kaku. Sempat terheran-heran karena melihat airmukaku yang terlihat begitu datar. Sempat panik juga dia bilang, karena takut tiba-tiba aku menjadi histeris.

“Kalaupun aku sedih, itu bukan karena Bilik rusak hari ini, Mas. Tapi karena aku tau Bilik bakal rusak dalam waktu dekat. Yang bikin aku sedih teh, aku kadang tahu hal-hal yang bakal aku alamin tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa.” Aku berusaha melupakan suara-suara yang kudengar, percakapan ringan tapi berisi sumpah serapah yang ditujukan padaku dan ternyata tak menunggu waktu lama untuk jadi kenyataan. Salah aku apa?

“Udah, nggak usah dipikirin. Do’a aja akhir bulan kita bisa beli komputer, okeh?” Suamiku terus  menghibur.

Hemh, do’a barokah kubaca waktu pertama kali bilik  sampai di tangan. Kuusap dengan segenap harap bahwa dengannya aku bisa mulai bekerja, menjemput mimpi, merajut asa. Merekam semua yang terjadi dalam hidupku melalui kumpulan kata dan mengubahnya menjadi sebuah Buku.

Kembali bertanya tentang keadilan, sedangkan diri sudah pernah berjanji untuk berhenti mempertanyakan tentang segala bentuk bukti kuasa-Nya. Benarkah Allah Maha Penyayang? Maha Pemurah?

Yaa Mujib, Yaa Tawwab, Ya Allahuladzi laa ilaha illa anta … sedang kembali kufurkah aku ini? Yaa Mabsuthothan, satu-satunya yang kuminta untuk Engkau bentangkan adalah Naungan-Mu, bukti bahwa apa yang telah kupilih untuk kuyakini adalah benar-benar Rohmatan lil alamin, terlepas dari nubuat yang pasti terjadi. Namun aku yakin, ada peluang untuk menunda di balik janji itu. Iya, hanya menunda … karena seiring bertambahnya usia semakin menyadarkan aku bahwa hidup benar ada masanya. Untuk dimulai, untuk diselesaikan.

Istirahat yang tenang dalam paragon, Bilik. Maaf, aku tidak bisa menjagamu dengan baik.

Komentar

Postingan Populer