Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez

30 Mei 2014

"Halu … ono opo, Neng?" Adem rasanya hati mendengar suara wanita yang sudah dengan sabar mengandungku dalam rahimnya selama 9 bulan.

Meskipun dengan masa kehamilan yang dilematis, karena dari awal jabang bayi numpang di rahimnya ia jadi punya kebiasaan yang agak kurang lazim. Bersembunyi di kolong tempat tidur atau sengaja mencari sudut rumah cuma gara-gara takut terkena sinar matahari. Ditambah lagi dengan proses melahirkan yang lumayan melankolis, karena aku pasti nangis bawang tiap kali ibuku menceritakan proses kelahiranku.

Kembar darah, ibuku bilang. Karena saat proses melahirkan, aku dilahirkan dalam keadaan kering, taka da setetes pun darah ataupun cairan lain yang menempel di badanku. Baru setelah melahirkan, darah terus mengalir sampai-sampai ibuku harus ditransfusi darah.

"Mboten enten nopo-nopo. Benjing la' tanggal 1 juni, Mim …,” jawabku setengah berbisik, tak hanya pada gawai dalam genggamanku tapi juga di telinga suamiku yang masih terbungkus rapat oleh selimutnya.

"Iyo eroh, Teflon, seh?" Ternyata suamiku menyimak pembicaraan kami dan menjawab kode yang kuberikan, lalu semakin merapatkan selimut.

"Iya, ya … besok ada yang meta'un yah? Tuh bocah dua juga lagi sibuk ngerayu Mami, minta beliin pulsa. Katanya mau ngenpon Jibun, mau ngasih ucapan selamat ulang tahun." Seperti biasa, ibuku kemudian mulai bercerita tentang hari-hari yang dilaluinya.

Ah, Unyilku sayang … ternyata aku pun tak bisa menjadi Arjuna untukmu. Yang tetap bisa menarik busur panahnya, walaupun tertimbun reruntuhan batu untuk mencegah airmata Dewi Kunti jatuh ke bumi. Sementara aku? Entah sudah berapa kali aku menjadi penyebab airmatamu jatuh membasahi pipi.

"Sabar ya, Mim. Nanti kalo buku Nie’ jadi, baru bisa bikin keluarga kita berenti diremehin orang," kubilang, begitu mendengar ceritanya tentang muka masam yang ia dapat dari penjaga Ub karena lagi-lagi terpaksa berhutang.

"Iya, pak Mario Teguh juga kan ngajarin gitu, minggu kemaren. Mami sih nangkep yang Mami bisa aja. Kalo bahasanya udah mulai ketinggian ya cuma Mami dengerin doang. Kan emang gitu, kalo kita direndahin orang, artinya kita lagi dipaksa Alloh buat bisa ngelompatin jurang." Aku tersenyum bangga mendengarnya.

"Iya, kita lagi diajarin sama Alloh buat ninggiin derajat kita tapi nggak pake sombong, kan? Wekwekwek …." Kemudian kami terkekeh berbarengan.

Unyilku sayang, saat menapaki kisah hidupnya maka kubilang ibuku ini telah berhasil meraih ilmu tertinggi di bumi, Baxy. Kupikir, berbuat baik pada orang yang baik atau telah berbuat baik pada kita itu adalah hal yang mudah. Namun, berbuat baik dan tetap bisa memberi maaf pada orang yang telah menyakiti atau merendahkan kita itu lumayan sulit untuk dipraktekan. Dan ibuku bisa melakukannya, bahkan memberi roti pada orang-orang yang telah melemparinya dengan abu dan arang adalah sesuatu yang telah biasa ia lakukan.

"Mboh kapan , mboh kapan … kita pasti butuh bantuan orang lain. Mama mah udah kenyang disakitin orang, kalo kita nurutin nggak suka terus, sakit hati terus, ya sakit hati sih pasti ada lah, tapi mbales orang yang udah nyakitin kita sama kejelekan lagi mah percuma. Nggak dapet apa-apa kita, yang ada malah gontok-gontokan terus. Kan Nabi aja ngajarinnya gitu, kasih roti orang yang udah ngelemparin kotoran ke kita.” Subhanalloh, sekali lagi aku setuju dengan bapak Mario Teguh, bahwa orang tua yang kita miliki adalah yang terbaik yang telah diutus Tuhan untuk kita.

Si Unyil, bolang yang terdampar di emperan toko dan terjebak dinginnya malam kota Kalimantan. Kini garis wajahnya sudah diindahkan oleh banyaknya rintangan yang sudah berhasil ia lalui hingga hari ini. Bahkan sakit si bungsu pun sudah bukan berupa beban lagi untuknya.

"Nrimo seng nduwe pandum," ujar ibuku, saat cerita sudah beralih membahas adikku yang mulai kejang lagi, "lebaran nanti Godel mau Mami pakein gamis sama kerudung tirek. Enak aja anak gua cakep-cakep, masa mau begitu terus," lanjutnya.

Aku mengelus dada di bagian ini, Baxy. Aku sadar masih jauh dari hajatku, terlebih waktu ibuku bilang ibunya Rindu mulai berhenti kerja awal Juni ini. Hatiku ngilu, aku belum berhasil membuat keajaiaban untuknya. Belum bisa menghasilkan lembaran rupiah untuk kukirim setiap bulannya.

"Tenang aja, sih. Orang kita hidup di buminya Alloh, ngapain takut. Masa nggak percaya sama Alloh, insyalloh Mami balik lagi nggosok di rumah ka Pipit, lumayan kan buat nyambung hidup," jawab ibuku ringan, setelah kutanya bagaimana untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.

Aku terpekur dan seketika teringat pesan Eyang Nindi setelah selesai proses Ruqyah, "Dzikir jangan cuma di bibir, dzikir jangan cuma di satu tempat aja. Rasain dzikir yang kamu baca ngalir di setiap persendian kamu. Rasain waktu kamu dzikir tangan kaki jari-jari semua anggota badan kamu bikin ikut berdzikir. Kalo kamu berhasil ngilangin duri itu, atau kabut hitam seperti yang kamu bilang, kamu bakal nemuin lagi apa yang sudah hilang dari diri kamu. Malah bisa jadi hidup kamu membawa karomah buat banyak orang."

Tanaman berduri, kabut hitam, Karomah?? Hujan bunga warna-warni, Baxy.

 

Komentar

Postingan Populer