Ini Aku - Rantai Andromeda 10

Masih teringat hayalan tingkat tinggiku, tentang menyaingi Muti’ah. Tentang usaha memahami keputusan yang dibuat oleh Robi’ah, sedangkan beliau pun mengetahui bahwa menikah adalah salah satu dari sunah Nabi-nya. Tentang menghapus jejak kesalahan pertama yang dibuat oleh ibu para wanita dan kembali menjalani hidup seperti saat pertama peran diberikan. Menemani kesendirian, mengisi kehampaan hati, melengkapi susunan rumah tulang rusuk, merekatkan kembali serpihan jiwa. Mengobati luka hati, karena tiba-tiba saja dijadikan salah satu alat yang digunakan iblis dan pasukannya untuk memukul jatuh musuh abadi mereka. Dengan memakai cara yang sama, yang digunakan pertama kali dan akhirnya berhasil memindah tempatkan buah khuldi. 
Dengan bisikan. Bisikan yang didengungkan berulangkali diujung daun telinga. Dari depan, belakang, atas, bawah, samping kiri dan kanan. Menumbuhkan keraguan, melalaikan kewajiban, melenakan dan mengagungkan yang semu. Dengan cara yang sama, aku pernah meminta izin untuk menguatkan dan menjadi tameng hajatku. Manakala hawa nafsu menjadi lebih kuat dan berhasil mengalahkan akal sehat. Memperdaya diri dan tanpa sadar telah ikut ambil bagian menjadi salah satu benang yang disulam itu. Ikut menjaring sebanyak mungkin korban, yang pada akhirnya aku sendiri pun akan dikorbankan.
Maha Suci Alloh dengan segala ketetapan yang telah Ia buat. Kini aku tengah dihadapankan pada setiap hajat yang ku simpan. Pada jawaban dari pertanyaan yang sesungguhnya tak pernah benar-benar berani aku ajukan. Mengapa Muti’ah bisa menjadi wanita pertama yang akan masuk ke dalam surga? Mengapa Robi’ah lebih memilih untuk menyendiri dan menyibukkan hari-harinya untuk terus beribadah. Dan masih banyak pertanyaan lagi berkaitan dengan alur menuju kehidupan abadi. Namun semua pertanyaan itu telah diberikan jawabannya, hanya lewat satu babak baru dalam kehidupanku.
Dan pada akhirnya pendiskriminasian yang ku dapat bisa kembali aku sikapi dengan senyum manis dan kedipan mata. Berlaku seperti upik abu yang selalu ceria dan bernyanyi tiap kalai duduk di atas bangku kecil miliknya. 
Sebuah kesombongan, kesombongan yang terbagi dua dan sama rata. Kesombongan mereka yang tanpa sadar mengecilkan Engkau karena ketidaktahuan mereka. Dan kesombongan mereka yang merasa telah mengenal dan memperoleh pemberian-Mu yang berharga, yang terkadang menjadi terlalu berani untuk mengecilkan mereka yang dinilai tak tahu apa-apa.
    Konsekuensi dari setiap tindakan yang kita buat, seperti alur yang digambarkan oleh para pelari tongkat estafet. Masing-masing peserta dalam setiap regu memiliki tanggung jawab menjaga tongkat ditangannya, menjaganya agar tidak terlepas dari tangan dan terjatuh saat berlari, dan berkewajiban untuk bisa sampai digaris yang telah ditentukan agar bisa berhenti berlari dan menunjukkan tongkat dalam genggaman. 
Dihari pertama aku mengetahui tentang isi dan gejolak hati nabi Ibrohim saat mencari kebenaran yang hakiki. Saat beliau berusaha mencari tahu dan menentukan siapa seharusnya yang ia sembah, jika memang hadirnya dimuka bumi ini adalah sebagai seorang hamba. Jawaban yang diucapkan oleh para makhluk yang tercipta dari cahaya, saat mereka diajukan pada beberapa pertanyaan. “La ilma lana illa ma alamnata.” Dan entah sudah berapa banyak jumlah kata dan kalimat yang ada, terhitung sejak diturunkannya nabi Adam ke bumi sampai hari ini? Sudah berapa banyak ilmu pengetahuan yang telah berhasil digali dan difahami, berapa banyak manusia yang terangkat derajat dan kedudukannya sebab ilmu yang berhasil mereka miliki? Sedangkan satu-satunya sumber ilmuku saat ini hanyalah kitab suci yang menjadi pedoman agamaku.
Aku hanya mampu meletakkan harap, buah hati yang akan ku lahirkan kelak akan semakin menguatkan ke-imananku. Menjadi pengingat ketika aku dan suamiku lalai, menjadi penyemangat saat iman kami melemah. Saling berlomba memperbaiki diri, karena jika benar anak yang baru dilahirkan seperti layaknya selembar kertas yang putih bersih. Maka kekurangan yang nampak bisa jadi adalah karena kesalahan kami sebagai orangtua. Jika banyak dimasa kini bermunculan artis idola cilik yang bersuara merdu dan berlenggok riang di atas panggung gembira, ingin rasanya bisa ikut meramaikan dan mengisi lembaran kertas putih milik kami dengan syair-syair indah yang telah dibuat langsung oleh Sang Pencipta. Bukan hanya memerintah atau mengajak, tapi mengerjakannya bersama-sama.
Sampi akhirnya, rantai andromeda yang melilit tubuhku selama ini berubah menjadi untaian aneka macam bunga. Dengan semerbak harumnya, mengisi dan menghiasi hari-hariku, disetiap geraknya, liukan setiap kali berganti arah yang terlihat seperti gemulai selendang para penari. Ujung mata rantai yang semestinya runcing dan mampu melukai, berganti rupa menjadi melati ronce yang wangi. Aah, seperti itu, Alloh. Seperti alur yang sudah seperti biasanya, semoga Engkau bantu aku membuat akhir kisah seperti kisah para Hero, yang memulai kisah hidup mereka dari kata, Zerro.

Komentar

Postingan Populer