Di dalam Istana Pasir - Belajar dari bunda Titik Puspa.
Seperti saat beliau mengangkat tangannya ke langit, sengaja menantang guntur yang menggelegar semakin besar. "Tak takut!" ia bilang, "Kenapa hanya oranglain yang boleh bahagia, sedangkan aku tidak?!" ia mulai mempertanyakan kebijakan Yang Maha Kuasa, lalu berlari pulang ditengah derasnya hujan. Menumbuk bermacam buah jadi satu dan memasukkannya segera ke dalam lambungnya, dengan begitu ia berharap maut lebih cepat datang untuk menjemputnya.
Namun justru keajaiban yang terjadi, kuasa Sang Ilahi mulai berperan. Pati yang diundang, justru kehidupan baru yang diberikan. Si ringkih badan segera beralih menjadi seorang bintang, berlari secepat peluru melesat, melangkah seringan awan kinton tertiup angin.
Ah, bunda ... dibagian ini yang terkadang membuatku sedikit tak suka dengan kata pertolongan. Haruskah terlebih dulu aku mendebat kebijakan Pencipta-ku? Itu yang selalu kufikir berulang, tiapkali ingin membuat tuntutan pada-Nya, karena sudah terlalu banyak ini nikmat yang telah Ia beri, dua mata dua kaki, kehidupan ini sendiri. Lalu dengan alasan yang mana aku membenarkan diri saat memaki?Ssedih, tiap kali hati merasa dipermainkan terlebih dulu sebelum pertolongan didatangkan, sedangkan yang terus tertanam dalam hati adalah ini semua hanya proses pembelajaran.
Ah, bunda ... aku pun ingin segera tahu, apa sebenarnya peranku.
Komentar
Posting Komentar