Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez
25
Februari 2012
Apa yang bisa kutulis untukmu, Siti? Maafkan aku, 30 tahun lebih
kamu setia mendampingi, bersabar dengan semua tingkah laku ajaibku. Begitu
indah aslinya mengenal hatimu, Siti. Karena hanya ada cinta di sana, bahkan
kucing dan anjing liar yang sering menyerang dalam mimpimu pun, sengaja kamu dekati
dan kauobati. Tak ada prasangka buruk sedikitpun bahwa mereka adalah wujud yang
mengganggumu selama ini. Selalu saja kompromi dengan yang menjadi inginmu,
dengan harapan dapat menyenangkan semua pihak yang tengah kamu hadapi.
Aku yang selalu menyakitimu, Siti. Dengan muka duanya aku, dengan
keragu-raguan yang kumiliki, sedangkan berulangkali kau telah ingatkan aku
tentang arti sebuah keyakinan. Proses dari sebuah hasil yang ingin kita
dapatkan.
Siti Wahyuni, hatimu benar seperti kue keju tiramisu, bolu lapis Surabaya
dengan 34 kuning telur, murni tanpa pengembang ataupun pelembut buatan. Ah ...
maafkan aku, Siti. Tak tahu harus berkata apalagi? Masa depanmu suram itu karena
perbuatanku, tingkah polahku, sedangkan aku tahu tentang kesederhanaan isi hati
dan pikiranmu. Namun begitu, selalu saja kukotori dengan semua hayalan tingkat
tinggi. Ingin ini-ingin itu, berhayal jadi Avatar, bagian dari keluarga
Halliwel, kumpulan para penghuni Supernova … tanpa sekalipun memikirkanmu yang
selalu memintaku untuk berhenti.
Maafkan, Siti. Tak berhasil pula aku memenuhi permintaan sederhanamu,
membuat dunia dan akhirat berjalan damai bersisian. Mungkin ketakutanku karena
minim ilmu yang membuat kita terjebak dalam zona berbahaya. Syirik tanpa sadar,
menyimpang perlahan, entah kesalahan apalagi yang telah kuperbuat untuk
menyakiti imanmu. Entah berapa banyak lagi kata maaf yang harus kuucap untuk
menebus semua kesalahanku.
Berapa banyak lagi kata maaf yang harus kuucap? Sampai akhirnya
kini, suaramu tak lagi didengar. Dua mata yang biasa kautemui berbinar saat
bertemu pandang, tak lagi digunakan sempurna ketika tanpa sengaja berpapasan
dan semua adalah kesalahanku. Bahkan saat aku tak lagi mampu menegakkan kepala
ketika berjalan, walau dengan suara yang semakin parau kau terus berusaha
bersuara untuk menyemangatiku.
"Ayo, tegakan kepalamu! Terus berjalan, karena kita hampir
tiba di tujuan. Lupakan penilaian, karena yang kita tuju adalah garis akhir dan
tak ada yang pernah benar-benar tahu apa yang tengah kita cari. Luka akan
terobati dengan senyuman kita sendiri, hinaan akan berganti rupa menjadi
sanjungan saat kita berhasil merajut kalung bunga warna-warni. Tatap langit di atas
kepalamu, Bee. Terbentang elok dan kokoh, walau tanpa satu pun tiang sebagai
penyangga. Tak sekalipun ia berteriak letih atau mendadak menjatuhkan dirinya
sendiri, karena merasa telah menaungi para penghuni bumi dari generasi ke
generasi. Karena yang langit tahu, ia adalah abdi. Iya, sama seperti kita, Bee
… yang juga hanya seorang hamba, yang berarti pula tak memiliki hak untuk
menghukumi apa yang seharusnya menjadi rahasia setiap hamba dengan Sang
Pencipta-nya. Pernahkah langit marah saat ia dipenuhi dengan polusi? Pernahkah
ia sakit hati, ketika perhiasan bintang yang ia miliki tertutup pijar kembang
api? Tidak, Bee … tidak sama sekali. Langit ada karena ia dikehendaki ada,
lagi-lagi sama seperti kita. Lalu, marahkah bapak Adam ketika nabi Musa
menyalahkannya dengan apa yang kita alami saat ini? Terusir dari Surga? Tidak!
Sementara kesedihan yang ia tanggung, hanya ia sandarkan pada satu kalimat
sakti, ‘Qodar Allah.’ Aku hanya sebentuk
nama, Bee … sedangkan kamu raganya. Jika raga yang aku banggakan jatuh dan tak
dapat bangkit lagi, lalu untuk apa 30 tahun aku bertahan menemani? Tenanglah, sudah ada Penilai Sejati untuk
kita, benar dan salah hanya Ia yang tahu. Aku selalu memaafkan tanpa kauminta,
lalu mengapa kamu tak belajar untuk memaafkan dirimu sendiri? Yakinlah, kita
akan keluar sebagai pemenang, karena hakikinya setiap pejuang adalah pemenang, Bee.
Tak perduli bagaimanapun hasil akhir yang mereka dapat, karena mereka telah
berani membela apa yang mereka yakini. Percayalah, apa-apa yang telah sampai ke
tangan kita, pastilah yang terbaik yang selalu diberikan. Jadi, sayangilah
dirimu dan berhentilah menghukum diri sendiri. Bertahanlah, pertolongan datang
sebentar lagi."
Lagi, lagi dan lagi … hingga menjelang kepala empat, Baxy. Dengan
semua tingkah yang sama, membuatku terus mengulang kalimat itu. “Maafkan aku,
Siti.”
Komentar
Posting Komentar