Di dalam Istana Pasir - Namanya, NUR CAHAYA SURYA SAFITRI.

    "Kenapa aku diturunin kelas tilawati satu, Mbak?" Mata Cahaya mulai berkaca-kaca, hari itu langit kelabu dan hujan enggan menyimpan air terlalu lama dalam awan. Hujan pun turun bersamaan dengan angin kencang dan guntur yang datang bersahutan. Hanya ada dua pengajar, dari tujuh pengajar yag datang tepat waktu, satu lagi tiba saat pelajaran akan berakhir, maka resmi izinlah empat yang lain tanpa kabar.

    Tak tahu harus menyampaikan materi apa hari itu, gemericik hujan dan petir yang bersahutan meredam suara pengajar hingga tak terdengar, berulang kali yang terdengar diucap bersama hanyalah, Allohumma lataqtulna bighodhobika wala tuhlikna biadzabika wa afina qobla dzalik, dan kisah malaikat Mikail yang tengah membagikan rizki pun berhasil menenangkan hati para cabe rawit yang datang ke masjid sebelum turunnya hujan.

    "Nggak ada yang diturunkan, ini hanya semacam pemetaan." Aku yang sama sekali baru terjun ke dalam bidang yang kubilang paling mulia, karena dari sanalah penentu berawalnya pondasi agama ikut ditegakkan. Sungguh, selamanya agama dan pendidikan dunia tak dapat dipisahkan. Entah apa itu yang dimaksud dengan sekularisme, pluralisme atau bentuk halus lainnya dalam rangka memisahkan akidah agama dengan tata cara dunia. Karena Agama adalah pondasi, sedang apa yang kita lakukan di dunia ini adalah bangunan yang kita bangun diatas pondasi itu. 

    Hemh, itsnani minannas, idza sholaha sholahannas-wa idza fasada fasadannas. Tolak ukur bagi sebuah kebaikan dan kerusakan, saat dua insan ini baik, maka sejahteralah seluruh alam semesta. jika dua golongan ini rusak, maka binasalah seluruh umat. Ulama wa Umaro, para pembawa ilmu dan para pemimpin.

    "Itu buktinya, temen-temen Nur semua ada dikelas tilawati tiga, Mbak. Cuma Nur aja yang ada di Tilawati satu." Kali ini airmata yang sedari tadi menggenang dipelupuk mata Cahaya benar-benar keluar, seakan hendak menandingi derasnya hujan. Aku hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kenapa seakan Cahaya begitu sedih dengan pemetaan kelas ini, sedang diawal sudah dijelaskan berulang kali bahwa ini hanya bentuk perapihan saja, dan pelajaran yang dikaji akan tetap sama,

    "Mbak tau ga sih, aku ini sebenarnya kelas Enol. Kelas enol, Mbak ...." Dengan diiringi gerakan menyatukan ibu jari dan telunjuk miliknya, raut wajahnya ... aku akan selalu mengingat raut itu saat Cahaya mengatakan ENOL, dengan lisan dan gerakan tangannya.

    "Bapak bohong sama aku, dari kampung aku dijemput, diajak ke jakarta. Katanya mau disekolahin disini. Harusnya aku udah sekolah kelas tiga sekarang, tapi mamak aku selalu kasih aku semangat. Kata mamak aku ini pinter, biarpun nggak sekolah aku bisa nulis juga bisa baca. Kalo mamak sampe tau aku diturunin ke tilawati satu aku harus bilang apa, Mbak? Aku takut ngecewain mamak aku." Sesekali Cahaya menghapus airmatanya, dan berkali-kali pula aku menahan airmataku untuk tidak ikut jatuh. 

    Satu persatu aku tatapi anak-anak didikku, ada tujuh santri seakan setiap santri mewakili pribadi yang ku miliki. Ada satu laki-laki diapit enam putri, paling manja dan hanya butuh sedikit kesabaran dan perhatian untuk berhasil menarik minatnya belajar. Satu yang paling kecil, senang kali mengulang apa yang ia suka, tak mau pindah ke materi lain sebelum ia bosan atau guru terpaksa sedikit memaksa. Satu lagi, walau masih TK dan sering datang terlambat, tapi begitu berhadapan dengan materi maka ia akan memahami lebih cepat dari kawan lain yang usianya dua-tiga tahun diatasnya. Satu santri lagi lebih memilih pada kerapihan, keteraturan yang ia cipta sendiri, lebih memperhatikan kawan yang lainnya, membantu yang bisa ia bantu hingga lupa dengan tugas yang ia miliki. Satu lagi menutupi ketidakpercayaan dirinya dengan bicara lebih banyak daripada yang lainnya dan selalu mengucap, "aku tidak bisa." Sedangkan seringnya yang kujumpai, ia selalu bisa mengerjakan setiap tugas yang ku berikan.

    Dan untuk Cahaya, ia menggerus tepat dihatiku. Cahaya itu seperti diriku yang dulu. yang saat kecil selalu ingin tahu, berusaha cari tahu. Kekurangan dalam hal materi tak menghalangiku untuk belajar. Dari peringkat dua puluh berhasil kuganti dengan peringkat lima dibangku kelas satu, hingga akhirnya menjadi bintang kelas tiga tahun berturut-turut, sebelum pola hidup nomaden memporak porandakan mimpiku.

    "Nur turun ke kelas satu lagi bukan berarti kamu nggak pinter, nak. Justru Nur harusnya bersyukur, karena dikasih kesempatan untuk ngulang pelajaran dari awal lagi. Kelas yang lebih tinggi bukan jaminan si anak itu lebih pintar atau semakin pintar. Sekarang Nur Mbak tes baca tilawati satu, kalo lancar silahkan Nur pindah kelas ke tilawati tiga lagi, atau Nur tetep disini dan harus janji fokus belajar dan lupain masalah kelas-kelasan ini. Karena pada dasarnya, yang kita kaji sama, cuma bertahap. Gimana, berani terima tantangan?" Cahaya hanya menganggukkan kepalanya dan sesekali menghapus airmatanya. Entah gugup karena tantangan atau masih dilanda kesedihan, Cahaya tersendat saat membaca tiap lembar tilawati pertama dan segera menutup lembar berikutnya dan menggelengkan kepala.

    "Kenapa nggak diterusin? Sebelumnya kamu tilawati tiga, kan? Pasti mudah untuk Nur baca tilawati satu dengan lancar?"

    "Nggak tau, Mbak, aku bingung. Aku cuma nggak mau ngecewain mamak. Kalo tilawati tiga kan berarti aku sama aja lagi sekolah kelas tiga, Mbak." 

    Ah, sahabat sepuluh jariku, kenapa saat ia berucap itu yang ada dikepalaku justru kamu? Kenapa tidak membuat pengharapan langsung pada Sang Pencipta Alam semesta ini? Istanamu sungguh merupakan hadiah untukku, untuk hal-hal seperti ini aku berani melangkah, menerima perubahan dan berani membuka peluang. Meneruskan apa-apa yang datang dari langit dengan mudah, tanpa birokrasi berbelit atau tanda tangan bermatrai dan satya lencana sebagai tanda penghargaan. Petani pepaya, pemilik hutan oak terindah di Perancis, hanya dengan satu niat yang terpasang dihatinya, Menjadi berguna untuk semua.

    "Jangan jadikan jumlah angka sebagai patokan dalam hidup kamu, nak ... itu bukan jaminan. Semua itu dimulai dari hati, sekarang boleh aja kamu ada dikelas satu lagi, tapi hati kamu, ilmu kamu, itu harus bisa nandingin mereka yang udah ada dikelas tiga. Atau bahkan yang udah ada dikelas mas hamdan. Jangan berenti belajar cuma gara-gara kamu nggak sekolah atau karena keadaan. Temen mba'un pernah bilang, kalo di dunia ini nggak ada orang bodoh, yang ada cuma orang malas dan nggak mau belajar. Nur harus tetep semangat, buktiin keorang-orang kalo nur bisa, buktiin ke bapak kalo nur bisa jadi orang pinter walaupun nur ga sekolah, buktiin ke mamak kalo Alloh udah kabulin doa mamak, dengan Nur jadi anak yang berguna untuk mamak, untuk bangsa, untuk agama. Siapa yang tau, suatu saat nanti mungkin Nur yang bakal jadi guru ngaji kaya mas hamdan, kaya guru-guru yang lain."

    Hujan pun reda, langit kembali cerah dengan warna birunya, udara lebih sejuk dari sebelum hujan turun. Seakan alam sengaja memasang latar belakang kelabu untu percakapanku dengan Nur Cahaya yang seakan menarikku ke masa lalu.

    Sahabat sepuluh jari, kamu jauh lebih beruntung dari aku. Telah berhasil menjadi perpanjangan tangan dari langit, disaat aku hanya mampu menghayal sedang merayap meraihnya. Mohon teruskan budi baikmu, tak harus melulu dalam bentuk take and give. Dan mohon berhenti beri peluang oranglain untuk berburuk sangka dan mengupadaya kebaikanmu.

    16 juni 2012, munaqosah pertama berhasil diselenggarakan. Nur Cahaya Surya Safitri ada diurutan pertama dengan banyak nilai A diraportnya. Dengah hadiah dibungkus sampul kopi ia maju ke depan dengan airmuka yang sama seperti yang kulihat saat ia menahan airmatanya.

    "Terima kasih, bu. Nur ini nggak pernah sekolah, tapi dia pinter." Akhirnya bisa berhadapan langsung dengan wanita yang selama ini disebut mamak oleh Cahaya.

    "Iya, bu. Nur sudah pernah cerita. Mohon beri dukungan dan semangat terus untuk nur, ya. Saya percaya Nur anak yang cerdas. Semoga Alloh beri jalan untuk Nur duduk dibangku sekolah. Ya, Nur? Janji harus tetep semangat." Aku sengaja melempar pandangan kearah Cahay,a muridku, dia mengangguk masih dengan airmata yang menggantung dipelupuk mata.

    "Alhamdulillah jaza killahu khoiro, Mbak ...." Dengan sedikit  terbata ia mengucap syukur padaku.

    "Iya, sama-sama. Alhamdulillah jaza killahu khoiro juga, untuk semangatnya." Dan segera memanggil orangtua santri berikutnya, karena aku tak dapat menahan airmata ku lebih lama.

Komentar

Postingan Populer