Di dalam Istana Pasir - Seperti Gadis pemintal benang.
Ah, entah sampi kapan diri ini mendapat peran seperti pemilik rumah laba-laba itu. yang nampak indah setiap jalinannya, nampak begitu kokoh karena mampu menahan tubuh jane ketika jatuh dari puncak menara yang tinggi. Kokoh, namun rapuh saat tertiup angin, tersentuh kulit.
Meratap adakah guna? Lalu aku dan pemintal benang itu adakah bedanya? Merajut benang mimpi, menjalin simpul mati diujung pertama dan sengaja membiarkan simpul hidup diujung satunya, agar selalu bisa kembali terurai dengan mudah saat dirasa ada satu langkah yang salah. Simpul mati akan tetap sama, titik memulai akan selalu sama.
Ah, betapa harus rela mengisi buku harian abadi dengan kata sia-sia. Masa muda untuk apa? Masa muda sudahkah berguna? Usia ini, betapa menjalani hidup ternyata benar-benar hanya menghitung mundur hari, menjemput jumlah usia yang kembali dimulai dengan angka satu, hingga akhirnya satu itu takkan pernah lagi berbilang.
Yang semu tapi nyata, yang nyata masih berupa cerita. Yang semu seakan selalu menoreh luka. Lalu siapa sebenarnya yang membuat semua luka itu? Aku kah juga si pemintal benang itu? Yang seumur hidup hanya mengisinya dengan ratapan penyesalan dan keputus-asaan? Seakan tak ada secuil pun kebahagiaan yang datang menghampiri, seakan tak ada ruang dalam diri yang bernama hati, dan hidup kembali berlaku seperti Zombie.
Lalu untuk apa itu pelangi? Untuk apa kabut yang datang dipagi hari, bulir-bulir air yang menari lincah dan menggantung manja diujung daun keladi. Untuk apa katak yang bernyanyi riang bersahutan, saat datang rintik hujan pertama kali? Semakin lama semakin keras, semakin ramai ... saat rintik hujan jatuh semakin deras. Aih, dan tak lama kemudian, tumblelina pun ikut menari.
Untuk apa kelopak teratai dibuat nampak begitu indah ketika merekah? Tumbuh berkoloni dengan beraneka ragam warna yang mereka miliki. Bunga matahari yang berani menghadap langsung tepat menyongsong sinar mentari itu sendiri, dan terus tumbuh menjulang tinggi .
Kisah gadis pemintal benang haruskah ada dan dibuat pilu seperti itu? Untuk pembelajaran atau sebuah cetak ulang? Bahwa yang memiliki kisah seperti itu pastilah pribadi yang penuh dengan penyesalan. Hidup tanpa mimpi, terjebak dalam keputus-asaan. Benarkah seperti itu? Haruskah pengertiannya seperti itu? Lalu apa guna arti dari kata Qodar, itu sendiri?
Ah, selalu saja menjadikan Qodar sebagai kambing hitam. Tak cukupkah menjadikan setiap kesalahan sebagai sebuah pembelajaran? Itu kan gunanya pengulangan, nilai remedial?
Iya, untuk dapat memecah batu benar harus bergulat dulu dengan batu, mengetahui seluk beluk batu. Karena semuanya bukan melulu tentang kekuatan, tapi tentang ketepatan. Batu takkan mungkin berhasil kita pecah, walaupun dengan mengerahkan segenap kekuatan, jika hanya sembarang menghantam palu yang kita punya ke segala arah.
Linggis, Nestapa, Akumulasi. Aku menatap lekat layar monitor dihadapanku, memainkan sejenak sepuluh jariku, mengajaknya bersahabat dengan papan hitam dihadapanku. Hanya dalam hitungan jari, aku akan berpisah dengan dunia yang baru aku kenal ini. Dunia teknologi yang telah merubah Eddie Murphy.
Hidup ini untuk apa? Pembuktian ini untuk siapa? Cita-cita, aku mengerti sekarang apa arti sebuah cita-cita. Berjuang untuk meraih mimpi, bukan pengorbanan ... karena yang ada adalah sebuah petualangan. Seperti buku harian milik seorang putri yang sebelum keberuntungan datang menghampirinya, ia hanyalah seorang gadis desa. Buku hariannya mampu mengalahkan goresan tangan para sutradara besar. "Kesuksesan adalah hasil akumulasi dari banyaknya pengulangan." Menikamkan jejak, sebelum usia lepas dikandung badan.
Komentar
Posting Komentar