Hibernasi level Aje Gile, dimana Ikhlas bersembunyi?
September 2014
Seperti menemukan sehelai benang sutra diantara tumpukan jerami saat mendengar seorang bocah laki-laki kelas satu sekolah dasar berteriak, I LOVE YOU dari halaman depan rumahnya dengan menyebutkan namaku yang berada d ujung jalan jauh dari rumahnya. Setitik embun ditengah padang yang gersang, kubilang dalam hati ... sambil menoleh kebelakang dan melambaikan tanganku ke arahnya, "I love you too, Ludiin.." kubilang, pada anak itu. Celoteh ringan yang menyejukkan hati saat yang kutemui ditempat tinggal yang baru hanyalah kepalsuan dan kebencian tak bertuan. "I love you."
Seperti menatap layar panggung sandiwaraku sendiri, saat menatap plastik sampah hitam-tirai yang ku buat untuk penutup kamar-mandi terkembang dan berkibar kesana kemari saat tertiup angin, seakan berkata pada diri sendiri, "Selamat datang bee, ini dunia nyata yang telah kau pilih. Dunia Peterpan tanpa kepak sayap mungil tinkerbell yang menemani. Sebuah negri kertas yang terus terombang-ambing tertiup angin, melayang tak tentu arah diantara benteng-benteng istana pasir."
Seperti menemukan sehelai benang sutra diantara tumpukan jerami saat mendengar seorang bocah laki-laki kelas satu sekolah dasar berteriak, I LOVE YOU dari halaman depan rumahnya dengan menyebutkan namaku yang berada d ujung jalan jauh dari rumahnya. Setitik embun ditengah padang yang gersang, kubilang dalam hati ... sambil menoleh kebelakang dan melambaikan tanganku ke arahnya, "I love you too, Ludiin.." kubilang, pada anak itu. Celoteh ringan yang menyejukkan hati saat yang kutemui ditempat tinggal yang baru hanyalah kepalsuan dan kebencian tak bertuan. "I love you."
Seperti menatap layar panggung sandiwaraku sendiri, saat menatap plastik sampah hitam-tirai yang ku buat untuk penutup kamar-mandi terkembang dan berkibar kesana kemari saat tertiup angin, seakan berkata pada diri sendiri, "Selamat datang bee, ini dunia nyata yang telah kau pilih. Dunia Peterpan tanpa kepak sayap mungil tinkerbell yang menemani. Sebuah negri kertas yang terus terombang-ambing tertiup angin, melayang tak tentu arah diantara benteng-benteng istana pasir."
Seperti hancur remuk redam rasa hati, saat berulangkali peri walakidung menulis kata, ai misu tuyu lewat pesan singkatnya. Usianya sudah masuk tahun ke sebelas ternyata. dan aku pergi sebelum sempat mengajarkannya bagaimana menggunakan bedak diwajah.
Sudah seberapa jauh aku berlari? Tapi ternyata tak ada seorang pun yang berusaha mengejarku. Sudah berapa kali airmata mengkhianatiku dan berhasil menerobos paksa keluar dari kelopak mata? Tapi tetap, tak ada tangan-tangan tulus yang bersedia menghapusnya. Sudah berapa dalam aku mengubur diri dan bersembunyi? Tapi ternyata tak satupun yang merasa kehilangan dan tersadar dengan ketiadaanku.
Seperti berjalan mundur kembali dan berdiri mematung ditanggal delapan november dua ribu dua belas, saat mendengar imam sholat membacakan surat an-nashr dengan begitu merdu. "Itu surat maharku." batinku dalam hati, yang sengaja ku pilih untuk menguatkan sebuah ikatan suci. Dan ternyata aku ikut mengamini dan membuatnya terlihat menjadi sebuah mahar yang murah dengan semua keluh-kesahku selama ini.
Itu disana, aku melihat suamiku berdiri dengan kaos hijau penuh getah dan celana pangsi putih tertutup warna tanah. Hanyut dalam dunia puring dan kembang taman lainnya. Sebuah bahtera indah, mutiara hitam yang selalu kembali pada pemiliknya, walau berkali-kali berhasil dicuri dan berpindah tangan. Sedikit lupa, bahwa Mutiara hitam adalah milik lautan, tak mungkin hanya berdiam diri dan karam begitu saja ditepi pantai.
Keajaiban berikutnya setelah gudang mimpi yang telah ku tutup pintunya sebelum menyelesaikan semua kisah jadi nyata. Akankah juga aku membalikkan badan kali ini, dan kembali menggagalkan keajaiban kedua menjadi nyata sebab ulahku sendiri?
Sebuah rumah untuk keluargaku, sebuah rumah untuk para hamba yang tengah dalam pencarian seperti aku. Sebuah Buku, untuk diriku sendiri, dimana semua kisah akan kutuangkan. Senandung biru tentang sebuah pencarian, tentang satu sebutan yang selalu di-Agung-kan.
La haula wala quwwata illa billah, hanya sebilah pedang dengan sebutan Bismillah dan sebilah bambu husnudhon sebagai penyangga yang kupunya saat ini.
Komentar
Posting Komentar