Dua jadi satu 2

12 April 2015, ba’da dhuhur.

        “Emang sekemnya udah dateng?” aku bertanya, setelah pak suami memberi tahu akan menurunkan hasil cangkokannya yang sudah siap panen.

“Se’ kate nggolek enggen, Und. Iki kate ngerepno se’, cek ono enggen ghae ndekek sekem ambek kembang seng mari di adhahi,” jawabnya. Kemudian berdiri untuk menutup salat Dhuhurnya dengan 2 rokaat sunah rawatib.

 Hehee … Alhamdulillah, ternyata sosok Al-Fatih yang dibacanya sukses membuat suamiku termotivasi untuk membangun dan menguatkan kembali keimanannya. Berusaha menjaga rawatibnya agar ia pun memiliki pedang seperti Sultan Mehmed, berharap juga memiliki mahkota yang akan menghias kepalanya dengan menjaga tahajudnya. Semoga Allah selalu menjaga dan membuat kami terus melestarikan apa-apa yang dapat mendatangkan kebaikan dalam kehidupan kami, Baxy.

‘Aku artikel yang tidak menarik untuk suamiku.’ Catatan pendek yang sengaja kutulis di kertas kecil berperekat dan sengaja kutempel di dinding kamar tanggal 23 Maret tahun lalu, setelah merasa kehabisan cara untuk membantunya mengenal agamanya yang selalu bilang sedang ia cari. Syukur … Alhamdulillah, akhirnya ia menemukan sendiri artikel yang berhasil menarik hatinya lewat buku Muhammad Al-Fatih.

[Kenapa harus malu? Iri sama siapa, kenapa? Sedangkan dalam Islam cuma ada 2 alasan yang dibenarkan buat iri. Yaitu pada orang yang bisa beribadah dan beramal lebih banyak dari kita.] Sms balasan dari mbak Wanti saat pembahasan kami bukan lagi tentang buku Al-Fatih, tapi membahas seputar kehidupan kami masing-masing.

Aku sedang sibuk dengan trashbag hitam saat itu. Berhenti membelah dua plastik hitam besar dan segera membalas sms yang memang sedang kutunggu-tunggu itu.

[Ya sama Muhammad Al-Fatih, Mbak. Iri, begitu tau Muhammad Al-Fatih tumbuh dan besar dalam binaan Islam. Malu karena makin sadar aku ini bukan siapa-siapa, tapi begitu dikasih hidayah, bisa kenal Islam dan ngeresapin nikmatnya Iman, akunya malah yang kurang mempersungguh. Sampe sekarang belum berani buat ngelanjutin baca bukunya, Mbak.]

Satu tirai hitam selesai kupasang. Menjadi penutup antara kamar mandi dengan kamar mandi kecil khusus untuk buang air besar. Saat masuk kembali kedalam dapur, sms balasan kembali kuterima dan segera kubaca.

[Smsannya disambung nanti aja ya, nie’. Mba’nya lagi halaqoh dulu nih.]

Aku tersenyum dan mengangguk tanda setuju, lupa bahwa yang sedang kuajak dialog tidak bisa saling bertukar pandang. Segera kembali melanjutkan mahakaryaku, sambil mengafirmasi diri bahwa suatu saat nanti, tirai plastik yang kubuat akan berubah menjadi tembok permanen dan kamar mandi mertuaku akan tertutup juga memiliki daun pintu. Tak lupa juga menyelipkan harap, semoga suatu saat nanti kami pun bisa membangun istana mungil dari hasil keringat kami sendiri.     

Komentar

Postingan Populer