Agenda bilik in polybag - KNOCK DOWN OPO JARE.


    “POKOK MANUT OPO JARE MESTI SLAMETE!!” Err, argh ... ughh ... buzz, buzz, buzz, hape dah. Jare ne sopo yang mesti tak follow? Opo ae isi jare yang mesti difollow? Slamet teko opo? Opo’o e, kudu mesti manut and nunut setiap jare? Sinten e, Jare iku?
    Hahahhaha ... tak fahamkah? Tenang, aku pun sebenarnya tak terlalu faham dengan apa yang baru saja aku tulis. Hemhh, suamiku semalam bilang ... hadirnya aku di tengah keluarganya ibarat kata, aku sedang disekolahkan kembali oleh Alloh. Dipaksa untuk kembali belajar, namun kali ini harus sampai pintar! Di hadapkan dengan alur opera sabun setiap hari, melodrama kisah rumahtangga. Dan sayangnya, semua itu dipicu oleh satu hal yang justru selama ini paling aku takuti. Yupz, karena urusan nominal, dan sinetron pun segera dimulai. 
    Kisah menantu wanita yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemiskinan yang menjadi nama belakangnya dinilai telah mendatangkan kerugian untuk anak laki-lakinya. Terlebih, saat hidup masih berada di bawah satu atap yang sama. Maka menantu wanita yang miskin itu hanya akan menambah beban keluarga barunya. Hemmhh, hasbunalloh wa ni`mal wakil ni`mal maula wa ni`mannaashiir ....
    Tidak disukai dan tidak diterima kehadiranku, hanya karena aku bukanlah siapa-siapa. Tak beroleh kaya dengan mengambil aku sebagai anak menantu. Jauhnya Jakarta pun semakin menjadi pemicu untuk aku dibenci. Banyaknya harta menjadi ukuran, luasnya tanah menjadi jaminan. Alangkah malang hidupku, karena segenggam tanah yang bisa kusebut sebagai milikku sendiri pun aku tak punya. Uang? Harta simpanan? Tabunganku hanyalah apa-apa yang telah sengaja aku belanjakan di jalan Tuhan-ku.
    Ku marah pada kalian, Trio Similikiti! Kalian lihat, amarah dan dendam kini mulai merambati hati. Marah, bukan hanya karena dikucek sampe lecek, disebut pemakai jilbab yang tak punya adab. Bukan dendam hanya lantaran aku dibuat seperti Sedeb ketelep berbarengan dengan senyum manis dan keramah-tamahan yang diberikan. Aku marah, karena kali ini aku harus mengakui bahwa UANG telah berhasil mengalahkan aku dan membuatku menjadi musafir yang gagal menundukkan badai gurun pasir. Aku menaruh dendam pada thoghut nominal, yang telah berhasil merubah setiap hati yang seharusnya berwarna putih bersih, menjadi hijau biru dan merah. Dua mata yang sempurna hanya bekerja berdasarkan banyaknya lembar mata uang yang diletakkan di hadapannya.
    Sedeb Ketelep, Dangkal, Angel kandanane, Bedigasan, aih ... entah apalagi sebutan yang mereka sematkan padaku. Tak cukupkah Yakhruju ‘anitho’ah yang ditempelkan padaku di masalalu itu? Dan semua ini harus kualami karena tak pernah mau mendengar dan menuruti, “OPO JARE.” Semua harus kualami, karena aku lebih memilih untuk mendengarkan dan mengikuti suara hatiku. 
    Apakah sama, mengikuti suara hati dengan menuruti hawa nafsu? Jika kuajukan pertanyaan itu pada Sesembahan-ku maka itu sama saja aku tak yakin dengan do’a yang kupunya. Dengan kalimat yang diucapkan salah satu utusan yang memiliki wajah paling rupawan di muka bumi ini, saat beliau dihadapkan pada satu kesempatan untuk berbuat kesalahan, “wa ma ubarri’u nafs, innannafsa la ammarotum bissu’.“ Dan jika kubiarkan amarah dan dendam ini terus merambat dan berhasil menumbuhkan akarnya di hatiku, maka aku akan semakin jauh dari permintaan hatiku.
    “Opo jare wong tuwek,” katanya. Tapi setiap orang tua yang kujumpai di sini tak pernah bisa menjawab saat kuajukan sebuah pertanyaan sederhana. “Kenapa harus menunggu sampai ada orang yang telah seribu hari meninggal, hanya untuk menikmati gurih dan harumnya nasi kuning kebuli didesa ini?” Sedangkan ditempat aku tinggal dulu, nasi gurih itu telah menjadi salah satu menu pilihan untuk sarapan pagi. “Apa itu paten limo, dan kenapa tak boleh menikah dengan seseorang yang telah kehilangan salah satu orangtuanya. Dan, kenapa rajutan tali jodoh harus terpisah hanya karena hasil hitungan tidak mengeluarkan angka 9?” dan jawaban yang ku dapat lagi-lagi hanyalah sebuah pengulangan kalimat, “pokok manut opo jare wong tuwek!” 
    Jika terus begitu jawaban yang kuterima setiap kali bertanya, dan kalimat itu yang dipakai untuk mencegah aku melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan ditempat aku tinggal saat ini, lalu apa penjelasan yang akan kuberikan pada anak turunku nanti? Apa aku pun harus ikut-ikutan mendoktrin keturunanku dengan cetak biru “OPO JARE” yang berlaku saat ini? Apa tak ada cara lain untuk bisa membantuku menjelaskan pada para generasi biru nanti, bahwa tangan kanan yang bersih juga bisa digunakan langsung untuk menyuap nasi. Bahwa sendok dan garpu hanyalah alat bantu yang telah ditemukan dan sengaja dibuat untuk memudahkan setiap penggunanya saat mereka memakan sesuatu yang panas, berbelit dan berkuah? 
    Bahwa, dulu sebelum layar datar mengisi setiap rumah, banyak panggung-panggung indah sengaja didirikan di tengah lapang yang menampilkan beragam kisah. Dengan orang-orang nyata sebagai pelakunya, pemeran Joko Kendil bahkan rela dihias wajahnya penuh dengan bibir demi untuk menghidupkan peran dan menghibur setiap pemirsanya.
    Aku setuju dengan sebuah slogan yang tak sengaja ku baca, tertulis d punggung seorang pemuda yang aku jumpai di jembatan tol Sudimara menuju pasar Jombang sepulang aku mengantar dagangan. “DESA ITU KENYATAAN, KOTA ITU PERTUMBUHAN, MASA DEPAN ... KITA IKUT MENENTUKAN!” Lalu, mengapa kita yang telah dipilih untuk menjadi dasar pertumbuhan terus saja menolak kenyataan? Mengunci pintu masa depan hanya dengan penggalan kalimat, 'opo jare' tanpa imbuhan kata keterangan dibelakangnya. Mewariskan warna abu-abu pada setiap generasi yang baru dilahirkan, dan mencegah mereka untuk melihat sendiri indahnya warna pelangi.
            Opo Jare ...? Maka, jareku adalah ... Bismillah, la haula wala quwwata illa billah!! Maka aku akan selamat dalam hidup dan  tiba sampai tujuan atas izin Tuhan-ku. Dan, untuk kalian Trio Similikiti, seperti gugusan bintang yang dengan sabar menanti datangnya malam untuk bisa menampilkan siluet dan kerlip mereka yang indah. Bahkan, saat tiba-tiba saja awan mendung memutuskan untuk terus menggantung dilangit malam, atau ... awan putih yang berarak menutupi pandangan, bintang-bintang tak lantas marah dan memutuskan pergi meninggalkan langit. Karena gemintang sadar penuh dengan hakekatnya sebuah penciptaan dan untuk apa mereka di ciptakan. 
    Maka, akan seperti itu aku menghadapi kalian Trio Similikiti. Fatat, Ghibah dan Hasad yang sedang diarahkan padaku saat ini, maka “allohumakfinihim bima syi’ta” lah senjataku. Dan perhatikan saat tangan-tangan Tuhan-ku kembali membantuku meramu serbuk keajaiban yang akan ku gunakan untuk memukul patah, cetak biru OPO JARE itu.

Komentar

Postingan Populer