Ini Aku - Rekam Jejak 2

        Dulu aku sering berlagak bak para Mahasiswa yang tengah turun ke jalan dengan spanduk dan papan berisi suara hati. Atas nama rakyat, atas bentuk solideritas, dan atas hajat dan kepentingan lainnya mereka menyuarakan bersama apa yang tak mungkin terdengar atau tak berani diucap jika hanya dengan satu suara saja. Walau tanpa bandana menghias kening, tak ada cat warna-warni ala drama teatrikal menghias wajah, tak ada spanduk besar yang ku bentangkan. Namun pada kenyataannya, hari-hariku juga terisi dengan kegiatan unjuk rasa. Walau bukan berisi tentang tuntutan penolakan kenaikan harga bbm atau memaksa harga sembako diturunkan. Karena slogan NKRI HARGA MATI, itu sudah lebih dari cukup untukku. Adapun ketidak-adilan yang tengah terjadi didalam negara ini, aku hanya bisa menyerahkan kembali sepenuhnya kepada Pemilik alam semesta. Memohon dan berdo’a, agar setiap pemimpin yang sedang menempati posisinya diberikan hati yang dipenuhi Iman pada Tuhan yang diyakininya agar senantiasa Amanah dengan tugas yang tengah diembannya. Dengan begitu, sekuat apapun musuh abadi dengan bala tentaranya menggempur dan berusaha mengilik hati untuk berbuat ingkar, maka kuyakin mereka akan tetap berpegang teguh dengan janji yang mereka ucap dihari sumpah jabatan.

Sungguh, haruskah pergantian masa yang disalahkan sebagai penyebab tergerusnya pribadi elok menjadi nampak seperti buruk rupa? Ah, sudahlah … paragraf pembuka ini sengaja kubuat dalam rangka turut berpartisipasi dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan harapan, begitu selesai dengan alenia pertama aku sudah bisa menentukan materi apa yang akan aku pilih untuk bisa ikut serta dalam materi yang dilombakan.

Kembali pada tuntutan yang ku buat, “Jika setiap anak yang terlahir di dunia ini adalah seperti selembar kertas yang putih bersih. Maka, hitam, merah, birunya hidup kami adalah orangtua kami yang membuat!” Dan tanpa sadar unjuk rasa membabi buta itu telah membuatku menjadi seorang anak yang tidak berbakti, pribadi yang pemberontak. Sayangnya, tidak hanya pada kedua orangtuaku, tapi juga pada setiap orangtua yang kulihat tak berhasil menanamkan nila-nilai luhur pada kehidupan anaknya.

Punya hak kah aku untuk menilai sesuatu hanya dari sudut fikirku? Hei, aku masih muda saat itu dan telah dikatakan saat zamannya kanjeng Nabi bahwa pemuda adalah cabangnya gila.  Ditambah ego dan dikuatkan oleh peluang aku berbuat salah dengan dalih mencari kebenaran dengan caraku sendiri, maka semua kesalahan dan hal gila yang terjadi adalah sah-sah saja. Dan kupanjatkan rasa syukur yang tak terhingga, karena telah disadarkan dari kegilaan masa muda sebelum aku tutup usia. 

Keluarga. Seperti lirik yang tertulis di dalam sebuah lagu yang ditujukan untuk Paul Walker, how can we not talk about family, when family’s all that we got? Kenapa bisa? Sampai kapan akan menggunakan alasan karena Gengsi, canggung, rikuh ataua bahkan sengaja memilih acuh tak acuh? Menjadikan sebuah keluarga, terlebih orangtua seperti sebuah Matahari. Yang diyakini bahwa esok walau tanpa sengaja ditunggu akan kembali terbit dari arah timur. Tak perlu didekati, karena walau dari kejauhan cahayanya akan tetap terlihat dan panasnya tetap bisa diambil dan dirasakan manfaatnya. Matahari baru akan sengaja dinanti kehadirannya, saat gerhana total terjadi. Mempersiapkan diri sebaik mungkin, merogoh saku terdalam untuk bisa mendapat sudut pandang paling bagus. Dilengkapi kacamata pelindung dan atribut keamanan lainnya, sehingga saat fenomena alam yang langka itu terjadi, maka setiap yang sengaja hadir untuk menyaksikannya menyimpan kesan yang mendalam ketika gerhana berlalu.

“Everything i went through, you were standing there by my side. And now you gonnabe with me for the last ride.” Masa-masa indah sepertinya memiliki batas waktunya sendiri-sendiri, dengan pilihan masa yang beragam. Ada yang terputus begitu tiba akhir masa putih abu-abu, ada yang memajukan waktunya dimasa putih biru, ada yang belajar disapih dan dipaksa untuk mandiri sejak hari pertama berani menyeberangi zebra cros dengan seragam merah putih dengan tas gemblok dan botol air minum menggantung dileher dan dipundak. Dan itu semua seakan mutlak menjadi bahan rekam jejak saat akhirnya kita berhasil tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri.

            Aku bukan berasal dari kalangan yang terpelajar, tak cukup punya dana serta hanya memiliki akses yang terbatas untuk bisa mengikuti program Parenting yang saat ini sedang booming. Maka apa yang menjadi bahan tulisanku ini adalah hasil dari mengamati dan berdasarkan pengalaman pribadi.  Ditambah dengan kesimpulan yang dibuat oleh Dorothy Law Nolte, Ph.D. aku mendapat kesempatan untuk ikut belajar bagaimana keluarga semestinya berjalan, bagaimana seharusnya orangtua berperan, dan bagaimana seorang anak seharusnya mendapat perlakuan.

“Seorang anak, jika mereka dibesarkan dengan celaan maka mereka akan belajar memaki, jika mereka dibesarkan dengan kejujuran maka mereka akan belajar kebenaran. Jika seorang anak dibesarkan dengan permusuhan, maka mereka akan belajar berkelahi. Tapi, jika mereka dibesarkan dengan keterbukaan maka mereka akan belajar tentang keadilan. Dan untukku pribadi, keterangan tentang seorang anak adalah seperti selembar kertas putih saat mereka dilahirkan ke dunia ini, sudah lebih dari cukup untuk kujadikan sebagai pegangan. Selebihnya, tentang merah, putih, biru bahkan abu-abu seorang anak dimasa dewasanya tak bisa sepenuhnya kita-seorang anak yang telah dewasa ini, melimpahkan semua amarah, kesal dan kecewa pada kedua orangtua yang telah membesarkan dan merawat kita. Terlebih saat merasa dukungan dan semangat hidup yang kita butuhkan hanya bisa di dapat dari banyaknya kawan yang kita miliki. Tak bisa lantas menyalahkan keluarga dan saudara yang kita punya, karena gagal peka dengan apa yang tengah mendera hati. Karena seperti selembar kertas yang kosong. Maka disampingnya pastilah telah disiapkan sebuah alat tulis lengkap dengan penghapusnya, sekedar untuk berjaga-jaga andai ada tulisan yang salah atau kita sendiri kurang menyukainya. Ah, itulah gunanya akal disisipkan diantara isi kepala kita dan selain jantung yang berdetak, hati pun ikut berperan menjadi penguasa kerajaan jasad ini.

So, jika sebuah lirik indah bisa tercipta karena kepergian seorang sahabat dan sampai menantikan kesempatan untuk bisa bertemu dengannya kembali. Kenapa tidak juga kita ciptakan lirik dan nada-nada indah untuk keluarga, saudara, terlebih untuk orangtua yang masih kita miliki. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang keluarga kita punya, toh manusia memang tak luput dari kurang dan salah.

Komentar

Postingan Populer