Keajaiban

 

Entah sejak kapan aku kehilangan hak untuk membuat keajaibanku sendiri. Entah sejak kapan, keajaiban itu berhenti menyapa hidupku. Kernet 510, bapak pemberi bunga sepatu, kakak baik hati mampang prapatan. Pantai Indah Kapuk, Muara karang. Seorang wanita dengan surban putih seperti milik para Sunan, yang kujumpai saat di Bandengan. Entah berapa banyak keajaiban lagi yang harus kusebutkan, hanya untuk membuktikan dan kembali meyakinkan diri sendiri, bahwa keajaiban itu benar ada.

Seperti tantangan yang diberikan, saat duduk berhadap-hadapan dengan abah pemilik rumah putih. Memberikan bukti, bahwa aku dapat menghadirkan lembaran rupiah dibawah sejadah seperti yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Aku hanya tersenyum dihari itu, bukan karena takut tak dapat membuktikan semua ucapan yang telah kusampaikan padanya, namun karena aku semakin mengagumi dan mengagungkan kebesaran Pencipta-ku. Bahkan selembar daun yang telah mengering dapat diubah menjadi sebuah logam berharga, aku pun semakin memahami arti dari petuah bijak itu.

Seperti tawaran yang diambil oleh malaikat Harut-Marut, telapak kaki yang tergantung dilangit, ilmu langit yang sempat diajarkan dibumi. Kita … manusia yang hidup dibumi saat ini, saksi sejarah, penyambut setiap nubuah, sungguh percikan keajaiban terus berlangsung selama roda kehidupan masih berputar. Lalu apa yang telah membuatku menjadi sangat kecil dan tak layak lagi hidup dibumi?

Kehilangan arti, kehilangan makna, terasa semakin terlepas semua mimpi dan cita-cita. Tak mampu lagi kupertahankan dalam genggaman, tak lagi mampu kujaga dalam pelukan. Lepas, pergi, terbang tinggi. Ke arah mana? Kedua mata mencari pandang, kedua tangan berusaha menggapai, dua kaki ini, kupaksa untuk berlari mengejar.

Disaat tantangan sebuah mimpi bukan lagi terjebak desingan peluru dan dentuman meriam, disaat yang menjadi pembunuh mimpi bukan lagi bunker sempit dan barikade zona aman. Di saat yang punya mimpi lagi-lagi terperangkap dalam kisah punguk yang tengah merindukan bulan. Maka hanya keajaiban-lah satu-satunya pertolongan yang diharapkan datang setelah usaha dan do’a dilakukan.

Sebuah keajaiban, satu lagi keajaiban … tak mengapa walau hanya sebuah percikan. Karena kuyakin, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kembang api kehidupanku kembali menyala. Kujaga, sengaja kutunjukkan dibawah sinar rembulan dan bintang. Karena katanya, setiap idealisme butuh untuk dibuktikan. Setiap ucap harus memiliki wujud agar tak terdengar seperti tong kosong yang ditabuh ditengah lapang.

Tak ada yang menopang, maka aku yakin tengah diajarkan cara untuk tetap menjaga keseimbangan. Tak ada yang ambil perduli, maka ku yakin, aku tengah diajarkan arti bekerja dari hati. Tak ada yang mencari, ketika sengaja bersembunyi, tak ada yang mengejar walau aku telah jauh berlari, maka kuyakin … aku tengah diberi pengajaran, seperti apa seharusnya seorang insan bertanggung jawab terhadap pilihan hidupnya sendiri. Jika tak hadir pula, satu percikan yang ku minta, kuyakin … semesta telah memulai untuk mempersiapkan segalanya.

Membantuku, seperti sebelumnya … meramu mantraku sendiri, meracik kembali serbuk ajaib yang telah ada sebelumnya. Merayu restu, menunggu ketukan palu. Kun … maka jadilah apa yang telah menjadi kehendak-Nya.

Komentar

Postingan Populer