Agenda bilik in polybag - Tsamarotul Qolbi.


Anak ini enaknya diapain?

Anak ….

Aku di sini, yang sedang merindukan kehadiran buah hati hanya dapat tertegun mendengar pertanyaan itu, dan seperti dipaksa untuk mulai kembali mencari arti, untuk apa sebenarnya seorang anak terlahir ke dunia? Kembali bertanya, ikatan batin dan pertalian darah benarkah ada? Pohon keluarga, tentang silsilah yang permanen, lalu mengapa penjelasan sebuah hubungan digabungkan dengan kalimat, harta kekayaan hanyalah bayangan masalalu?

Aku yang telah setua ini, masih harus tertatih merangkai makna kehidupan duniawi. Apa itu kebijaksanaan, kasih sayang, sebuah ketulusan? Setiap upaya yang dilakukan, haruskan selalu disebut sebagai sebuah pengorbanan? Tindak laku, perhatian yang diberikan, seperti apa yang dari hati, dan seperti apa rupanya, jika hanya karena memandang dan ingin dipandang?

Wajah dunia, rupa yang semakin menua … haruskah selalu mengaitkan kondisi absurd saat ini dengan zaman yang menjelang akhir masa? Hilangnya rasa hormat, hambarnya kasih sayang, pertalian darah terputus hanya karena nilai tukar uang. Teman rasa saudara, saudara terasa asing dan sulit untuk dijangku hatinya. Orangtua menjadi musuh, dan seorang anak akan berubah menjadi beban saat dirasa tak sanggup lagi untuk dikendalikan. Berhitung, mulai menghitung setiap tetes keringat yang diperas, setiap luka yang didapat demi mendapat sesuap nasi untuk dibawa pulang. Dan setiap yang tak dapat memberikan hasil, dan mendatangkan keuntungan, maka itu dianggap sebagai sebuah kesalahan, sebuah cobaan, ketidakberuntungan, sebuah hukuman.

Anak … seorang anak yang mendapat jaminan indah dari Pencipta-nya, ketika dilahirkan ke dunia, maka ia akan seperti selembar kertas yang putih. Tanpa cela, tanpa dosa, terjaga dari apapun yang telah dilakukan orangtuanya sebelum ia terlahir ke dunia.

Lalu apa yang kutemui saat ini, banyak terjadi? Hanya dilapisan paling bawah, status sosial buatan manusia? Tidak, karena kuyakin disetiap lapisan pun mengalaminya. Sebab apa? Dengan sebab itupun, sesungguhnya aku tak terlalu bertanya-tanya.

39 tahun hidup dibumi ini, memperhatikan, mengamati, berusaha meneliti dan memahami setiap kali mengulang permohonan yang sama, selama hampir delapan tahun. Robbins Habana min azwajina wa dzurriyatina, Robbi habli miladunka dzurriyatan thoyyibah, Robbi la tadzarni fardan wa anta khoirul waritsina … adakah bagian yang salah dari kumpulan kalimat yang indah itu? Lalu, alasan apalagi yang akan kita ambil untuk membela diri? Memenangkan sesuatu yang terlalu lama menjadi benalu dalam tubuh. Melestarikan sesuatu yang seharusnya telah lama diperangi.

Ego, baqo’, hawa nafsu, entah berapa banyak jalan yang digunakan agar kita manusia dengan sukarela menyerang diri sendiri, dan membuat kita menjadi bagian dari yang menumpuk penyesalan dihari akhir nanti.

Entah sudah berapa banyak anak dengan sebutan nakal di dunia ini, entah berapa banyak pula orangtua yang terlalu mengangkat dagu dan membusungkan dada, dengan status istimewa yang mereka punya. Entah sejak kapan, yang seharusnya menjadi sebuah anugerah, berubah menjadi seperti musibah. Yang seharusnya menjadi investasi terbaik sepanjang masa, menjadi seperti cobaan terberat sepanjang usia. Yang seharusnya saling menguatkan dan menjadi jembatan surga, justru seperti saling dorong dan menjerumuskan ke dalam api neraka. Mau sampai kapan terlena dalam upadayanya musuh tak kasat mata?

Membahas tentang arti sebuah hubungan, membahas tentang bagaimana baiknya bersikap dan berperilaku, terhadap anak, dihadapan orangtua, pada lingkungan sekitar, terlebih dulu harus memiliki gelar? Tak cukupkah dengan menjaga nurani tetap murni, dan melihat segala sesuatu dengan matahati?

Klise? Basi? Aku mengerti, ketika respon yang kudapat tak sesuai dengan yang diharapkan hati. Namun aku terus belajar, tetap memperhatikan, semakin sadar … bahwa benar, kita memiliki musuh begitu kita dilahirkan. Walau kita menolak, dan memungkiri kehadirannya, namun izin yang diberikan Sang Pencipta kepada yang dulunya adalah panglima para malaikat, telah membuat kita untuk selalu ada dalam keadaan berjaga. Dan itu yang telah aku putuskan sekarang.

Berjaga, siaga, walau tak banyak ilmu yang kumiliki, namun setidaknya aku meminta untuk nuraniku tetap terjaga. Bahwa bukan orangtua, keluarga, saudara, tetangga, ataupun lingkup sosial yang sedang kuperangi, yang sedang kulawan berkaitan dengan segala sesuatu yang terasa tidak pas dihati. Melainkan mereka, yang mendapat izin penuh saat menggoda. Tak hanya hadir tanpa rupa, berbisik tanpa raga, namun juga mendapat restu untuk menelusup masuk, langsung melalui urat nadi, ikut bergerak disetiap pergerakan sendi, dan berperan serta dalam mengatur laju pergerakan hati.

Mau sampai kapan? Sesuai waktu yang telah ditentukan. Dan sampai saat ku tiba, aku akan terus berjuang, akan terus kulawan walau terasa menyakitkan. Akan terus kuucap dengan lantang dan penuh keyakinan, bahwa tak ada Anak Nakal yang dilahirkan ke dunia ini. Karena satu anak yang mendapat qodar kurang baik, telah dipertemukan dengan nabi Khidzir, sedang satu lagi tengah menjelajah dan akan hadir sebagai salah satu penanda besar tutup zaman.

Tak ada anak yang tiba-tiba saja mejadi nakal, ibu. Tidak ada anak, yang tiba-tiba saja jadi berandal, Ayah. Tidak ada anak yang begitu saja salah pergaulan, duhai kalian … pasutri yang telah begitu beruntung dihadirkan buahnya hati ditengah-tengah kalian. Tidak ada, andai saja setiap orangtua sedikit menurunkan ego dan melihat ke dalam hati sendiri.

Tak perlu mencari yang salah, tak perlu sibuk membela diri, karena apa yang tengah ada dihadapan kita adalah ladang, dan sepanjang masih dapat dipandang maka kita masih memiliki peluang. Untuk menjadi petani yang baik, membuat tanaman yang telah kita tanam tumbuh menjadi lebih baik.

Anak adalah anugerah, Ibu. Anak adalah anugerah, Ayah. Anak adalah hadiah terindah, bagi setiap pasutri yang tengah dan masih diminta untuk menunggu kehadirannya. Mohon dengan sangat, bagi kalian yang telah mendapat keberuntungan itu. Jangan buat sebuah anugerah menjadi seperti musibah, jangan buat lembaran kertas putih terlihat aneh dengan setiap coretan yang tak mungkin tiba-tiba saja ada dan mengisi setiap lembarnya.

Anak adalah sebuah anugerah, dan ini adalah cara untuk diriku menghibur diri sendiri. Mengisi masa penantian, hadirnya sang buah hati. Segel dengan do’a, dan akan terbukti, bahwa seorang anak adalah juga keajaiban yang nyata. Tambang emas di dunia, Ibu. Penuntun jalan kita ke surga, Ayah.

Komentar

Postingan Populer