Buku Harian Baxy 2020 - Nama-Nya 'Allah'
12. 07
April 2015, pukul 08:37 pagi.
[Nuni gimana isi bukunya, sudah tergambar belum?] Pesan singkat
dari Mbak Wanti tak dapat segera kubalas, karena hp chibi-chibiku kehabisan
pulsa. Harus menunggu sampai suamiku pulang dari kebun untuk sarapan setengah 10
nanti dan aku pun kembali meneruskan membaca buku di tanganku.
MUHAMMAD AL-FATIH 1453, syukur aku untuk ilham yang diberikan pada
Felix Y. Siauw dan disajikan dengan begitu indah lewat tulisan tangannya. Baru
saja aku mulai membuka buku dan membaca singkat-singkat buah karyanya, tapi aku
sudah dibuat seperti Harry Potter yang tersedot masuk ke dalam buku harian Tom
Riddle. Seakan ikut menyaksikan dan merasakan langsung setiap kejadian yang
diceritakan dalam buku itu.
Sudah tergambar atau belum? Aku justru merasa seperti telah
menemukan potongan terakhir dari pecahan teka-teki hidupku. Setelah sebelumnya
buku Keith Harrell membuatku menjadi terlihat sedikit lebih terpelajar walau
tanpa ijazah SMA di tangan. The Secret, sebuah buku yang membantuku
membuktikan bahwa aku bukan sedang berhayal dan tidak sedang dalam keadaan
setengah gila, saat ikut berkata, ‘Satu-satunya kepastian di dunia ini adalah
ketidakpastian itu sendiri.’ Bahwa keajaiban itu benar ada dan ‘keajaiban’
adalah bentuk lain dari kekuatan DO’A.
Sudah tergambar atau belum? Bukan gambaran tapi justru rasa iri dan
malu yang menyergap masuk menusuk sanubariku, sampai-sampai aku langsung menutup
buku dan tak berani membukanya lagi. Berbanding terbalik dengan suamiku yang
sejak kedatangan buku itu langsung berada dalam kekuasaannya dan hanya sesekali
saja bisa berpindah ke tanganku. Bahkan rutinitas di kebunnya pun sedikit
terabaikan, karena sejak bangun tidur dan sampai menjelang tidur kembali yang menjadi
perhatiannya hanyalah Buku Muhammad Al-Fatih.
“Aku kate niru Al-Fatih, wes. Tahajud dadi Mahkotane Rawatib dadi
pedange,” ujarnya, kemudian menyeruput kopi putih kesukaannya yang masih panas
saat sengaja menemaniku di dapur.
“Emang gituh? Ada keterangan kalo rawatib jadi pedang, tahajud jadi
mahkota?” aku bertanya dengan sedikit nada protes, karena baru diberi
kesempatan memegang dan mengetahui isinya setelah ia benar-benar selesai
membaca.
“Lhah, koen ghak eroh tah ...?” Aku tahu suamiku sengaja membuat
mimik muka dan menjawab dengan nada sedikit mengejek untuk menggoda.
“Gimana mau eroh, lah wong baru aja megang bentar … Pean udah ribut
sini-sinih, bae.” jawabku sengaja sedikit sengit, berusaha membalas nada nyinyir yang
ditunjukannya padaku.
“Deuuh, gitu banget sih …,” ia berkata sambil mencubit daguku.
Komentar
Posting Komentar