Di dalam Istana Pasir - Rani, kah?

    Benar tak ada yang sia-sia untuk setiap yang terjadi dalam kehidupan kita di dunia ini. Aku mengaku bersalah, menjadi pecundang sekaligus pengecut setelah memilih melarikan diri dari peluang yang bisa membuatku mewujudkan semua mimpi dan cita-cita hanya karena sebuah alasan konyol yang kubuat-buat sendiri. Aku takut kaya, dan ikut menjadi salah satu penghuni Pantai Indah Kapuk selama setengah tahun semakin membuat ketakutanku itu bertambah. Sebuah kebodohan memang, itu sudah aku akui begitu menjumpai kenyataan baru tak lama setelah resmi mengajukan surat pengunduran diri. Ingin meneladani Kholifah Ustman bin Affan tanpa harta dunia, apa iya aku bisa melakukannya?

    Alur hidup membawaku pada petualangan berikutnya, dari istana tanpa kabel yang berisi semua hal yang berhubungan dengan teknologi, kini aku ditempatkan di antara alat-alat medis dan para pekerja berseragam putih bersih. Dikelilingi oleh dokter dan ahli syaraf, juga para perawat lengkap dengan kisah drama percintaan mereka. Walau tetap, masih menyimpan satu ketakutan yang sama, tiap kali tanpa sengaja melihat seorang supervisor sibuk menghitung lembaran rupiah berwarna merah dimeja tugasnya, tapi kali ini aku berusaha untuk tetap bertahan, setidaknya sampai musim sunatan usai.

    Dari griya Rumah Sunatan di Bintaro sektor 5, aku sengaja memilih untuk berjalan kaki sambil menunggu salah satu kakakku datang menjemput saat sore tiba. Memperhatikan setiap sudut jalan yang kulalui, memohon ampunan disetiap ayunan langkah karena semakin sadar diri telah berburuk sangka pada Dzat yang paling mengetahui. Bertahun-tahun hidup dan tinggal dikota besar, tapi ternyata cara pandangku tentang alur kehidupan ini masih terlalu sempit. Dengan roda kehidupan yang terus melaju, aku terus bertahan dan terus membangun benteng perlindungan dari sebuah perubahan. Iya, kemungkinan besar, aku juga termasuk orang yang takut akan perubahan.

    Akhirnya, setelah cukup jauh berjalan ... ekor mataku menangkap apa yang sedang sengaja aku cari. Pemandangan yang sempat tanpa sengaja ku lihat saat duduk dijok belakang motor kakakku. Saat sore semakin menjelang, sebelum kendaraan kami memasuki wilayah Bintaro sektor 9, sudah beberapa kali aku menjumpai pemandangan memilukan itu.

    Istana beroda dua, dengan seorang laki-laki separuh baya sebagai kusir merangkap kuda milik Rina dan Rini itu kini bertambah satu penghuni, namun tak ada nama tambahan tertera disampingnya. Iya, saat untuk pertama kali aku melihatnya, aku memang sengaja mengingat tulisan yang tertera disamping kanan dan kiri gerobak yang kemungkinan adalah nama dua gadis kembar yang menjadi penumpangnya. Siapa ia? Terlihat lebih kecil dari gadis kembar itu, dengan baju yang tak jauh berbeda, putih namun telah beralih rupa karena tertutup debu jalanan...

    Fenomena manusia gerobak, tak sengaja aku mendengar beberapa pengendara sepeda motor sibuk bergumam dengan penumpang yang dibawanya saat berhenti ketika lampu merah menyala. Kembali uluhati ini terasa seperti kena tinju, hati ini kembali terasa ngilu.

    Manusia geroba kah juga Rina dan Rini? Mereka begitu karena tak punya rumah? Lalu salah siapa? Benar miskin kah mereka, atau hanya pura-pura seperti yang pernah diceritak seorang teman ngaji yang kebetulan aktif terjun dalam kegiatan sosial dan rutin mendatangi tempat-tempat yang sekiranya disinyalir butuh binaan dan bimbingan. Salah siapa? Pantaskah bertanya siapa yang salah, untuk setiap fenomena baru yang terjadi di depan mata, toh aku pun tak bisa bantu apa-apa.

    Rani terlihat jauh lebih kecil, itu jika benar namanya Rani. Dunianya seharusnya adalah seperti senandung sapu tangan yang selalu didendangkan disekolah taman kanak-kanak, saat pelajaran menyanyi dimulai. Rani apakah juga akan dapat kesempatan yang sama seperti anak-anak lain seusianya? Tak harus menenteng gadget kemana ia pergi, cukup beri ia tempat tidur yang layak dimalam hari, sebuah tempat yang pantas untuk mengisi hari diluar istana gerobak miliknya dan dua kakak kembarnya.


Komentar

Postingan Populer