Buku Harian baxy 2020 - Menuju Payek (bilik in polybag)
"Loe bahagia, nggak?" Salah satu sahabat bertanya lewat udara. Yang aku tahu, tak pernah
sekalipun meragukan keputusanku dalam mengambil langkah.
"Hemh …." Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan, tiap kali bahasan kembali
menyinggung 8 November.
"Apa itu maksudnya, kamu tulis mendung
menggantung sehari lagi? Kamu nggak bahagia?" Satu lagi kawan baik tetap menunjukkan perhatiannya, walau dengan
menyimpan sedikit rasa kecewa.
“Hemh ….” Lagi-lagi,
hanya kata itu yang bisa kuberikan sebagai jawaban.
"Nikah nggak cukup cuma dengan cinta, Mbak.
Kita juga butuh logika untuk ngelangkah. Aku nggak mau, Mbak aku nggak ndapetin
haknya untuk bahagia. Pokoknya aku mau Mbak dapet yang terbaik." Selalu menjadi yang paling mengerti aku, walau tanpa pertalian
darah, walau persaudaraan terjalin hanya lewat salah satu kamar digedung dua,
yang kami huni bersama santriwati aqobah lainnya.
"Umh …," setiap ucapannya, selalu berhasil membuatku untuk berfikir lebih
dalam lagi. Namun tetap, masih tak ada jawaban yang bisa kuberikan jika
berhubungan dengan tanggal 8 November.
"Kamu sudah mantab? Walau dengan resiko
yang sudah tergambar? Yah, mungkin Alloh masih minta kamu untuk berjuang sekali
lagi. Kalo babak hidup kamu yang lain gagal, kali ini buat sampe selesai. Buat
bapak sama mama kamu bangga dan bahagia dunia dan akherat." Seorang ibu baik hati, yang meringankan tangannya untuk mengusap
halus punggungku, di saat yang lain sengaja membalikkan badan dan memunggungiku.
"Amiiiin, insya Alloh, Bu." Dan aku tersenyum, memberanikan diri untuk kembali sedikit
mengangkat dagu saat berdiri.
Ganbatee kudasaii, bismillah, biladzi hiya ahsan. Bilik sudah
ditangan, satu modal buat terus maju ke medan juang. Kalo terus nyari jawaban
apa aku bahagia apa enggak, atau mikir kebahagiaan seperti apa yang berhak aku
dapet, maka aku akan terus ada dalam hitungan maju mundur, sedangkan polybag
terus bertambah memenuhi pekarangan.
Pilihan hatiku mungkin bukan pilihan ideal bagi sebagian orang,
namun aku bertahan dengan yang terbaik yang selalu diberikan.Suamiku mungkin
tak memakai jas dan dasi setiap hari, melainkan bergumul dengan ampas kelapa
dan sekam dibawah terik matahari, memecah ketepeng dari koloninya dalam pot
besar, dan menatanya kembali per akar dalam wadah polybag mini. Tapi darinya
aku banyak belajar tentang alur kehidupan ini.
"Satu rahasia ya, kami orang desa kalo mau
ngajari kami, jangan pake kata-kata. Cukup kasih contoh dengan perbuatan, itu
lebih efektif. Itu bisa kamu pake nanti kalo kita emang diqodar jadi suami
istri," ujarnya suatu hari, jauh sebelum
kami akhirnya benar menikah.
Aku banyak belajar tentang arti kesyukuran darinya, tentang
ketulusan, ketelatenan. Sungguh aku mecari celah, dari arah mana aku bisa masuk
kedalam hatinya secara penuh. Mengobati setiap luka yang tanpa sadar tergores
oleh sikap dan tutur kata, sebab perbedaan organisasi yang ada di antara kami.
Dan aku pun kini menjadi penghuni lembah kaki gunung, Robb. Kisah dimana
gunung hampir-hampir bergoncang karena sedikit sekali yang menyembah-Mu, dan kembali
tenang saat kanjeng nabi mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Bahkan aku berharap lahir dari mereka
keturunan-keturunan yang sholih dan sholihah." Kalimat itu yang aku garis bawahi. Mengganti, Hemh … menjadi Aha! Walaupun
prakteknya aku belum sepenuhnya bisa.
Ajari aku Robb, melengkapi atmimlana, setelah Engkau beri
kami cahaya. Qoulun wa fi'lun, buat bilik dan polybag ini jadi kisah
sepanjang masa, dongeng untuk anak turun kami nanti, bahwa Engkau benar-benar sesuai
dengan persangkaan hamba-Mu.
Komentar
Posting Komentar