Di dalam Istana Pasir - Nur Cahaya, kenapa?

    "Tak mau, mamak ... tak mau lah lagi aku mengaji disana. Mbak Uun sudah tak ada, cuma mbak Uun saja guru yang baik sama aku. Guru-guru yang lain tidak ...."

    Cuma bisa menghela nafas selesai mendengar ibuku bercerita lewat hpnya. Menceritakan kembali tentang pertemuannya dengan wanita paruh baya yang sedang memanggul satu karung berisi limbah botol plastik yang ia jumpai disekitar rumah dinas para karyawan PJKA sepulangnya dari pasar.

    Hanya bisa termenung, dan lagi-lagi hanya bisa menyalahkan diri sendiri karena tak berhasil membulatkan tekad dan meneguhkan niat agar tetap bertahan tinggal dalam istana tanpa kabel sampai aku mewujudkan semua yang sedang ku cita-citakan. Terbayang pula wajah wanita paruh baya yang sedang diceritakan ibuku, yang terpaksa bertahan hidup dengan menjadi pemulung sampah untuk bisa menghidupi ketiga anaknya termasuk Nur Cahaya. Airmataku hanya mampu menggenang, tiapkali mengingat tentang kesenjangan sosial yang ada di dunia ini. 

    Ah, iyakah, Nur? Benar kamu sudah tak mau datang untuk mengaji lagi? Lalu bagaimana dengan cita-cita kamu yang ingin menjadi guru ngaji? Ah, muridku sayang ... mungkin ini juga semua salahku terlalu tergesa-gesa ingin menyempurnakan agama hanya karena dikejar batas usia. Sementara banyak hal yang belum bisa ku siapkan dengan baik untuk orang-orang yang kusayang, agar aku bisa sedikit lebih tenang saat menjalani kehidupan baruku.

    Nur Cahaya Surya Safitri, semoga kamu temukan baitul makmur dimana pun kamu berada. Kelak ketika dewasa bersinarlah terang seperti nama yang kamu punya. Titian hidup yang sedang kau jalani saat ini, semoga menjadi buah manis untukmu dimasa yang akan datang.

Salam rindu, muridku sayang.

Komentar

Postingan Populer