Ini Aku - Mutiara Kenangan 2

Dunia ... Bumi yang dirupakan sebagai wanita tua saat sempat berpapasan dengan Utusan terakhir. Maaf, jika aku tidak dapat mengingat dengan jelas atau telah salah dalam memahami. sebisa mungkin aku menjaga ingatan dengan setiap ilmu yang telah aku dapat. Lihat apa yang sedang kami lakukan?  Mengubah lirikan menjadi sebuah tolehan cepat diiringi gerak badan memutar. Bukan mengacuhkan dan bergegas pergi menjauhi, kami justru sengaja mengayunkan langkah seribu, beradu cepat agar lebih dulu tiba dan berdiri paling dekat disisi Wanita tua itu. Seakan sengaja menyalahartikan kata secukupnya, berebut mengisi setiap saku baju dan kantung celana dengan setiap silap dan kilau indah yang dimilikinya.  Saling sikut, saling injak dengan sesekali menjambak rambut. Menghunus uluhati dengan tinju sakti, menyayat jiwa dengan mata bundar merah dan tajamnya kata-kata. Seakan semua benar, semua cara baik untuk dilakukan. Siapa cepat ia dapat, Siapa yang kuat, maka ia yang akan bertahan lebih lama dan mendapatkan paling banyak. Seakan diperkosa, dikoyak baju dan dilepas kedua sepatu. Wanita tua dipaksa terus bertahan dan meneruskan perjalanan dengan memikul beban yang semakin berat, Dunia.

            Maaf, jika aku masih terus saja mengulang pertanyaan yang sama. Tapi benarkah hanya harta dan tahta yang menjadi hal paling utama untuk membuat Agama ini terus berjalan? Tak bisakah Hati diletakkan dibarisan paling depan, atau setidaknya jalan beriringan. Kemauan, Tekad, Keyakinan, Kebersamaan, Kasih Sayang, Kejujuran … saat semua telah berkumpul dalam satu ruangan, maka setiap pribadi dengan sendirinya akan mengerahkan seluruh kemampuan yang mereka punya untuk menghidup-hidupkan agama yang mereka yakini.

Kuli batu siap mengaduk luluh dan memasang bata, para arsitek siap dengan rancangan data dan tata letak buah karya mereka. Para seniman telah bersiap dengan pemikiran abstrak yang mereka punya, menghias dinding dan jendela, mengukir kayu dan batu, menyusun kaca dan permata, menjadikan lampu pijar terlihat semakin istimewa. Sementara para pemegang ilmu-siap sedia di depan pintu utama. Menuntun, membimbing, mengarahkan. Mengobati ketidaktahuan, menyembuhkan kebimbangan. Hanya dengan satu alat bayar utama, menghendaki kebaikan untuk yang lainnya.

            Yang seperti itu apakah bisa dilakukan?  Seperti Tomb Rider yang sengaja membiarkan kotak Pandora tetap pada tempat perlindungannya, walau setelah dengan susah payah berusaha untuk menemukannya. Seperti Dome of Rock yang masih menyimpan misterinya hingga saat ini. Seperti itu kini aku tengah berjalan, bernafas, dan hidup dimuka bumi. Bisa memahami Sang Pencipta, maka baru bisa menemukan kedamaian sejati. Lalu, pemahaman apa yang sedang kucari sebenarnya saat ini?

Hujan pertama setelah panjangnya musim ketiga pun akhirnya turun sesuai pesanan. Awan mendung, udara lembab, kawanan titik air yang jatuh dari langit membasahi tanah yang mulai mengering. Nona curah hujan, hahaha ... ternyata mendung dan hujan tak harus selalu diartikan sebagai lambang kesedihan. Mengapa tak diubah saja menjadi lambang atau tanda sebuah keberkahan? Berkah, Rahmat dari Sang Pemilik alam semesta.

            Seperti bulan sabit dan bintang gemintang yang terlukis dilangit malam sebelum hari penaklukan. Seperti itu sesungguhnya aku merasa Tuhan-ku melukiskan hari-hari kemenanganku. Cobaan kah atau sesungguhnya teguran untuk sekian banyak kesalahan yang telah aku perbuat, sejatinya keduanya adalah sama. Hanya sebuah cara, jalan yang dipilih untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang-Nya untukku. Hanya saja aku yang kurang jeli, hanya menggunakan mata namun lalai untuk memasang hati, lupa menata rasa.

            Fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban? Sekumpulan tanah kering, setetes air yang hina … lalu mengapa, masih banyak dari kami yang masih berani angkuh dan besar kepala? Jabatan, Kedudukan, Derajat, Status sosial, Pemilik banyak harta dan si Miskin papa yang seakan terus dipaksa untuk menjadi hamba sahaya.

Komentar

Postingan Populer