Ini Aku - Mutiara Kenangan 3

Seperti Langit dan Bumi … jarak yang membentang sebagai batas pemisah antara mereka, katanya. Sedangkan Langit itu sendiri tak pernah sekalipun menampilkan keangkuhan karena berada tinggi jauh dari Bumi. Banyaknya Harta telah menjadi syarat syah untuk memandang mereka yang papa hanya dengan sebelah mata. Dengan beragam gaya, tak perlu lagi ditanya bagaimana melakukannya. Saling sikut, tak jarang menjadikan diri musuh dalam selimut. Kemurnian dan Kejujuran hati seakan tak lagi memiliki arti, karena yang terekam didalam benak dan senantiasa dirancang cepat dalam otak hanyalah, bagaimana caranya menjadi penghuni terakhir, menjadi seseorang yang akhirnya berdiri menyandingi The Old Lady.

Ah, menusuk jari dengan jarum dan menggores nadi dengan bilah bisturi pun tetap tak’kan bisa menandingi luka dan rasa perih dalam hati ini. Saat kesempatan telah terlepas dari tangan, maka mimpi sungguh baru terasa sebagai sebuah ilusi. Fatamorgana ditengah gurun Sahara.

Seperti kotak Pandora, yang tetap dengan cara rahasianya saat bekerja-perlahan membuka diri dan mengeluarkan satu persatu semua isi yang ia simpan selama ini. Seperti itu pula ku rasa, kisah hidup yang tengah ku jalani. Lingkaran Pandora, satu persatu mutiara kenangan dalam hidupku mendatangi. Saling mengait, saling mengikat diri. Merangkai tiap juntai, dan tanpa kusadari hampir membentuk sebuah lingkaran. Hanya kurang beberap butir lagi, maka lengkaplah sudah. Menjadi Kalungku, Mahkotaku, cincin dan gelang kaki, Perhiasanku. Hasya lillah … cukup letakkan dunia-Mu hanya dalam genggamanku. Dan biarkan hatiku terus terisi dengan nama-Mu. Hanya dengan lembah indah, yang saat ini baru berupa kisah.

Terpukul jatuh oleh sindrom legalitas yang berlaku. Terjerembab tali adat dan hukum sebab-akibat yang telah berlaku sejak dulu kala. Tersungkur kisah yang telah sampai ditelinga dan cerita yang telah digoreskan pena. Terkubur jiwa, walau raga masih menapak bumi hanya karena ada dibawah garis minoritas, yang tiba-tiba saja mendapat sebutan sebagai Kaum Kusam.

Seakan semua mimpi dan cita-cita yang kami simpan adalah sebuah kesombongan, semua kisah yang kami ceritakan hanyalah omong kosong. Tak ada cukup tanah untuk bisa kami pijak lebih lama, tak ada satu saja batu pualam, yang bisa kami gunakan sebagai batu loncatan. Seperti dipaksa merubah rupa menjadi seekor punguk yang digambarkan sedang merindukan bulan, tiapkali dengan sengaja membagi cerita tentang mimpi indah yang kami punya.

Apa memang harus seperti itu? Sedangkan disaat yang bersamaan ... bunga rumpur liar pun terlihat sangat indah ketika mereka mulai merekah, dan itu tak serta merta membuat kuntum mawar, aster, melati dan bunga indah lainnya berkumpul membuat sekutu untuk mengkudeta rumput liar agar tak lagi menghadirkan kuntum bunganya. Masing-masing bunga justru semakin merekahkan setiap kelopak yang mereka punya. Bersandingan, bersama-sama bermekaran dan merona. Menghias indahnya dunia dengan aneka bentuk dan warna yang mereka punya. Namun begitu, kisah punguk yang merindukan bulan tetap terus disampaikan, menjadi legenda yang terus disampaikan pada setiap pemimpi yang enggan berkaca dengan realita yang mengelilinginya. Taraf hidup, tingkat pendidikan, jenjang sosial, tingkat kecerdasan, semua itu digunakan sebagai alat ukur batasan mimpi.

Ingatkan aku pada gemilangnya kisah para Laskar Pelangi, karena lewat kisah mereka lah aku berani untuk tetap mempertahankan mimpi yang ku punya hingga detik ini. Satu lagi kesalahanku, yang selama ini bersikukuh berusaha menghentikan roda-roda lama yang masih terus diputar dan lewat salah satu kalimat bijak Sang ALKEMIST, telah membantu menyadarkan aku.

“Breaking the wheel, not just stop the wheel!” Iya, aku setuju. Karena berhasil menghentikan saja tidak bisa dijadikan sebuah jaminan bahwa roda-roda itu tidak akan bergerak kembali, dan kehidupan pun akan kembali masuk kedalam putaran yang sama. Tetapi dengan mematahkan roda-roda itu satu persatu dan perlahan menggantinya dengan yang baru akan membuahkan hasil mendekati sempurna. Maka si punguk tak’kan lagi merindukan bulan, karena akhirnya menyadari ternyata banyak hal indah didekatnya yang bisa ia raih dan bisa ia miliki. Tak’kan lagi saling membelakang sikembar Malang dan Untung, namun berdiri bersisian dan berjalan beriringan. Menjadi pengingat untuk saudara tengah mereka tentang arti Kesyukuran.

Kupandangi lagi bagan rancangan mimpiku. Peta yang sengaja ku buat sebagai penunjuk jalan yang akan membantuku tiba dipulau masa depan. Semua peralatan yang ku minta dan ku butuhkan, yang rencananya akan kugunakan untuk mengganti roda-roda menjemukan ini. Dari sekian banyak arah penunjuk jalan, hanya ada satu rambu yang sengaja kutulis dengan huruf besar dan cetak tebal, namun pada kenyataannya … aku sendiri yang menerjang dan melanggar rambu-rambu itu.

DIAM. Karena aku yakin perpanjangan tangan Tuhan-ku biasa bekerja dengan cara seperti itu. Aku yang merasa telah mengenal diriku sendiri sebagai seorang yang pendiam ternyata telah berani melakukan makar pada janji hati yang telah ku buat. Memutus setiap jalur penghubung, dan membuatku diriku sendiri menjadi tersesat dan mulai kehilangan arah.

Sebuah langkah kecil yang kuambil, sungguh telah membawaku pada lompatan tinggi dan terbang jauh sekali. Seperti jendela besar yang terbuka dipagi hari, penglihatanku menangkap gambar yang sebelumnya ku kira hanya ada ditelevisi. Hatiku yang terluka, rasa sakit merasuk ke dalam jiwa. Jangan bilang aku menghilangkan Kesyukuranku saat itu. Hanya saja, rasa sakit yang mendera telah berhasil mengalahkan rasa syukur yang ku punya.

Semakin mengetahui, bahwa ternyata manusia lebih senang berperan dan berebut peran protagonis hanya dihadapan manusia lainnya. Dihadapan seorang Pimpinan, dihadapan para pembesar. Dihadapan orang yang dicintai, dihadapan orang yang telah berjasa dan berpengaruh dalam kehidupan baru yang dimiliki. Mengganti rupa hati dengan begitu mudahnya, dengan egoisnya memaksakan kehendak, melepas topeng dan peran yang segera dikenakan kembali begitu kokok ayam jantan pertama terdengar, dan terus seperti itu hingga Mentari kembali menyembunyikan diri dari pandangan. Sedangkan dihadapan Sang Pencipta sendiri, yang ditampilkan adalah apa yang kami anggap peran yang telah Engkau tentukan untuk kami. Dengan satu alasan bodoh yang sama, “Engkau tahu apa yang kami mau.”

 “ ... Mengukur jalanan seharian, begitu terdengar suara adzan kembali tersungkur hamba ....” Sepenggal lirik dari syair merdu milik Bimbo yang sengaja aku putar berulang. Menggelar sajadah dan menjadikan sujud sebagai sebuah ketaatan, bukan hanya sekedar interupsi atau cara memperpanjang waktu istirahat. Sebagai bentuk kesadaran dan bukti penyerahan diri seorang hamba pada Pencipta-nya, bukan hanya sekedar ajang untuk mencuri perhatian atau sengaja mengundang decak kagum yang melihatnya. Berlomba mencari ilmu, bersaing mengais rejeki. Berapa banyak dari hamba yang memasang niat didalam hatinya semata-mata karena mengharap dan mencari keridhoan-Nya?

Huft, akan berujung dimana buah fikirku ini? Tak’kan berbuah manfaat jika yang kutulis hanyalah ratapan biru dan keluh kesah gelisah. Sedangkan aku selalu menyelipkan harap, bahwa mutiara Pandora yang kupunya bisa menjadi seperti milik Iyanla. Setiap senandung biru yang pernah mengalun dalam hidupku bisa mendatangkan pelangi untuk kehidupan lainnya. Menjadi alunan pembanding, bagi mereka yang memiliki senandung biru yang sama dengan ku. Dengan begitu, mereka tidak akan sempat untuk merundukkan bahu dan menenggelamkan kepala terlalu lama, karena tahu bukan hanya mereka yang memiliki kisah sendu.



Komentar

Postingan Populer