Ini Aku - Permata yang berdebu
“Congculuddin ... Congculuuddiin ... Coongcuuluddiiin.” suara bude
Tien semakin lama semakin terdengar lirih dan dramatis. Ditengah-tengah
pembahasan kami tentang topik yang berhubungan dengan tuntunan agama dan
tradisi. “Yo iyo seeh, seje tempat la’ seje adat. Opo meneh ndhek enggen mu
kono la’ akeh seng Mukamadiyah,“ ujar bude Tien, sebelum masuk ke dalam kisah
horor fenomenal yang diceritakan secara turun-temurun. Aku
hanya tersenyum, “Andai bude tahu kalo aku terlanjur dikenal sebagai orang lemkari, maka kemungkinan besar aku
akan semakin tidak disukai,“ ucapku dalam hati.
Ah, tandai suara hatiku itu,
Robb. LDII, kutambahi juga dengan MUHAMMADIYAH, NU, dan apapun nama organisasi Islam
yang ada di Negeri ini. Nama-nama belakang itulah yang sesungguhnya tak pernah berhasil menyejukkan akal dan menenangkan hatiku dalam menetapi agama ini. Ingin rasanya aku jalin setiap untaian nama itu, agar kembali menjadi satu tali tampar yang kuat dan besar, dan hanya menyisakan satu nama belakang saja, yang sejatinya
telah Engkau siapkan sejak hari disempurnakannya agama ini, ROHMATAN LIL
‘ALAMIN, Robb.
Aku
tertawa terkekeh-kekeh, bukan karena aku menganggap remeh kisah yang
disampaikan bude Tien, tapi karena ekspresi wajahnya, gerak tubuh dan suara yang
ia buat untuk menguatkan kisah yang sedang ia ceritakan. Sungguh, bakat seni peran sebenarnya secara alami dimiliki setiap orang, hehehehee.
Semangat jiwa penulisku seketika melanglang buana, sebisa mungkin aku
membagi perhatianku sama rata. Tetap mendengar dan memperhatikan dengan baik
setiap cerita yang disampaikan budeku dan sebisa mungkin pula mengikat dan menyusun kisah
ditempat. Berusaha mendahului untuk bisa sampai diakhir kisah, walau bude belum lagi sampai
diujung cerita. Mencoba mencari sendiri, dimana simpul kisah melegenda ini bermula,
mencari peluang apakah aku bisa membuka ikatan itu dan menggantinya dengan
simpul yang baru.
Setelah
ikut tertawa karena melihat aku yang terkekeh-kekeh, bude Tien segera
mengendurkan kembali syaraf-syaraf diwajahnya. Kedua bola matanya tampil dalam bentuk
dan ukuran yang semestinya, begitu juga dengan nada suaranya. Kemudian segera menyambung kisah Congculudin pengelana dengan sandingannya. Aroma kue
apem dan sambal goreng Kudus yang tercium menyengat, dengan suara perabotan
dapur yang berisik saling beradu-terdengar seperti orang yang sedang
marah-marah. Semua itu terjadi, karena Congculuddin tak mendapatkan haknya
untuk diselameti.
“Setahu aku, dihadist yang mbahas tentang hak-haknya jenazah sama kewajiban kita
yang ngeramut jenazah, nggak ada keterangan tentang keharusan melepas tali
pocong, De. Jadi mau dilepas atau ndak itu ndak masalah. Yang ditakutkan ya cuma akhirnya kita kaya' ngamini mitos yang melegenda itu.” Sedikit memberanikan diri, aku kali ini untuk menjawab dengan suara. Karena tiga tahun berlalu begitu saja, tapi aku belum bisa melakukan satu
pun hal yang berarti sebagai bukti lamaran kerjaku menjadi sales agama. Bukan
berarti aku melupakan janji dan hajat yang masih aku simpan sampai hari ini, tapi karena sadar aku sungguh kekurangan bekal. Dan momen ini ku jadikan sebagai kesempatan pertamaku memulai. Membuka
simpul lama yang telah diikatkan secara turun temurun tanpa sedikit pun
tergerak untuk melihat keadaan simpul tersebut saat mengikatnya kembali.
Jenazah yang terbungkus kain kafan
itu tiba-tiba saja keluar dari liang lahatnya. Melompat-lompat tak tentu arah,
dan mengetuk setiap pintu yang ia temui. Hanya satu kalimat yang ia ucap setiap
kali ia melompat, “congculudin!” Dan baru akan terurai dengan jelas kalimat apa yang dimaksud saat
jenazah terbungkus kain kafan itu menemukan rumah milik juru Muddin yang
mengurus tubuh hingga pemakamannya, “Tali pocongku durung ko’ culno, Diin ....”
Rasa apa ini, yang sampai dihatiku
saat mendengar penjelasan bude Tien tentang kepanjangan kata itu?
Apa arti senyuman yang tiba-tiba saja tersungging diujung bibirku? Apa yang seakan tiba-tiba saja menjundul kepala dan logika?
Kembali, seperti
tertarik mesin waktu milik Doraemon, ragaku ada di era Millenium, namun
kenanganku menari bebas dimasa saat pertama kali aku melihat gunung Kelud
meletus. Diakhir delapan puluhan, diawal era sembilan puluhan, disaat semua
pemandangan terlihat begitu indah. Langit begitu biru, gunung dan perbukitan
terlihat hijau sempurna. Padi yang mulai merunduk dan semakin menguning,
harumnya seledri dan daun tomat yang bergoyang saat tersentuh angin.. aroma
khas kotoran sapi dan kambing dipagi hari. Rumah-rumah luas yang berhias
anyaman bilah bambu, sahaja... senyuman-senyuman ramah dan kekerabatan yang
erat ditengah kehidupan yang apa adanya.
Dari sekian banyak kenangan indah
yang kusimpan, dan sedikit sekali yang berhasil ku temui saat ini.
Mengapa hanya kisah congculuddin yang masih dijaga dan dipertahankan?
Membentengi diri dari orang-orang baru yang datang dari kota, namun menerima
begitu saja hanya dari apa yang mereka lihat lewat layar kaca.
Bukan bermaksud
pukul rata, tapi dimasa ini banyak orang yang mudah emosi dan
terprovokasi, menjadi terbiasa membuat dan mengambil kesimpulan menurut
kenyamanan hati, tanpa tergerak untuk bertanya atau sekedar mencari tahu dari
pihak yang bersangkutan. Ini ku sampaikan berdasarkan keseharian yang ku alami,
dari lingkungan sekitar tempat aku berosialisasi. Iya, termasuk dari keluarga
dan kerabatku sendiri.
Lagi-lagi nenek tua bling-bling
berhasil mengalahkan aku disini, menjadi PRIMADONA dan barometer mutlak untuk
semua ukuran yang berhubungan dengan urusan kasat mata. Cantik, tampan, tuan
tanah, kaya raya, sukses, cepat punya anak setelah menikah, cukup dua anak agar
tak terlalu sulit saat membagi harta waris. Aaarghh ...!! Menjerit dalam diam
dan mengelus dada dalam senyuman, hanya akan makin menegaskan bahwa aku telah
kalah sebelum berjuang.
Komentar
Posting Komentar