Ini Aku - Pelangi Pandora 2

Aku Islam sejak lahir, aku mengakui Islam sebagai agamaku sejak duduk dibangku sekolah dasar. Tapi pada kenyataannya, aku sama sekali tak mengenal agamaku sendiri. Pelajaran agama Islam yang ku dapat selama duduk dibangku sekolah sampai masa ujian praktek tiba, tetap tak mampu membuatku tergerak untuk mencoba mempraktekkannya langsung dan menjadikannya bagian dalam keseharianku. Aku tak terlalu mengenal do’a dengan cara mengangkat tangan seperti itu. Tapi, aku yakin benar dengan permintaan hati.

Mimpi-mimpi gelap dan menakutkan. Mengapa mimpi-mimpi itu justru semakin sering datang, sedangkan aku tengah tinggal diantara hamba-hamba-Mu yang terus memuji dan mengagungkan kebesaran-Nya? Aku pun sudah mulai bisa menghafal beberapa do’a dan membaca surat penjagaan sebelum tidur. Namun sepertinya keyakinanku pada para malaikat penjaga belum bisa mengalahkan ketakutanku pada mimpi-mimpi buruk yang mengganggu tidurku. Dan dengan semua ketakutan itu, tanpa sadar telah membuatku berburuk sangka pada Yang Maha Baik.

Baik-buruk, hitam-putih, berdiri tegak dan terpuruk jatuh, gagal dan meraih kesuksesan. Sebanyak mungkin aku mengumpulkan informasi untuk menguatkan diriku sendiri selepas melarikan diri dari penjara suci. Karena mencoba untuk terus bertahan tinggal didalamnya seakan membunuhku secara perlahan. Islam yang kutemukan ternyata telah membuatku patah arang. Membuatku kehilangan keyakinan bahkan lebih parah dari sebelum aku menemukannya, bahkan sampai membuatku berani dengan sengaja meninggalkan apa yang telah aku ketahui sebagai sebuah kewajiban. Ku tinggalkan Subuh dan Isya, dan itu telah membuatku resmi menerima stempel Munafiqun tak kasat mata. Ku kerjakan Dhuhur, Asar bersamaan dengan waktu Maghrib yang akan berakhir. Maha Suci Alloh, dengan apa-apa yang Ia kehendaki … menjadi duri dalam daging, lumut dalam tembok yang telah tertata rapi, entah tingkah apa yang tengah aku pasang saat itu. Semoga Ia Yang Maha Pemaaf, mengampuni semua tingkah nakalku.

Aku sengaja lalai karena tak dapat kutemukan lagi kedamaian yang sebelumnya bisa aku rasakan walau hanya dengan melihat orang yang sedang mengerjakan Sholat. Tak dapat kutemukan kedamaianku sendiri didalam Sholat yang kutunaikan. Tak mampu kutemukan rasa aman dan nyaman tiap kali mulai berdo’a. Seperti Aang yang berlinang airmata saat berusaha berdamai dengan hatinya, seperti itu aku kembali masuk ke dalam masa pencarian. Namun, kali ini bukan ketidak-tahuan yang mengisi perjalananku tapi kebimbangan tentang agama yang telah ku pilih sebagai penuntun jalan hidupku. Ternyata, tak hanya Pemilik alam semesta yang seakan memiliki banyak Nama, namun ternyata Islam pun demikian.

Tujuh puluh tiga bukanlah jumlah yang sedikit, jika mengingat semuanya berasal dari satu akar yang sama. Datang dari satu sumber yang sama, merujuk pada satu Penuntun yang sama. Lalu mengapa tiba-tiba saja muncul banyak ragam, dengan banyak cara, dengan pemahaman yang harus sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh setiap pemimpin cabang. Oh, sungguh hatiku letih dengan semua perdebatan ini.

Tak terasa waktu terus berlalu, telah belasan tahun ternyata Imanku limbung dan terjebak dalam kebimbangan. Seperti butiran debu, ternyata memang benar seperti itu rasanya saat seorang hamba tak lagi bisa merasakan kehadiran dan belas kasih dari Tuhan-nya. Tanpa daya dan tak memiliki kuasa untuk mempertahankan diri agar ia tetap berada pada tempatnya semula, atau sengaja menolak goyah saat hembusan angin menghampiri.

Islam akan rusak sebab banyaknya buah pemikiran. Jika benar demikian, lalu masih berapa lama lagi aku sengaja menyesatkan diri seperti ini? Membenarkan khilaf dan lalai dengan menggunakan alasan, sedang ada dalam masa pencarian jatidiri. Sibuk mencari, berusaha menemukan kembali sesuatu yang sebenarnya tak pernah hilang dariku. Butuh jarak seberapa jauh aku mengulur benang merah ditanganku, untuk bisa mengikatkan simpul yang kupunya pada tiang yang selama ini tegak berdiri didekatku. Apakah terlebih dahulu aku berlaku seperti Rangga? Berlari ke hutan hanya untuk meneriakkan satu Nama itu dengan sekuat tenaga. Atau sengaja pergi ke pasar hanya untuk mencari bingar? Berusaha mencuri dengar, seberapa sering Nama itu diingat dan disebutkan.

Ya Robb … Ya Robb … Ya Robb. Namun bukan suara lantang yang mampu terucap oleh lisan ini, melainkan hanya nada lirih yang hampir-hampir tak terdengar. Bersimpuh hatiku dengan bantuan kedua lutut menyentuh lantai, membiarkan kening dan ujung hidungku berjabat mesra dengan debu. Entah sudah seberapa jauh aku menyesatkan diri, sudah berapa banyak aku menggurat kata durhaka dalam kotak Pandoraku? Sudah bolehkah aku membuat satu permintaan tembus langit kembali? Sudah bisakah aku berkata, “Cukup duhai Sesembahan-ku … cukup sampai disini aku menganiaya diri. Karena sudah dapat ku rasakan kembali rasa hangat dihati. Sesungguhnya dia hanya bersembunyi, hanya untuk mengajariku arti dari memiliki. Memahami dari hati, mengapa bisa kesyukuran menjadi do’a paling tinggi.”

Komentar

Postingan Populer