Ini Aku - Pelangi Pandora.
‘Mungkinkah’,
single band Stinky yang hits pada masanya, seakan menjadi soundtrack pribadi
yang mengiringiku memasuki masa putih abu-abu. Angin apa yang telah membawaku
masuk dan tinggal di dalam penjara suci? Penjara suci … bahkan aku baru tahu
bahwa dunia ini digambarkan seperti penjara untuk orang-orang yang benar-benar
berusaha untuk menjaga keimanan dan keyakinannya setelah tiga bulan menjadi
santriwati.
Saat
itu, seakan satu persatu warna indah pelangi yang kumiliki perlahan pergi. Di
masa itu, rasanya hanya memiliki satu warna yang sengaja bertahan untuk menghias
hari-hariku. Abu-abu, entah apa sama dengan warna kelabu namun itulah warna
yang ku lihat berputaran didekatku. Bahkan indahnya corak busana dan kerudung
segi empat yang digunakan para santriwati lainnya tak mampu mengusir pekatnya
kelabu.
Entah
dimana sebenarnya aku ditempatkan saat itu, melihat para santriwan-santriwati
lainnya yang terlihat bak putri dan pangeran kerajaan dinegeri dongeng. Dengan
tinggi semampai dan paras nan ayu, bisa dihitung dengan jari berapa jumlah
santri yang memiliki wajah dan penampilan yang terbilang rata-rata seperti aku.
Selebihnya, aku berani bilang mereka Sempurna. Terlihat anggun dan berkelas
saat berjalan bukan karena gaun-gaun mewah dan setelan kemeja mahal, tapi
karena sesuatu yang mereka dekap di dada selepas sekolah.
Mondok
sambil Sekolah. Bagaimana cara aku menjalaninya, karena sejak kecil sampai
remaja satu-satunya ibadah yang aku tahu dan kujalani dengan senang hati
hanyalah berpuasa. Tak sekalipun ada yang bertanya tentang bagaimana kesiapan
hatiku menjalani babak yang benar-benar baru dalam kehidupanku. Pergi dan tinggal
jauh dari keluargaku, mendatangi tempat yang tak hanya asing, tapi sedikit
menakutkan untukku. Jangankan dasar tentang ilmu agama apalagi diminta untuk
membaca Al-qur’an, aku pun belum tahu bagaimana caranya mengenakan kerudung
dengan benar. Tak pernah ada yang tahu atau mungkin berusaha untuk sedikit mengerti,
tentang bagaimana aku melewati bulan-bulan pertama di sana. Pesan yang
berulangkali disampaikan padaku hanyalah tentang keinginan hati orangtuaku.
Harapan yang mereka simpan, bahwa setelah tiga tahun aku disana aku akan
kembali dengan gelar yang akan memberikan mereka mahkota indah diakhirat nanti,
namun seakan mereka yang telah ikut berperan menempatkan aku dalam penjara suci
lupa untuk menyampaikan, atau setidaknya membantuku saat membangun pondasi awal
seperti yang dimiliki oleh penghuni lainnya.
Entah
mereka lupa, atau memang seperti itu kisah yang tertulis didalam buku Takdirku.
Tak hanya sekedar tak bisa membaca alqur’an walau sudah beranjak dewasa, aku
pun sebenarnya tak tahu bagaimana caranya sholat. Tak hanya nawaitu yang dibaca
berbeda disetiap waktu sholat yang tak bisa kuhafal, bacaan do’a yang harus
dibaca ketika bangun dari sujud pertama dan ketika duduk terakhir pun selalu ku
baca berputar-putar. Sudah sering ku sampaikan kan, aku suka puasa … tapi aku
tidak terlalu suka sholat. Aku selalu semangat menyambut tiap kali romadhon
tiba, tapi hati tetap belum tergerak mengerjakan sholat lima waktu yang sudah jelas
menjadi salah satu kewajibanku ketika aqil-baligh tiba. Entahlah, aku hanya
merasa ada sesuatu yang tak berhasil aku temukan. Ada satu rasa yang hilang dan
terlihat tak seiring sejalan dengan pemandangan yang ada. Aku tak pernah berhasil
menemukan penutup lubang dihatiku, bahkan saat melihat para santri yang telah
selesai berwudhu. Di saat mereka telah selesai dan melanjutkannya dengan
berdo’a. Hanya berberapa santri saja yang bisa membuat hatiku ikut merasa
hangat dan tenang saat melihat mereka tenggelam dalam peribadatan mereka.
Komentar
Posting Komentar