Di dalam Istana Pasir - Namanya Qiron

    "Papa dusta ... dokter juga dustaaa ...! Katanya cuma disuntik doang. Itu kenapa sekarang burung aku juga digunting?! Dustaaa ...!"

    Hihi, sengaja berlama-lama berada di ruang tindakan nomer-3 hari itu. Semua yang ada di dalam ruangan, termasuk dokter yang sedang konsentrasi dengan gunting dan ujung kulit kulup pun tak dapat menahan tawa, serempak semua yang ada dalam ruangan ikut menirukan ucapan bocah kecil polos itu begitu proses khitan selesai, "Dustaa ...!"

    Ah, banyak kisah baru aku dapat dari Rumah Sunatan itu. Padahal, bisa dibilang, aku ikut mejadi penghuninya dengan status karyawan honorer, hanya saat musim sunatan tiba, tetapi itu sudah lebih dari cukup menambah warna. Makan siang satu ruangan dengan para dokter dan perawat, mulai mengenal Bisturi, yang di hari pertama sempat melukai ibu jari kananku tanpa kusadari. Sebelumnya, para asisten dokter memang sudah mengingatkan aku, agar lebih berhati-hati dengan alat yang bernama Bisturi, mereka bilang, benda itu jauh lebih tajam dari silet.

    Sungguh, dunia ini adalah sinetron dengan naskah tak kasat mata, tak pernah bisa benar-benar tahu kisah apa yang akan kita mainkan di babak berikutnya. Setahun lalu, aku diberi kesempatan mengenal apa yang selama ini aku benci, ypus, dunia komputerisasi. Teknologi yang telah membuat agen Murphy menjadi manusia setengah robot. Setengah tahun mengenal dunia sepuluh jari, aku jadi mengerti, kenapa ada kisah Matrix yang dibuat Hollywood, tokoh Neo dan Oracle. Aku yang gagap komputer tingkat tinggi, tiba-tiba berhayal akan menjadi seorang programer suatu saat nanti dengan misi membuat lawan yang setimpal untuk 108-virus cacing pendek putus, yang telah menyerang komputer pertamaku! Hahaa ... mimpi yang konyol.

(9-7-2012)

***


    "Mana ... mana ... ini ya, dokter yang suntik aku kemaren?" Lalu bocah kecil usia tidak lebih dari lima tahun itu menghampiri meja costumer service, yang kebetulan di belakang meja, duduk dua laki-laki yang sama sekali bukan dokter.

    "Bapak, ya? Bapak, kan, yang suntik aku kemaren? Sini, mana jarum suntiknya? Aku mau suntik balik. Emang enak apa orang disuntik ...." Kali ini bocah kecil itu semakin mendekati dua pria yang ia sangka dokter. 

    Sang ayah dan kakak perempuannya tertawa melihat tingkahnya, termasuk aku juga dua baby sitter yang dibawa salah satu klien. Namun, kkedua pria yang duduk di kursi pelayanan pelanggan tetap bertahan memasang wajah serius mereka, walau sebenarnya tetap terlihat sedang berusaha menahan tawa dan sengaja balik menggoda. 

    Aku berseru dalam hati, "Itu anak yang kemarin berteriak, dusta, pada ayah dan dokter yang menangani khitannya. Hahaa, sungguh hidup ini memang jauh lebih indah dari pada skenario sinetron besutan sutradara manapun. Yeahh, walaupun aku tetap terpesona dengan rias mata gelap milik Kapten Sparrow."

    "Ade, jangan begitu ...." Sambil menuruni anak tangga, sang kakak yang juga masih bisa dibilang kecil, karena usianya terlihat tak lebih dari 9 tahun, mencoba menenangkan adiknya yang terus saja menggerutu karena merasa telah didustai oleh ayahnya.

    "Kakak sih enak, bisa bilang gitu. Orang yang disuntik bukan Kakak. Sini,, aku ambil jarum suntik terus aku suntik Kakak, mau?!" Nadanya tinggi, tapi tak menghilangkan keluguannya, karena saat berusaha menunjukkan marah pun ia tetap dapat menampilkan wajah ramah. Adik kecil itu menyempatkan diri melemparkan senyumnya padaku, sementara tetap meneruskan aksi protesnya pada sang kakak dan ayahnya.

    Hihihi, indahnya, jika kita tetap bisa tenang di saat hati kita merasa sedang tidak baik-baik saja. Iya, seperti bocah kecil itu. Dapat tetap tersenyum ramah, walaupun ia tengah menyimpan marah, dapat langsung menyuarakan suara hatinya, tanpa perlu ditambah atau dikurangi. Hemh, di mana sebenarnya kepolosan hati selama ini bersembuyi, saat masing-masing kita telah menjumpai masa dewasa? Apakah dengan menjadi dewasa, tanpa sadar kita telah mengganti peran 'apa adanya` yang kita miliki dengan 'kepura-puraan'?

    Bocah kecil itu sungguh menghibur hatiku, Rumah Sunatan Bintaro sektor 5 ini menghibur hatiku. Telah membantuku membuka, tak hanya mata hati, tetapi juga kedua mata ini. Bahwa aku memang tengah memijakkan kaki di atas bumi. Ya, di mana saat bumi dipijak, maka akan selalu ada langit yang dibentangkan.

    Ah, bumi ... ah, langit .... Aku terlanjur melangit dengan tetap membumi dan aku sama sekali tak menyesali keputusanku itu. Tak perlu menjunjung langit terlalu tinggi, karena letaknya memang sudah tinggi dan biarkanlah ia terbentang hingga selesai masanya diperintah untuk menaungi. Tak perlu merasa sedang menginjak-injak bumi, karena bumi pun sudah dengan baik hati merelakan dirinya jadi tempat berpijak, setulus hati mengeluarkan semua isi simpanannya untuk membantu menghidupi setiap jiwa yang menghuni.

    Si kecil pemilik lengkingan dusta selesai kontrol hari ini, tetapi senyumnya akan cukup lama menghias di hatiku.

(12-7-2012)

***


    "Kita naik sekarang ya, Pah?" Dengan lincahnya balita lucu itu menaiki anak tangga.

    "Qiron, turun. Kamu mau disunat lagi?!" Lalu sang ayah menoleh dan tersenyum padaku, yang saat itu kebetulan sedang duduk di sampingnya. Aku segera membalas senyumannya dengan sedikit menganggukkan kepala. 

    Bocah kecil itu bernama Qiron, rupanya. Kulihat ia spontan diam di tempat dan menjadi patung sesaat, dengan air muka yang sama, seperti hari pertama saat ia berteriak dusta. Qiron menggelengkan kepala dan kembali menuruni anak tangga.

    "Ada bengkak di ujung lingkar donatnya," ujar sang Ayah menyampaikan keluhan sang anak setelah disunat, ketika telah duduk di kursi pelayanan.

    "Oh, itu hal yang biasa terjadi, Pak ...," jawab salah satu Costumer care yang bertugas saat itu, "tetapi kepanikan orang tua adalah hal yang wajar terjadi." Salah seorang perawat yang kebetulan ikut duduk di belakang meja pelayanan mengisi waktu senggang, ikut memberi penjelasan.

    Tiba saat nama Qiron dipanggil menuju ruang tindakan di lantai dua. Segera Qiron menggandeng erat lengan sang Ayah, terlihat sedikit menyeret paksa kedua kakinya ketika berjalan, "Tapi nggak disunat lagi kan, Pah? Iya kan, Pah?" Lagi dan lagi, sang ayah hanya melempar senyum pada buah hatinya.

    Sepuluh menit kemudian, Qiron sudah menuruni anak tangga dengan hati riang gembira, "Ternyata nggak diapa-apain ya, Pah? Nggak disunat lagi. Iih, aku seneng deh ...." Kali ini senyum sang Ayah terlihat semakin mengembang.

    "Ternyata benar, bengkaknya itu tidak apa-apa, permisi ...." Ayah Qiron menyapa para Customer care yang sedang berjaga, juga kepadaku, si pencuci alat medis.

    Hemh, dua hari lagi musim sunatan selesai. Kemana qadarku, membawaku setelah ini? Ah, cetak biru ... andai saja kamu berjalan seperti yang kuharapkan. Maka setelah ini, aku telah tahu apa yang akan kulakukan, tempat yang akan kutuju.

(Akilah-net, 13 Juli 2012)



Komentar

Postingan Populer