Catatan Sisi Miring - Halo, Indigo


Ah, dilema hidup para penghuni sisi miring, yang tak jarang keberadaannya dipandang sebelah mata hanya karena cenderung kurang bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarnya. Tak jarang pula dinilai terlalu asyik dengan negeri Utopi buatannya. Sehingga tak lagi bisa membedakan, mana imaji dan mana yang harus tetap menggunakan nalar.

“Tidak perlu dilakukan pengeksploitasan secara berlebih, ketika tahu anaknya memiliki bakat atau kelebihan itu, karena pada dasarnya, mereka sama saja seperti anak-anak seusia mereka.” Pesan Kak Seto, saat menjadi bintang tamu di acara Show Imah. Yupz, aku sontak setuju. Tangkap yang tersirat, jangan hanya yang tertangkap oleh mata.

Mendengar dengan seksama, penjelasan tentang anak indigo yang belum berhasil menentukan jati diri mereka hingga dewasa. Maka tidak menutup kemungkinan, mereka akan menjumpai dan terjebak dalam kebingungan sepanjang hidup mereka dan itu terkadang, yang membuat para indigo dewasa memiliki kepribadian ganda. Seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang, selesai mendengar penjelasan itu, sedang terjebak kebingungan kah, aku selama ini? Dihadapkan pada dua pilihan, antara mempertahankan dengan segala konsekuensinya, atau mengubur dan melupakan, bahwa warna itu pernah hadir dalam hidupku. Lalu, masih bingung kah aku, selesai membuat tulisan ini? Pilihan mana yang akan kuambil untuk ikut mengisi kisah hidupku selanjutnya?

Terlena bisikan-bisikan, bisa mengetahui sesuatu sebelum itu terjadi? Sungguh, aku sedih tiap kali mendengar ada orang yang mengucapkan itu padaku. Siapa di muka bumi ini yang bisa mengetahui rahasianya bumi, selain Sang Maha Pencipta sendiri? Semudah itu, rupanya, menilai perjalanan hidup seseorang, cukup dengan melihat berapa banyaknya materi dunia yang dimiliki. Seakan tak terlihat, sudah berapa banyak kiranya keringat, tenaga, bahkan air mata yang terkuras, untuk bisa kembali berdiri tegak setelah badai kehidupannya menerjang. Lalu, mengapa dengan mudahnya menghukumi, bahwa hatiku telah menghitam karena terlena dengan kekuatan semu? Hari di pemakaman Shingosari, aku sengaja ingin membuktikan pada setiap orang yang mengetahui kisahku ini, bahwa aku tidak terjebak dalam halusinasi.

 “Itu penyakit! Jangan disanjung, bahkan harus segera ditangani.” Ah, sungguh kalimat yang menyakitkan hati. "Tidak ada itu yang namanya indigo, melainkan penyakit sawan yang telah akut! Silakan buktikan, ruqyah mereka yang mengaku indigo, jika tidak muntah mereka pasti akan mengamuk parah." Rangkaian kalimat yang rutin menghampiri daun telinga ini, sejak mulai memberanikan diri untuk bercerita dan berusaha mencari jalan keluar untuk segala keanehan yang sering kualami.

“Itu Jin yang menunggangi, ilmu-ilmu leluhur yang enggan kabur dan berat memutus hubungan dengan keturunan-keturunan, dari pengikut setianya. Akhirnya mereka mengintai, rela menanti beberapa generasi, sampai akhirnya menemukan keturunan yang pas di hati, untuk dibimbing, diajari, memberi bisikan tentang kisah masa lalu dan rahasia masa depan. Berperan memberi pandangan untuk yang hidup bersisian, tetapi tanpa raga kasar seperti yang dimiliki manusia pada umumnya.”

Ah, sepertinya hati sengaja terus dibuat terluka. Haruskah dipukul rata, bahwa seluruh penghuni barisan para Nila adalah wabah yang harus segera divaksinasi? Menjadi sangat berbahaya, karena akar penyekutuan terberat dapat berdatangan dari arah mereka. Tanpa terlebih dulu tergerak untuk memilah, manakah Nila yang ditunggangi, ataukah ada sekiranya, Nila yang hadir di bumi ini, murni mendapat setitik percikan dari Nur Sang Ilahi.

 “Pembakar dupa, penabur kemenyan, berkawan dengan jin dan memilih kembali menapaki jalan kemusyrikan!”

Tuduhan keji! Hatiku sakit, lukanya meninggalkan bekas dan nyerinya masih terus kurasa sampai hari ini. Mengapa tak ada yang mau mencoba untuk mengerti, bahwa semua tak mungkin terjadi tanpa izin dari Sang Mahakuasa. Tak peduli apakah itu Nila, Biru, Jingga, atau warna-warna indah lainnya di bumi ini, semua ada dalam kehendak, hanya butuh kata sakti-Nya, untuk membuatnya terjadi.

Adakah Khurofat tiba-tiba saja memiliki rasa penasaran dan terbersit dalam hatinya untuk membuat permohonan agar diberi kesempatan membuktikan langsung seperti apa kehidupan para jin selama ini? Lalu, apa yang terjadi setelah ia melalui hari-harinya tinggal di dalam negeri tak kasat mata? Tak pernah aku meragukan kisah itu, apalagi mendebat atau mempertanyakan, mengapa di akhir kisah hidupnya, Khurofat justru diasingkan dan namanya dijadikan sebutan untuk mereka yang tertarik pada hal-hal yang berbau mistik.

Penghukuman tanpa memberi jalan keluar? Ah, anggap saja mereka belum pernah merasakan secara langsung, seperti apa rasanya, dihadapkan pinggiran jurang, antara keimanan dan menyekutukan. Terselip langkah sedikit saja, maka kami yang disebut berpenyakit telah tahu tempat mana yang akan kami tuju. Namun kuyakin, jika setiap pribadi yang kebetulan dititipkan warna ini, mampu menyadari peran yang diberikan, berhasil bertahan, mengukuhkan langkah dan menikamkan jejak, tanpa peduli walau terpaksa menari di pinggiran jurang. Baru mereka akan melihat, betapa banyak keajaiban yang bisa kita buat. Membuktikan seperti apa keimanan kami kepada Sang Pencipta, yang telah membuat begitu banyak ragam kisah di muka bumi ini. Iya, termasuk juga kisah tentang ‘Kami.’

Sudilah kiranya, meluangkan waktu, untuk sekadar memahami kami. Dengarkan cerita yang kami punya, bantu kami menjelaskan kisah yang selama ini hanya bisa kami simpan seorang diri. Seperti seekor anak domba yang terpisah dari pengembala dan kumpulannya, kami berjalan sendirian. Di tengah lapangan yang luas dan seakan tak berujung, kami menjalani hari-hari seperti orang linglung. Menatap langit, batin ini selalu menjerit. Berpijak pada bumi, sekuat hati menahan air mata agar tidak terus membasahi pipi.

Komentar

Postingan Populer