Catatan Sisi Miring - Setiap Ilmu Harus Ada Guru
“Ajak adek loe ke sini, Yok. Biar kepegang ilmunye, ‘ntar Ane kasih
amalan, sukur-sukur die mau jadi murid Ane. Bahaya kalo kagak ada yang megang.
Lagian, adek loe beguru dimane, emangnye? Bilangin, kalo ngilmu kagak usah
tinggi-tinggi, nyang penting cocok ame diri, badan juga kuat ngebawa’nye. Nih,
Ane kasih amalan pertama. Sampe’in dah ke adek loe, jangan ampe kagak. Nah,
‘nti seminggu lagi loe bawa dah die kemari. Penasaran Ane, ngilmu ape sih
sebenernye, adek ente, ‘ntuh.” Saat itu, kakakku tak berani memberikan langsung
padaku dan akhirnya meminta bantuan ibuku untuk menyampaikannya, berikut kertas
berisi beberapa nomer bertuliskan amalan-amalan yang harus sudah bisa
kupelajari dalam seminggu.
Hahaa … masih terekam dalam ingatan bagian kisah hidupku yang ini,
tak lama setelah pertemuanku bapak Leo Lumanto dan seorang Ustaz muda dari
daerah Kudus. Walaupun keduanya tak kutemui di saat yang bersamaan, tetapi
mereka berdua sempat mengucapkan kalimat yang sama dan tak jauh berbeda dengan
pesan yang dititipkan bang Jali pada kakakku. ‘Semua ilmu yang ada di bumi ini,
harus memiliki guru dan jangan bertempat di bumi, mereka yang tak percaya pada
ketetapan Allah.’ Yah, kurang lebih itu pesan yang bisa kuingat dan kujadikan
sebagai nasihat diri.
“Ngilmu apa …? Beguru di
mana …? Nyang ada juga Nie' ngglosor di atas sejadah tiap hari. Tuh, guru Nie’
bejejer di rak buku, Qur’an sama Hadis jilidan, itu juga bisa khatam gara-gara
cap asrama. Aneh-aneh aja dah,” kubilang pada ibuku.
Kubuka dan kubaca kertas yang diberikan ibuku, tiga poin dalam 12
amalan yang diberikan bang Jali, berhasil menusuk hatiku. Tak beda jauh dengan
9 amalan dari empat ulama yang mencoba membantuku, sebelumnya. Dzikir dan
Sholawat, mengisi 3 poin pertama. Istighfar 1000x, membaca kalimat Tahlil 1000x
dan membaca sholawat nabi sebanyak-banyaknya. Puasa mutih, errr ... syukurnya,
tak tercantum mandi kembang tujuh rupa dengan air dari tujuh sumur yang berbeda
setiap malam jum’at kliwon, tercantum di dalamnya. Dzikir dan Sholawat, dua
kata yang sayangnya memang sedang sengaja aku tinggalkan. Teriakan pilu hati
ini saat di tengah lapangan alap-alap, kembali teringat. Segera remas dan
kurobek kertas itu, begitu selesai membaca seluruh isinya.
“Semua cuma karena aku jatuh cinta sama Allah! Sesederhana itu,
sebenernya. Tapi, kenapa Allah malah bikin aku jadi kayak gini?! Semakin aku
berusaha nyeritain semuanya dengan sejujur-jujurnya, aku malah dibilang mulai
gila gara-gara patah hati. Aku cuma minta tenang, tapi Allah malah bikin aku
pontang-panting gak karuan. Aku malu, Allah.” Sejenak
memandangi langit, sebelum memasukan potongan kertas di tanganku ke dalam
keranjang sampah di depan rumah.
Hemh, panggung sandiwara ekstravaganza. Terkadang, walaupun sudah
berusaha sebisa mungkin, untuk membuat kisah hidup yang sederhana dan menjaga
diri agar tetap bermain di dalam garis aman yang kita buat. Namun, tetap saja
kisah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi penuh kejutan, jika Sang Pemilik
panggung berkehendak merubahnya. Saat kejujuran, ketulusan dan kasih sayang
telah kita pilih untuk menjadi modal utama memainkan peran. Ketika dengan sepenuh
hati mengakui, bahwa yang Kuasa hanyalah Ia yang Mahatunggal. Maka tak perlu
terkejut berlebihan, jika intrik dengki dan unsur penyakit hati lainnya
tiba-tiba saja terselip hadir layaknya sebuah iklan, yang suka atau tidak, akan
tetap ditayangkan sebagai penanda jeda.
Yups, selalu tentang 4 Maqodirullah, di tengah perdebatan antara
‘Qadar dan Doa, maka ‘Rida’ telah kupilih sebagai hakim garis. Ya, ‘wa rida bil
qadar’ adalah kunci jawaban yang selalu kugunakan saat beradu peran dengan
empat tokoh utama dalam kehidupanku. Siapa berperan sebagai apa, Yod, finger of
God, yang kutahu hanyalah, setiap insan yang terlahir ke bumi adalah hamba yang
beruntung, karena dapat membuktikan langsung, saat Sang Mahabijak merangkai kisah
dan mengatur laju dunia.
Komentar
Posting Komentar