Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez

24 Mei 2014, menjelang setengah 5 sore. Masih sendirian di rumah lor, di depan televisi.

Nonton KAIS MAYA di Jtv, materi yang dikaji bener-bener pas di hati. Jadi inget masa-masa waktu ngerasa deket banget dan dimanja Sang Pencipta. Selalu dikasih waktu butuh, diingetin waktu salah, dikasih hadiah waktu grafik keimanan bisa dijaga puncaknya. Tiga renungan dalam kehidupan, Baxy.

‘La salamata min kalaminnas, la rohiyata fiddunya, la najata minal maut.’ Tidak ada yang bisa benar-benar selamat dari ucapan orang lain, walaupun itu orang baik sekalipun. Terbukti, Nabi Muhammad pun tak lepas dari hinaan dan tuduhan keji sepanjang masa dakwahnya. MasyaAllah, sejuknya hati mendengar penjelasan tentang renungan pertama.

Menghitung mundur seluruh kisah hidupku, dimulai detik pertama ditumbangkan oleh kehidupan. Kuingat pukulan pertama datang, saat aku pulang dari penjara suci tanpa membawa keberhasilan. Pukulan kedua terpaksa kuterima, saat mulai memberanikan diri menyampaikan mimpi dan cita-citaku. Ya, ya, ya … dhuafa’ hanya boleh punya mimpi, tertawa sejenak untuk kemudian menangis lagi.

Pukulan ketiga telak menghantam, ketika untuk kedua kalinya pendidikan putus di tengah jalan dan memilih pulang dari gudang mimpi sebelum rentang waktu bisa kuselesaikan. Seperti tersedia tombol otomatis, Baxy. Setiap mereka yang mengenalku, tahu tentang mimpi dan cita-citaku, seakan memiliki hak untuk memberi stempel manusia gagal padaku.

Pukulan berikutnya, yang tak hanya membuat lebam di mata tapi juga di hati, adalah saat akhirnya berhasil meyakinkan diri untuk menikah. Do'a barokah yang kuharapkan datang merestui ternyata semu dan semua itu hanya karena perbedaan baju. Seperti suara kentut yang sumbang, Baxy. Suaraku tak’kan pernah terdengar walau telah berulangkali berusaha berbicara dengan suara lantang.

Andai kautahu, Baxy …. Uuntukku pribadi, agama itu seperti ruh dan organisasi hanyalah baju. Seindah apapun pakaian, tapi tanpa ruh di badan saat mengenakannya? Ah, akan terlihat tak ubahnya seperti mayat berjalan.

Pukulan demi pukulan kehidupan terus berdatangan, justru saat resmi mengarungi bahtera rumah tangga. Hemh … ‘la salamata min kalaminnas.’ Bukan hanya karena aku orang Jakarta yang tidak punya banyak harta, tapi lagi-lagi karena agama Islam yang aku bawa dinilai berbeda.

Haruskah kisah sang Pencerah terulang satu kali lagi, Baxy? Surau yang seharusnya menjadi tempat ibadah dan simbol kedamaian berubah menjadi muram dan menakutkan.  Tak lagi diramaikan dengan lantunan ayat suci dan dipenuhi dengan para pencari Tuhan, melainkan dihujani batu serta dirobohkan paksa. Seakan tak perduli lagi dengan kitab suci yang ikut terbakar, sementara setiap lembaran yang berterbangan adalah juga kitab suci yang sama seperti milik tangan-tangan yang menghujam.

Bermusuhan, dimusuhi, sedangkan yang bermusuhan sama-sama mengaku Islam. Sungguh membuat hatiku pilu, Baxy. Sementara apa yang memicu perselisihan, sesungguhnya semua jawaban sudah tertuang dalam firman Allah dan sabda Nabi. Lalu yang kita butuhkan untuk menyikapinya, sesungguhnya hanyalah hati yang bersih dan tenang.

Seperti Jack Sparrow yang galau dalam petualangan dengan mutiara hitam kesayangannya saat mencari sumber mata air abadi. Ia sudah memiliki peta dan berhasil menemukan kunci, kompas penunjuk jalan pun sudah aman dalam genggaman, tapi sadar semua itu belum bisa membawanya sampai pada tujuan karena kompas yang ia pegang tidak memiliki jarum penunjuk arah. Baru menyadari apa yang dibutuhkannya, setelah akhirnya rela berbagi pada satu-satunya penumpang wanita yang turut serta dalam petualangan.

Yeaah, kurang lebih seperti itulah aku memahami agamaku, Baxy. Karena hakikinya manusia digambarkan seperti orang yang sedang melakukan perjalanan, bukan? Blackpearl milik Jack Sparrow adalah sama seperti Islam yang telah aku pilih sebagai bahtera, dan para ‘Alim Ulama adalah kompas penunjuk jalan yang akan membawaku sampai di pulau impian. Jannati, Baxy.


Komentar

Postingan Populer