Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez
Lihat Rossi berlaga di MotoGP Minggu malam lalu. Jantung ikut
dag-dig-dug, tiap kali melihat Rossi meliuk-liuk di sirkuit balap dengan motor
besarnya. Melesat cepat jauh di depan, meninggalkan lawannya di belakang.
"Aku tau apa yang hilang dari aku …!" spontan saja aku
berteriak, "aku tau apa yang hilang dari diri aku, Mas." berkata pada
suamiku, yang duduk di sisi kananku dengan mulut yang sedikit terbuka dan
sesekali membuat backing vocal spontan ala pemandu sorak tiap kali ada pembalap
lain berusaha menyalip Rossi.
"Rossi fokus banget ya, Mas? Dari tadi aku nggak liat dia
nyempetin nengok ke belakang."
"Yo mesti ae dong-dong," jawab suamiku yang semakin fokus,
karena matanya tak berkedip ataupun menoleh saat menjawab pertanyaan.
Apa yang hilang dariku sejak malam tanggal 30 Mei tahun 2008? Apa
yang hilang, sehingga aku berani melepas semua kunci dan melepas baju kebesaran
begitu badai cobaan datang menerjang?
Apa yang hilang, Baxy? Kenapa bisa tiba-tiba semua menghilang
begitu saja? Sedangkan aku selalu dalam keadaan sadar dan penuh keyakinan
setiap kali kubilang, ‘Aku adalah Tuan untuk diriku sendiri dan hatiku adalah
Ratu yang memerintah dengan bijaksana tubuh ini.’ Lalu sebab apa, cerca dan
hinaan yang ditujukan berhasil menjajah istana hatiku? Parahnya, tak hanya itu
saja. Karena iri-dengki pun kini ikut tumbuh subur menjadi semak berduri dan merusak
Taman gantung milikku, Baxy.
"Moncelli sudah tak ada kan ya, Mas?" aku kembali
bertanya.
"Yo wes mati tah," jawabnya singkat, masih dengan tatapan
lurus ke depan.
Simon Moncelli, Baxy. Walaupun aku tak terlalu suka MotoGP, tapi
tiba-tiba saja jatuh hati saat artikel yang membahas dirinya rutin mejeng di UC
browser. Aku sempatkan membacanya, tak bisa mengingat terlalu banyak, tapi yang
sengaja kuingat adalah bagian ia diibaratkan seperti serbuk gurih penyedap
bumbu tiap masuk ke dalam arena balap. Lah aku? Berlagak menjadi Lebah Madu
sejak 2008 dan sengaja menambahkan status sebagai lilin Klenteng hijau bambu
setelah berhasil melepas diri dari kisah Dilema patah hati yang menjemukan itu.
Merasa diri seperti madu yang dihasilkan para lebah, ternyata hadirku selalu
mengganggu seperti dengung yang dikeluarkannya. Hahaa, sebut itu sebagai salah
satu dari sekian banyak kesombongan yang kupunya, Baxy.
Rindu Tuhan-ku kembali datang bertubi-tubi, sepertinya sudah
terlalu jauh aku berlari. Simpul di kaki mulai menimbulkan rasa perih dan
menjalar sampai ke hati. Belum berhasil aku memangkas semak berduri itu hingga detik
ini, Baxy. Entah apakah bisa kulihat sinar
indah itu sekali lagi? Ingin rasanya bertanya pada Iyanla, jika aku punya
kesempatan berhadapan langsung dengannya, bagaimana caranya ia berhasil
menyatukan serpihan-serpihan itu dalam kisah hidupnya.
Komentar
Posting Komentar