Buku Harian baxy 2020 - AKU ANAK WARSITI (2)

5 Oktober 2014

Dihari iparku resmi menikah, Unyilku sayang memberi sebuah kejutan dengan mengirim kabar, bahwa ia sudah tiba di stasiun Kota Baru. Dilema antara senang dan sedih bercampur jadi satu. Bukan seperti ini kisah yang kusiapkan setelah aku menikah untuk keluargaku, terutama untuk kedua orangtuaku. Bukan kesedihan atau rasa malu yang ingin kuberi untuk Unyilku tersayang, saat ia kembali ke tanah kelahirannya.

Adalah sebuah beban ternyata, membawa nama Jakarta saat ditanya datang dari mana, sebuah aib, jika saat diketahui datang dari Jakarta tapi tanpa Harta atau status Kaya. Hahaha, harus setuju dengan bapak Mario Teguh, bahwa hanya orang–orang sombonglah yang berani bilang, “Aku takut kaya.” Dan celakanya, aku termasuk ke dalam salah satu dari mereka yang sombong itu. Takut kaya, padahal aku sadar betul sedang butuh banyak dana dan sarana untuk mewujudkan semua mimpi yang kupunya.

 “Le’ kate nggolek warisan yo ndhek kapru kono, le’ seng teko’ Jakarta yo ora kenek dijau’i warisan.” Sebuah kalimat elok terucap dari lisan salah satu ibu–ibu yang memang sengaja diminta tenaganya untuk membantu hajat dirumah mertua, yang segera disambut tawa oleh ibu-ibu lainnya sambil melirik ke arahku. Hanya nafas berat yang bisa ku keluarkan, menatap wajah para ibu rumah tangga dihadapanku. Sedih, karena semuanya adalah wanita paruh baya yang hampir sama usianya dengan ibuku.

Pantaskah kalimat tersebut diucapkan, oleh mereka yang kuyakin telah merasakan beratnya mengandung selama 9 bulan, baxy? Melahirkan keturunan, entah itu laki-laki atau perempuan, Yang setelah beranjak dewasa, anak-anak mereka pastinya pula akan mengarungi bahtera rumah tangga. Menjadi menantu, menjadi mertua … mungkin juaga ikut merasakan, jadi seperti aku.

Haruskah kata-kata nyinyir diwariskan turun-temurun? Getir yang sempat mereka rasakan di awal menjalani biduk rumah tangga, apakah orang lain juga harus ikut merasakannya? Jika tak memiliki warisan yang bisa diharapkan, maka tak layak dilirik untuk dijadikan calon mempelai? Ah, baxy … apakah pada akhirnya kebahagiaan sebuah pernikahan, hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memiliki banyak harta?

Unyilku sayang telah selesai berwudhu, warna putih semakin banyak menghias mahkota dikepalanya. Wajahnya basah dengan air wudhu, tapi tak tersirat sedih atau sakit hati sedikitpun setelah mendengar dan menyadari kehadirannya menerima undangan besan, ternyata tidak terlalu diharapkan.

“Bukan Warsiti namanya kalo stress cuma gara–gara masalah dunia, yang penting kita hidup, makan gak numpang sama orang … biar kita bukan orang kaya, tapi masih kewalang syukur masih dikasih iman, bisa tau mana halal mana harom, jadi ngerti kalo dunia itu cuma tipuan. Siapa tau nanti Alloh qodar kita jadi orang kaya, hayo? Orang Alloh cuma butuh bilang, KUN … terus semua jadi. Udah gak usah sedih, Mama mah udah biasa nggak dianggep orang, anggep aja ini pelajaran buat kamu sendiri, bisa jadi orang sabar apa enggak. Ya emang sih, nggak gampang ngejalaninnya, tapi kan kamu sendiri yang udah milih buat ngejalanin semua ini. Setiap perjuangan kan emang butuh pembelaan, anggep aja sekarang kamu lagi babad alas, ntar kalo utannya udah keliatan rapi juga pasti banyak yang ngerasain manfaatnya. Udah Mama bayar sholat dulu.” Jawab pejuang tangguh yang telah melahirkanku.

Unyil yang perkasa, yang dulu saat pertama kali kembali ke tanah kelahirannya setelah berpuluh tahun lamanya merantau, disambut dengan suka cita dan penuh kehangatan kasihsayang. Siapa tak kenal Warsiti dari Jakarta, yang untuk pertama kalinya membawa pembaharuan ditempat ia tinggal, dengan membuat kamar mandi sekaligus wc di dalam rumah, mengabaikan mulut-mulut usil yang mulai menggunjingnya, menyebutnya tak tahu malu karena menyimpan tinja di dalam rumah.

            Singkek Jakarta, gelar yang ia dapat dari almarhummah mbah Jum, salah satu sesepuh dusun yang sayang padanya, karena tahu keberanian Warsiti-cucunya karena tak sungkan mendatangi langsung orang yang telah berani menyebar berita tidak benar tentang dirinya dan keluarganya, tak perduli walaupun penyebar berita palsu itu jauh lebih tua darinya.

Pemilik perabot rumah tangga modern pertama, dari kompor Butterfly dua tungku sampai pengaduk bahan kue dengan tenaga listrik yang akhirnya menjadi seperti piala bergilir, sudah bisa dipastikan, dimana ada kesibukan memasak untuk hajatan, maka mixer Phillips coklat keluaran pertama miliknya ada di sana.

Siapa tak kenal Warsiti di Gunungsari? Dari Claket sampai Talangsari, dimanapun ia diminta untuk ikut mbiodo-sebutan untuk perempuan yang ikut bantu–bantu dirumah yang akan hajatan, baxy. Maka akan ia datangi. Ya, ya, ya ... kau boleh bilang, berbanding terbalik dengan aku. Sungguh berbanding terbalik dengan peran yang kubawakan saat ini.

Kesalahanku, baxy … kali ini kepulangannya tak lagi disambut dengan sukacita, melainkan dengan tatapan sinis juga silatan lidah. Siti Wahyuni ternyata tak bisa sama dengan Warsiti, walaupun selama sembilan bulan menjadi bagian dari tubuhnya. Memakan apa yang Warsiti makan, ikut merasakan apa yang Warsiti rasakan, tapi setelah dilahirkan ke dunia ternyata Siti Wahyuni tumbuh dengan karakter yang jauh berbeda dengan inangnya.

Sifat supel dan periang ibunya berlaku berlawanan dengannya. Pribadi yang tegar dan tak mudah patah arang ibunya tak juga mampu diwarisi, dan mungkin itu pula yang menjadi penyebab ia seringkali jatuh terjungkal dan terjebak lama dalam dilemma, tiap kali menghadapi babak baru kehidupannya. Semakin malu mengakui bahwa aku juga salah satu anak Warsiti, baxy … karena belum dapat membuatnya bangga, dengan aku yang seperti ini.

“Maap–map, bukan Mama ngecilin niat kamu, tapi berjuang itu nggak cukup sama niat doang. Tapi kita butuh modal, babad alas nggak segampang kita ngebalikin telapak tangan. Butuh kesabaran sama kekuatan iman, ya ... bisa dibilang kamu ini sendirian sekarang. Kan tau sendiri penyaksian orang-orang mesjid ke kamu sekarang gimana. Mama sih cuma bisa bantu do’a, kalo emang kamu berhasil … baru orang–orang bisa tau, kalo niat kamu beneran karena Alloh,” ujar ibuku.

Hemh ... ucapan ibuku, baxy. Lama baru aku mengerti, bagaimana rasanya berjalan menentang badai sendirian. Bukan sengaja menantang maut, atau agar mendapat sebutan pahlawan saat berhasil keluar dari lilitan angin topan, tetapi pengalaman pemuda pengembala domba dalam buku Alchemits yang membuatku mengerti, bahwa badai dan topan besar tetaplah angin yang lembut didalamnya.

Menjadi yang terpilih, tidak harus selalu berasal dari kalangan yang memakai kerah halus dan tatanan rambut yang selalu tersisir rapi, baxy. Karena ternyata, ilmu tertinggi untuk dapat merubah logam menjadi emas pun hanyalah ketulusan serta hati yang bersih. Jika tidak terpilih untuk menuntun dan memimpin umat, maka tuntun dan pimpinlah dirimu sendiri sebaik mungkin, agar engkau tidak menyia-nyiakan penciptaan-mu didunia ini. Tidak mengecewakan Pencipta bumi yang tengah kau pijak saat ini.

Seperti itu pula dulu aku memahami kehidupan ini, baxy. Apa yang telah aku alami selama kurun waktu tiga belas tahun lebih, semakin memantapkan hatiku untuk terus maju. Bukan berusaha menantang badai, hanya berusaha menjadi satu dengan angin lembut ditengah pusarannya itu. Berharap juga membawaku terbang tinggi bersama mereka, sama seperti saat membawa pengembala domba dihadapan Matahari, dan mengajukan satu pertanyaannya di sana.

Aku pun akan mengajukan pertanyaan yang ku punya, baxy. Maka dengan nikmat Engkau yang mana ya Alloh, yang masih saja berani aku dustakan sampai hari ini?

Komentar

Postingan Populer