Buku Harian baxy 2020 - Raja Kura-Kura Tua

6 januari 2014, waktu dhuha.

“Bangun, nanti kamu malu kalo banyak yang dateng ngeliat kamu masih tidur. Cepetan bangun, jangan sampe kamu malu-sebentar lagi orang banyak dateng ke rumah.” Makin lama, suara itu justru semakin jelas terdengar saat berbisik ditelinga. Terus diucap berulang sampai aku menyerah dan menyingkirkan bantal yang sengaja kugunakan untuk menutupi telinga.

Segera duduk bersila sambil melempar pandang ke arah jam dinding diruang tamu-tempat yang biasa beralih peran menjadi kamar tidur ketika malam menjelang. Belum setengah delapan pagi, tapi sebuah kantong plastik hitam berisi dua bungkus lontong sayur sudah tergantung manis ditempat biasanya bapak menggantungkan jatah sarapan kami.

Kantuk masih menggantung dipelupuk mata, karena tidak seperti biasanya, malam itu aku tak berhasil memejamkan mata hingga lewat dini hari. Fikiran dan hatiku terus tertuju pada raja kura-kura tua yang memiliki hobi baru ketika nasi kucing mulai trending, kebetulan juga salah satu anak perempuannya membuka satu lapak didekat rumah. Karena umumnya wedang jahe dan ketan bakar terasa lebih nendang dinikmati ketika malam semakin menjelang, maka layaknya bunga warung yang sengaja dipajang-bapak dengan sukarela memajukan diri untuk ikut meramaikan usaha anaknya, tak perduli walau tutupnya warung selalu menjelang pagi.

Tak seperti hari-hari sebelumnya, aku akan segera terlelap cukup dengan mendengar walau samar suara kedua tongkatnya dari kejauhan mulai mendekati kontrakan baru yang ditempati orangtuaku tak lama setelah aku menikah. Entah perasaan apa yang mengikatku malam itu, firasat-kah atau sekedar rasa sayang yang dimiliki setiap anak perempuan pada cinta pertama yang mereka punya. Iya, walaupun kuakui hubungan yang ku punya dengan bapak tak berjalan seindah seperti yang selalu ku bayangkan tiap kali melihat drama keluarga. Belum lagi kegagalanku meraih gelar seorang Mubalighoh, seperti harapannya yang dipasang begitu menitipkan aku dalam penjara suci, seakan semakin memperdalam jurang pemisah di antara kami.

 Bertahun-tahun tinggal bersama tanpa bertegur sapa, dianggap telah membuat malu dan memberi aib pada keluarga, mungkin itu pula yang membuatku tanpa sadar mengubur rasa sayang yang ku punya untuknya. Dan saat tawaran diklat IT itu datang, baxy … satu pintu lagi menuju gudang mimpi. Dengan semua kesempatan baik yang mungkin terjadi, peluang terwujudnya semua mimpi dan cita-cita jadi nyata, menjadi putri sholehah yang membanggakan, terutama untuk bapak adalah salah satu harapan terbesar yang ingin aku wujudkan.

Berharap bisa menarik sebutan anak durhaka yang pernah ia lontarkan, karena dinilai selalu mengecewakan dan membuat malu dengan akhlak dan tingkah yang kubuat. Berusaha membuktikan padanya, aku tidaklah seburuk yang ia sangka selama ini, berusaha menunjukkan ada alasan mengapa terkadang aku bertingkah seperti orang yang menyebalkan atau terkesan membangkang dari peraturan yang ada.

Sayangnya, kesempatan itu pun tak berhasil ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya, baxy. Kesempatan emas untuk menutup jurang pemisah, dan menjadikannya pulau indah untuk kami tinggali bersama. Memulai semua dari awal, membina kembali hubungan darah antara orangtua dan anak. Ayah dengan anak perempuannya, anak perempuan dengan Ibunya, semua berlalu begitu saja, semua berubah jadi abu, baxy. Yang lagi-lagi terlihat mengotori wajah bapak, membuat perih sudut mata ibuku, membuat mereka menyeka airmata dengan sembunyi-sembunyi. Seperti saat pulang dari penjara suci dengan tangan hampa, kepulanganku dari Diklat IT pun justru semakin membuat patah pilar-pilar surgaku.

Namun setidaknya, aku diberi kesempatan menjumpai sebuah kejujuran, baxy. Diberi moment sebuah percakapan dari hati ke hati, walau tertunda selama tiga tahun … namun aku selalu menghargai sebuah kejujuran. Untuk pertama kalinya, aku bisa bercakap-cakap ringan dan riang dengan pria yang telah menjadi perantara lahirnya aku ke dunia fana ini. Mengetahui tentang hatinya yang merasa malu, karena aku tidak bisa menjaga amanah dengan baik, sebab biaya yang ku gunakan selama menimba ilmu dalam penjara suci diambil dari harta sabilillah, itu berarti ada banyak jama’ah yang ikut menshodaqohkan harta mereka dijalan Alloh, sedang menaruh harap untuk bisa ikut memetik hikmah dari ilmu yang kudapat.

Pada diklat IT yang gagal pun, bapak terlanjur menaruh harap dengan meyakini semua janji yang ku berikan, bahwa hanya butuh waktu dua tahun, maka setelah itu aku akan memiliki pekerjaan tetap. Duduk dalam ruangan ber-ac, dibelakang monitor lengkap dengan seragam dan sepasang sepatu vantofel hitam, seperti yang selama ini selalu dibayangkan oleh Ibuku. Dengan upah UMR yang akan kuterima setiap bulannya, maka perlahan tapi pasti, dengan izin Alloh semua harapan mereka akan bisa kupenuhi.

Dimulai dengan menebus rumah kami di Jawa, karena bapak selalu bilang ingin menghabiskan masa tua dikampung halaman ibuku. Membuat barokah kitabul Manasikil Haji yang telah mereka kaji, dengan mengamalkan langsung ilmu yang telah mereka dapat di Tanah Suci. Ah, puasa tiga hari yang ku tunaikan untuk membayar kafaroh karena telah ingkar janji, tetap tak bisa membuatku bisa kembali tidur dengan lelap.

Komentar

Postingan Populer