Buku Harian baxy 2020 - Raja Kura-kura Tua 2
“Mbah, mbah … kulonuon … Assalamu’alaikum,
Mbah. Buka’in pintunya ….”
“Mbah … sampurasun, Assalamu’alaikum … Mbah,
buka’in pintunya. Ini Mbahkung jatoh didepan UB ….” Aku mendengar suara pertama yang setengah berteriak, tapi sengaja
ku abaikan karena kenal betul suara itu.
Pakde penjaga UB, yang bertugas menjaga koperasi menggantikan aku
akhir tahun 2008, memang punya kebiasaan menggoda ibuku setiap kali mengantar
air mineral melewati depan rumah. Semangkuk lontong sayur batal kunikmati, bergegas
membukakan pintu saat mendengar kang Otoy, penjual bubur ayam yang biasa
mangkal didepan UB ikut bersuara.
Pagi itu, bukan tongkat yang membantunya berdiri dan berjalan,
sejak kaki kanannya tak lagi mampu dijadikan tiangnya badan. Dengan kepala tertunduk
lunglai, pasrah disanggah oleh pundak pakde UB dan kang Otoy untuk bisa sampai
dirumah. Satu orang lagi, aku tidak dapat mengingat siapa-berdiri dibelakangnya
memegang tongkat kebesaran bapak.
Malu nanti banyak orang dateng, kalo aku masih tidur …? Inikah
maksudnya …? Tiba-tiba saja teringat dengan suara-suara itu, dua sosok berjubah
putih yang datang memberi kabar, tiga bulan sebelum akhirnya aku diizinkan
untuk kembali pulang ke rumah. Seperti sengaja diingatkan dengan janji yang
kubuat, kesepakatan yang kuminta … ternyata aku lupa untuk meminta akhir yang
indah.
Seperti apa firasat itu andai digambarkan dalam rupa? Dengan
kata-kata? Akankah seperti berdiri menghadap lautan dengan deburan ombak tanpa
henti? Dengan semilir angin, kumparan awan di langit biru, dengan semua
pemandangan yang dihadirkan, namun yang mampu ditangkap mata hanyalah nuansa
sendu. Suara debur ombak yang datang bergantian dengan semilir angin pun terdengar
seperti nyanyian pilu, awan putih terlihat kelabu karena kabut tebal tiba-tiba
saja membatasi jarak pandang.
Selesai menggelar kembali alas tidur bapak, aku mempersilahkan
orang-orang yang membantunya berjalan pulang untuk merebahkan bapak yang
terlihat tak berdaya. Matanya terus terpejam, nafas pun terdengar tak beraturan.
“Ini tadi Mbahkungnya saya ledekin, biasanya
kalo saya ajak bercanda kan Mbahkung nimpalin. Lah koq ini diem aja,
pandangannya juga kosong gitu, sama bulak-balik ngeludah …,” ujar pade UB.
“Iya, biasanya juga kalo mau makan bubur saya
nggak pake ditawarin pasti langsung bilang, Toy biasa … bubur satu. Ini saya
tawarin kok tumben nggak mau, nggak laper katanya. Perutnya lagi nggak enak,
Mbahkung bilang mah … lagi masuk angin kali, kata saya. Emang iya sih, dari
dateng pagi tadi saya liat Mbahkungnya ngeludah terus,” kang Otoy menambahi cerita pakde UB, saat akhirnya ibuku selesai
merapikan diri dan ikut berkumpul bersama kami diruang tamu, menanyakan kenapa
bisa suaminya dipayang banyak orang untuk bisa pulang.
“Emang aki-aki genitnya tujuh turunan, susah
kalo dilarang. Dibilang jangan suka begadang, kalo udah nongkrong dinasi kucing
kalo belom jam dua belas malem belom kira pulang. Tau tuh semalem, kata si
jibun juga ampir setengah dua pagi baru pulang.” Jibun,
iya atau jlebun, itu jadi salah satu nickname aku yang lumayan terkenal sejak mengasuh
salah satu keponakanku yang masih kecil, dan “bun” adalah kata pertama yang
bisa diucapkan dari bibir mungilnya. Jadilah sebutan Jibun melekat padaku
sampai belasan tahun berlalu.
“Pulang jam satu pagi, itu juga mbangunin aku
minta sendokin nasi. Aku emang nggak bisa tidur semalem, jadi langsung
nyendokin nasi. Eh, pas baru mau tidur bapak malah ngajak aku makan bareng.
Sayang … katanya, kalo tusukan yang dibawa nggak ke makan besok basi. Tapi ya
itu, setiap makan satu tusuk dimakan ujungnya doang, terus sisanya dikasihin
aku. Ada kali sekitar jam dua mah, aku nemenin bapak makan. Selesai makan bapak
bilang ngantuk mau tidur sebentar, emang sebentar banget sih. Aku baru aja
ngliyep dikit, tau-tau denger bapak udah dikamar mandi, begitu waktunya adzan
suaranya udah kedengeran mlengking dimasjid, pulang dari masjid bapak langsung
nyuci bajunya, ya itu deh aku baru bisa tidur subuh itu,” kujawab sambil terus membasahi telapak kakinya dengan minyak kayu
putih, sesekali mendekatkan baskom kecil ke dekat mulut bapak karena tak hentinya
meludah.
“Makanya, kalo istri ngomong didengerin. Terus
kalo udah begini kan Ikam juga yang susah …”
“Udah-udah, Mbah … Jangan dimarahin terus,
kasian Mbahkungnya nanti tambah pusing. Tadi sempet ngeluh pusing, soalnya. Orang
tadi lagi duduk samping-sampingan sama saya, ya terus tau-tau jatoh itu.
Mending sekarang coba Sampean kerokin, siapa tau cuma masuk angin aja. Ya,
Mbahkung … cepet sehat, nanti kita kumpul-kumpul lagi didepan ub.” Aku setuju dengan pembelaan yang diberikan pakde ub pada bapak,
tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak tahu alasan ibuku yang cenderung
terkesan marah melihat kondisi bapak saat itu.
Ikatan batin, mungkin jika bisa disebut begitu. Apa yang ada dalam
fikiran ibuku saat itu, sepertinya aku tahu dan ikut merasakan apa yang
disembunyikan dalam benaknya. Mempersiapkan kemungkinan terburuk, setelah
pembelajaran dikehilangan pertamanya puluhan tahun yang lalu. Seakan cukup dengan
belajar dari sebuah pengalaman, ibuku mampu menebak tanda tibanya akhir hayat
seseorang.
“Hati Mamah udah kecil aja, dulu kan Emak waktu
mau nggak adanya juga gini.” Selesai
mengusir angin dalam tubuh bapak dengan cara tradisional dan warisan turun
temurun, ibuku mengucap kalimat yang membuat dahiku berkerut menahan marah.
“Apa’an sih Mim, Ajal Pati seseorang mah cuma
Alloh yang tau. Lagian, Mamim ngomong kaya gitu juga sama aja lagi su’udon sama
Alloh. Kasian bapaknya juga kali …,”
kujawab dengan nada sedatar mungkin.
Tak ku izinkan untuk terus berkembang, satu rasa aneh yang terus saja
meninju uluhati sejak melihat kepala bapak tertunduk lesu. Merasa tak berkutik
pula dihadapan Yang Maha menepati janji, maka hanya tersisa prasangka baik yang
ku punya, untuk membantu membesarkan hati dan meyakinkan diri sendiri bahwa
semua akan baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar