Buku Harian baxy 2020 - AKU ANAK WARSITI (3)
02 februari 2015,
“Anak Mama nggak ada yang begitu …!! Sana
pamitan dulu …!” Aku hanya
menyeringai layu tanda tak setuju, saat ibuku kembali memintaku untuk
berpamitan dengan tetangga sebelah.
Lelah mungkin rasanya hati
ini, tiap kali menjumpai wajah–wajah tak ramah. Mungkin ada benarnya juga, pepatah
yang bercerita tentang akibat nila setitik maka rusak susu sebelanga, itu. Seperti
seonggok kotoran yang merusak pemandangan, walaupun ia berada diselokan, seperti
debu yang menghalangi pandangan dikaca depan, aku pun seharusnya segera
dibersihkan.
Melangkah keluar melewati pintu rumah kontrakan milik bu Tuti hari
itu, terasa sangat berat, baxy. Menahan sakit di dada kiri, tak lagi punya
kemampuan untuk kembali menoleh ke belakang, walau sekedar untuk melirik adik
perempuanku yang sedang berbaring memeluk kaki kirinya. Menatap bola mata
wanita yang telah melahirkanku pun tak berani ku lakukan, saat mengecup kedua
pipinya.
“Emoh- emoh ....” Aku
menolak sekali lagi, saat ibuku kembali memberi kode dari dalam rumah, untuk
membuktikan bahwa persangkaannya padaku selama ini salah, bahwa tidak ada
masalah diantara kami.
“Udeh sono pamitan, minta maap … anak mama
bukan loe?” Ucap kakak yang akan mengantarku ke
stasiun pagi itu. Sudah dua kali ini aku mendengar satu kalimat yang sama
diucapkan padaku, “Anak mama.” Siapa … aku? Maha suci Alloh, baxy. Seakan kalimat pembakar
semangat yang diucapkan Chelsea Islan dalam Marry Riana terus terngiang
ditelinga, walau dengan rangkaian kata yang berbeda.
Iya, mungkin aku tidak dilahirkan dalam keluarga yang bergelimang
harta, wanita yang melahirkan aku bukanlah pemilik gelar Sarjana, tidak
mengenal apa itu seminar Good Parenting Mom dan semacamnya, karena satu–satunya
pengetahuan yang ia punya hanyalah naluri seorang ibu yang ia dapat sejak kehamilan
pertamanya diusia yang masih sangat belia. Terus dijaganya pengetahuan berharga
itu, hingga melahirkan enam buah hatinya dengan selamat ke dunia. Sengaja ia
tambahi serbuk ajaib berupa ketulusan hati, saat harus mengurus anak–anaknya
yang lain dari keempat madunya. Tak pernah memberi batasan dengan memberi label
kandung dan tiri, karena semua mendapat porsi kasih sayang yang sama.
Tak perduli seberapa sering di antara madu dari suaminya datang
hanya untuk menyakiti hati, namun ibuku tetap menyambut hangat dengan senyuman
setulus hati, dan itu terbukti sampai hari ini, bahkan saat mereka datang untuk
berjumpa dengan raja kura-kura tua dihari
terakhirnya, menangis dan menciumi pipi ibuku hanya untuk meminta maaf,
menyesali perbuatan mereka dimasa lalu.
Seperti melihat telenovela melankolis, dengan pemeran utama yang
tak lepas dirundung sedih, dihujani airmata dan luka hati, canda tawa pun
seperti pelit hadir dalam kehidupannya. Tapi anehnya, sang bintang seperti tak
pernah kehabisan energi positif yang bisa ia bagikan, selalu saja berhasil
mendatangkan keceriaan untuk orang-orang disekitarnya. Iya, seperti itulah
sosok wanita yang telah menjadi perantara aku hadir dimuka bumi ini, baxy.
Ibuku membekali anak-anaknya dengan metode yang telah ia pelajari
sejak hari pertama ia terdampar diemperan toko kota Samarinda. Dengan dinginnya
malam Kalimantan Selatan, yang ia tahan hanya dengan selembar koran dan sehelai
baju dibadan, satu-satunya penghangat ekstra yang bisa ia dapat hanyalah dari
pelukan sang ibu, yang telah membawanya ikut mengadu nasib diusianya yang masih
balita.
Ibuku tak sempat merasakan lirik indah milik tante Vinna
Panduwinata yang menceritakan tentang bahagianya saat bocah seusianya kumpul
dan main bersama, karena masa kecilnya ia isi dengan ikut membantu mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Belajar menahan lapar walau sedang tidak puasa, karena
menunggu jam makan yang porsinya pun dijatah dan diambil dari nasi kering sisa
kemarin sore. Dengan sepiring nasi baru yang diambil diam-diam oleh ibunya,
ternyata menjadi pembuka kisah petualangan mereka. Terusir dari rumah kerabat
dekat, yang telah mengajak mereka tinggal dan ikut mengadu nasib jauh dari
tanah kelahiran mereka, menggelandang tak bisa pulang. Sampai akhirnya uluran
tangan Sang Jenderal Besar dihadirkan Sang Maha Pengasih sebagai penolong
mereka. Itu sungguh cerita hidup ibuku, baxy. “Kalah cerita sinetron mah kalo dibandingin sama kisah idup Mama,” ujar ibuku, tiap kali mulai bercerita tentang kisah hidupnya.
Tak pernah bosan mendengar cerita saat Opung turun dari Honda Jazz
hijau tentara yang menjadi kendaraan dinasnya, untuk memberikan uluran tangan
pada bocah kurus kecil yang sama sekali tak beliau kenal. Sampai akhirnya aku bertanya-tanya,
lebih dulu mana, “Boneka si unyil” dengan sebutan, “Unyil” yang
diberikan Opung Manihuruk pada ibuku dihari pertama mereka bertemu.
Keajaiban, itu istilah yang kukenal dulu. Bukan pertolongan dari
Yang Maha Kuasa, atau bukti nyata dari kekuatan do’a, karena saat pertama kali
mendengar kisah itu, aku masih belum mengerti apa itu agama. Ditemukan oleh
seorang Jendral membuat ibuku menjadi bocah petualang, mengikuti kemanapun
beliau ditempatkan untuk berdinas. Sampai akhirnya bertemu dengan seorang pria
yang kebetulan juga diangkat taraf hidupnya oleh tangan yang sama, dan kelak
ternyata berjodoh, hingga akhirnya maut memisahkan mereka.
Tahun terus berganti, namun
ibuku masih saja sekuat baja. “Nabi
aja ngajarin kita supaya mbales ngasih roti kalo kita dilemparin kotoran, masa
kita nggak bisa begitu? Ya nggak usah roti lah … paling nggak kalo ketemu orang
basa-basi, negor apa kek gituh. Senyum dikit, mukanya jangan asem kalo ketemu
orang, yang penting kita udah gugurin kewajiban. Biarin aja orang mau nggak
suka sama kita, mau ngomongin dibelakang kita kek, yang penting kitanya nggak
punya unek-unek jelek sama mereka.” Nasehat
yang paling sering diulang khusus untuk aku, selama dirumah. Karena ibuku tahu,
dibagian basa-basi dan memasang senyum ramah memang yang paling sulit untuk aku
tiru.
Mentalku tak sekuat ibuku, hatiku pun tak selembut dan setulus
seperti yang ia punya. Bukan pendendam atau introvert yang kelewatan, baxy … tapi
apa yang telah aku lalui selama beberapa tahun ke belakang, telah membuat aku
mengambil keputusan untuk menjadi homohominisocius satu kali lagi. Pribadi yang
baru saja lahir berkat perantara buku Quantum Learning dan buah karya Keith
Harrel terpaksa ku kebumikan kembali, Dzat yang akhirnya ku kenal dan membuatku
semakin yakin dengan adanya keajaiban, terpaksa kembali ku pasangi selambu
tipis tak kasat mata … ah, sesungguhnya itu hanyalah bagian dari usaha konyolku,
agar tak selalu menyalahkan segala Kebijaksanaan-Nya, dengan apa yang terjadi
dalam hidupku.
Tidak lebih dari lima langkah sebenarnya, untuk sampai dirumah
tetangga sebelah … tapi kedua telapak kaki yang memang enggan bergerak, seperti
menyatu dengan bumi. Aku melirik sekali lagi ke dalam rumah, ibuku masih
memberi kode yang sama.
“Udah sono, pamitan dulu …,” ujar kakakku sekali lagi. Ransel hitam telah tersangkut
dipundaknya, dan sengaja menyenggol pundakku.
“Hemmh ....” Aku
menghela nafas agak berat, bukan menyesali keadaan yang sedang ku alami atau
memang enggan untuk membuka percakapan dengan seseorang yang sudah terlanjur
memilih aksi diam setiap kali berpapasan denganku.
Aku hanya sedang berfikir, baxy … jika pola hidup yang ditawarkan
Al-qur’an dan Al-hadist begitu indah, mengapa masih banyak orang yang lebih
memilih menjalani kehidupan dengan pola hidup buatan manusia? Jika prasangka
baik sudah lebih dari cukup untuk meniadakan semua masalah, lalu mengapa masih
banyak yang menjebak dirinya dalam sebuah prasangka buruk? Jika bertanya
langsung bisa mendatangkan jawaban yang dibutuhkan dengan lebih cepat, lalu
mengapa masih banyak yang lebih senang memilih mengira-ngira, atau sengaja mencari
jawaban dari narasumber yang berbeda?
Satu langkah lagi, dan aku masih belum bisa memutuskan, mengetuk
pintu atau balik kanan. Ibuku sudah berdiri didepan pintu dengan tatapan mata
penuh pengharapan, seakan berusaha menyampaikan pesan, “Jangan ngecewain mama lagi.” Aku menutup mata sejenak, terbayang Aang dengan warna biru
bercahaya disetiap tanda yang ada ditubuhnya, dengan mata menyala serta gerakan
badan dan tangan yang lemah gemulai, bermain dengan air laut dihadapannya. Memaafkan,
berjiwa besar dengan apapun yang telah dilalui dan tengah dihadapai. Aku
mungkin anak ibuku, tapi sudah layakkah aku mendapat sebutan Anak Warsiti, jika
hatiku masih belum bisa nyegoro seperti miliknya?
“Assalamu’alaikum, Mamay ... Septi, tante minta
maap ya nak kalo punya salah.” Kucium kedua
pipi balita yang sedang duduk manis disamping ibunya, “Mamay, aku pamit yah. Maaf kalo aku punya
salah, titip mamah, ade sama yuma, yah.”
Berjabat tangan dan saling berbalas ciuman hangat dipipi.
Ternyata benar, baxy … jika tulus, maka rasa hangat itu akan sampai
terasa dalam hati. Aku menoleh kebelakang, aku melihat kepala ibuku sudah
menyembul dari tembok pembatas rumah kontrakan dengan senyuman memperhatikan
kami. Menggoda Septi yang sudah ia anggap seperti cucu sendiri, mengulang
kembali permintaan maafku.
Sudah layakkah aku mendapat sebutan berharga itu, baxy … karena aku
masih harus menuju satu tempat dimana banyak luka baru yang ku dapat. Semoga
bisa kuubah menjadi lahan subur, tempat untuk menempa hati dan memperluas
segoroku sendiri, hingga bisa mengukuhkan diri bahwa aku layak dan beruntung
terlahir dari seorang perempuan, bernama WARSITI.
Komentar
Posting Komentar