Agenda bilik in polybag - Elegi biru pengantin baru
Mau
nulis apa? Letih melow sejak bakda subuh tadi. Cape nangis, padahal pengantin
baru yang kutahu biasanya selalu berhias canda dan tawa. Hemh, ternyata sudah sampai di garis yang selama
ini aku takuti. Kesadaran bahwa aku hidup di atas tempat bernama, Dunia.
Tragedi spiteng
depan rumah yang tiba-tiba saja menguap
dan membuat tembok pembatas rumah kontrakan yang aku
tinggali masuk ke dalam tanah, seketika memporak-porandakan dunia Alice dan Peterpan yang
selama ini aku bangun. Dunia yang hanya butuh satu kata kunci, untuk meraih
apa pun yang kita inginkan, atau sedang terbersit dalam hati.
Seperti Tinkerbell, aku pun memiliki makhluk bersayap dan bercahaya di kanan-kiriku, sepanjang hari. Tak hanya Constantine yang dapat mengenal Gabriel dari
dekat, aku pun mengenali malaikat Jibril-ku melalui setiap kisah yang tertera di dalam Al-qur'an dan Al-hadits yang telah
kukaji. Bahwa ia adalah sang penyampai
wahyu, panglima dari para makhluk cahaya lainnya. Tak harus menatap wujud, karena
aku sudah lebih dari percaya hanya dengan mengenalinya lewat cerita.
Sebaris
judul lewat sinopsis sebuah buku yang kubaca, membuatku menangkupkan jemari ini, menahan kuduk
yang sempat berdiri, menahan air mata tertumpah sekali lagi. 'Ketika agama
menjadi bencana.'
Ilham
apa yang menghampiri sang penulis, ketika memberi nama hasil karyanya dengan judul yang
begitu menakutkan? Samakah yang ia alami dengan yang tengah aku alami sepanjang
perjalananku mencari nama pemilik agama ini? Ketika tiba pada satu cerita, tentang percakapan antara murid dan guru di persidangan akbar nanti, aku hanya
mampu mengelus dada seraya semakin mengikat hati, “Bismillah, akan kusampaikan semampuku, apa
yang telah aku terima dari guruku. Tulis namaku dan sebut di hadapan Al- Hakam yang Mahaadil, jika saat masa itu tiba, ternyata aku lupa dan berusaha mencuci tanganku
sendiri.”
Haruskah menjadi bencana, jika segel yang tertera adalah, Rahmat untuk seluruh alam semesta? Perpecahan, haruskah terus terjadi, sedangkan sayidina Hasan, cucu nabi, sudah dengan begitu lapang dada dan setulus hati, menyerahkan kekuasaannya -yang bisa saja ia pertahankan- hanya demi menjaga keutuhan. Lalu, punya hak apa kita, yang terus saja berlomba, menjawab nubuat, hanya pada bagian
terburuknya, saja? Tak adakah yang tergerak, menjadi Muhammad Al- Fatih yang
kedua? Karena setahuku, masih banyak nubuat indah yang belum terwujud, mengapa kita tak berusaha untuk ambil bagian untuk membuatnya jadi nyata?Jika sekiranya kita tidak begitu butuh, setidaknya, bisa dijadikan sebagai warisan untuk anak turun kita nanti.
Jika
ada nubuat, tentang suatu saat, akan ada satu umat yang mengakhirkan pada salat
subuh, lalu, kenapa tidak kita mulai menjaga dengan sungguh-sungguh salat yang
menjadi salah satu waktu pergantian malaikat itu?
Jika
ada nubuat, tentang suatu saat, akan ada kaum yang akan menghalalkan perzinahan. Lalu, mengapa tidak kita mulai dari diri kita sendiri, yang telah diberi kesempatan
mengenal dan mengetahui indahnya cinta setelah mendapat stempel kehalalan, dengan berhenti berlomba saling menunjukkan siapa yang paling indah nuansa
cintanya dan kembali berlaku seperti saat tayangan kisah cinta memenuhi layar kaca.
Ah,
bersatulah. Sudahi semua perseteruan ini, tak peduli siapa yang mendapat jaminan paling benar, karena itu tujuan 'Hiyal jamaah' disebutkan. Tak ada menang dan kalah
dalam urusan Karima dan Mahmuda, karena yang digambarkan adalah, seperti bangunan yang disusun, bukan saling melempar bata merah.
Hemh, sungguh terbukti, aku baru bisa jadi manusia teori. Bermimpi menandingi
ketaataan Muti’ah, tetapi ternyata, di bulan kedua menikah, aku telah kalah. Suamiku memanggilku siang ini. Namun tak segera kudatangi karena sedang menanak nasi. Aku membuat suamiku menunggu, hingga akhirnya ia tertidur pulas, setelah satu
setengah jam berlalu, tetapi nasiku tak kunjung tanak melainkan menjadi
sepanci besar bubur. Ya, sekarang
aku tahu, bagaimana rasanya merakit surga melalui sebuah jembatan bernama, 'Suami.'
Ah, andai
saja Pemilik hati ini sedikit berbaik hati, mengijabah doa yang selama ini kubaca dan membuat hati ini tetap tenang, sampai aku mampu meluruskan, dengan hajat yang tengah kusimpan selama ini. Andai
mereka yang sempat menghujat, karena dinilai telah berani berkhianat dengan janji yang telah terucap, mengetahui seluruh isi hatiku. Mungkin hati akan terasa jauh
lebih ringan dan aku akan terus membuktikan, bahwa tak harus menunggu gelar
seorang penyampai hanya untuk menyampaikan satu ilmu yang telah kita tahu.
Kandang Banteng, 16 Januari 2013
Komentar
Posting Komentar