Agenda bilik in polybag - Bromolia Lampion
"Mana yang atas, mana yang bawah ?" Tanya suamiku, sambil mengarahkan potongan terakhir dari tangkai Bromolia yang mulai memiliki anakan.
"Meneketehe, atuh. Lagian, pan, itu mah ga ada akarnya. Emang bisa tumbuh, apa?" aku menjawab dan menunjuk salah satu sisi dari tangkai bunga di tangannya.
"Salah, kamu. Yang bener yang ini ...," ujarnya, lalu menunjukkan sisi yang benar.
Sambil menancapkan sisi yang dimaksud ke dalam media tanam, ia menjelaskan cara untuk membedakan potongan tangkai bagian atas dan bagian bawah yang harus ditanam, yaitu cukup dengan melihat pada perbedaan warnanya.
"Memang masih bisa tumbuh, kan, itu ga ada akarnya sama sekali?" Aku penasaran dengan tangkai terakhir yang ia pegang karena berbeda dari potongan-potongan tangkai sebelumnya.
"Yo, bismillah ae, Bund. Kan yang penting kita ikhtiar, perkara bisa tumbuh apa ndak, itu biar kersane Gusti Allah aja yang ngatur," jawabnya ringan sambil terus memadatkan sekam dalam polybag.
"Heheee, iya juga, sih." Aku tersipu malu mendengar jawabannya, itu.
***
Iya, petani bunga. Ingin jadi petani bunga yang sukses, ia bilang. Saat aku tanya tentang cita-citanya diawal kami menikah. Lalu apa cita-citaku? Umh, sepertinya masih dengan gambaran sebuah buku. Kadang jadi pecicilan nggak karuan tiap kali hasrat itu kembali menggebu, apalagi waktu selesai baca buku Laskar Pelangi. Kemudian mulai berani menuangkan isi hati tentang mimpi dan cita-cita yang aku punya tanpa ditanya, pada setiap orang yang aku kenal dan aku jumpai. Hahaa ....
"Mau jadi penulis, mau bikin tulisan nie jadi bestseller kayak J.K Rowling, bikin orang penasaran kayak Dewi Lestari, Andrea Hirata, terus suatu saat nanti buah karya aku bakal bersanding dengan karya-karya mereka. Mantabs surantap." Hahaa ... selalu itu kalimat yang kuulang jika bahasan berkaitan dengan mimpi dan cita-cita yang kupunya. Tanpa memperdulikan tatapan yang aku dapat, jawaban yang aku terima, karena dinilai aku seperti upik abu yang sedang berhayal bisa jadi ratu walau semalam.
"Kalo mimpi yang realistis aja, jangan yang muluk-muluk. Nanti kalo nggak kesampean jadi nggak kecewa. Lagian untuk jadi penulis itu nggak gampang, butuh sekolah tinggi dulu." Seperti sihir sigil yang disampaikan berulang oleh para pembunuh mimpi, tiapkali yang kuajak bertukar cerita memaksaku untuk kembali berpijak pada kenyataan yang ada. Bodohnya aku, perlahan setuju dan mengamini ucapan mereka dengan membunuh keyakinanku sendiri.
Waktu pun berlalu, seperti kisah cinta Fitri yang dibuat menjadi beberapa season ... hidupku pun berjalan seperti itu. Perkenalanku dengan Pintu kayujati membawaku pada satu mimpi baru, 'Jadi ratu di dunia maya' hanya karena rasa penasaran pada Corel dan ADhobe Photosop yang sering ia bicarakan tiap kali bertemu. Foto digital, frendster, flashdisk, ngecrop? What the meaning of ...? Aku sama sekali tak mengenal nama-nama itu.
Sementara di waktu yang bersamaan, satu kawan lama saat tinggal di penjara suci tiba-tiba datang kembali dalam hidupku. Mbak P.S gedung 1 dari irian jaya, ternyata juga tinggal satu kota dengan ku.
"Loe masih suka ngedongeng nggak sih kaya waktu dipondok dulu? Masih suka nulis nggak? Mending loe bikin blog aja, lumayan tuh tulisan-tulisan loe bisa dibaca orang, terus bonusnya loe bisa ngasilin duit dari situ." ujar kawan lama, disela-sela proses pembuatan susu kedelai yang sedang aku tunjukkan.
Saat aku tanya apa itu blog, dan susu kedelai memberikan hasil yang jauh lebih memuaskan dibandingkan dengan proses pembuatan pertama, ia segera menuntunku menuju kamarnya. Membuka lemari bajunya, dan menyodorkan setumpuk buku yang ia letakkan dirak bagian atas lemari gantung. Sekian banyak buku, yang semuanya menerangkan tentang tips dan trik usaha di dunia maya.
"Kita tinggal udah di era milenium, jadi mau nggak mau harus sadar teknologi. Loe kalo tertarik bawa pulang aja, baca di rumah. Tapi kalo udah selesai jangan lupa dibalikin, ya. Hahaa ...."
Aku merengut seketika, "Berarti ini berhubungan dengan komputer ya, La?" keringat dingin mulai keluar begitu selesai membaca cepat setiap buku yang ia tunjukkan.
" Lha iya lah, jeuung ... namanya juga internet. Kenapa, jangan bilang loe nggak bisa komputer?" ujarnya dengan menggoda.
Spontan meringis dan menganggukkan kepala, "Kau kan tau, aku sering ngumpet tiap pelajaran komputer, atau mendadak sakit perut. Belom lagi kalo dapet hukuman nulis materi kalo ketauan nyoba kabur pas pelajaran pak Budi itu." Jujur, wajah Robocop waktu pertamakali dia buka penutup kepalanya nggak pernah mau pergi dari ingatan, "Teknologi jahat ...." batinku belajar mengumpat saat untuk pertama kalinya melihat film itu.
"Yah, kalo nurutin takut sama komputer mulu mah, loe bakalan jadi katak dalam tempurung, jeung. Mau nggak mau loe harus belajar atau paling nggak loe kenal dan tau gimana cara ngidupin komputer, soalnya sekarang kan apa-apa pake teknologi satu itu bu." ujar Mbak mantan P.S masih dengan semangat yang sama.
"Iya juga sih. Kalo pun akhirnya aku mau belajar komputer, La. Aku cuma mau tau apa itu Adhobe sama Corel. Bisa ajarin, nggak? Pan udah aku mangkulin cara bikin susu kedele?" Kemudian tawa kami pun pecah bersamaan.
Hemh, berapa tahun sudah berlalu, di hitung sejak saat pertama kali Illa mengenalkan aku dengan satu nama baru setelah Corel dan Adhobe yang berhasil bikin aku penasaran. Dunia Blogger.
Komentar
Posting Komentar