Agenda bilik in polybag - Rombusa feat Metalica.
Itu di sana, suamiku sayang sedang berdiri di antara rimbunan daun hijau dengan salur putih di tepi daunnya yang biasa di kenal dengan bunga corombusa. Asyik bergumul dengan dadap dan the only one pisau cutter setengah karat yang ia punya, terlihat asik mengangguk-anggukkan kepala mengikuti hentakan musik cadas Metalica yang keluar dari kotak hitam yang ia beri sebutan, tape jadul. Ada satu bak kecil hitam disamping kirinya terisi penuh dengan mos, setumpuk plastik yang sudah dipotong rapi menjadi segi empat kecil dan tutus yang terbuat dari bilah bambu yang diiris setipis mungkin, sebagai pelengkap terakhir dari rangkaian agenda mencangkoknya hari ini.
"Sabar yah, sayang ... kemungkinan kita baru bisa jajan-jajan empat bulan lagi. Soalnya hasil cangkokan baru bisa keliatan hasilnya empat bulan lagi, jendron kita juga masih kecil-kecil. Pucuk merahnya kan udah laku semua dan hasilnya ku pake untuk nikahin kamu." ujarnya tiba-tiba disela kegiatannya mengelupas kulit batang yang akan dicangkok.
Aku sontak tersipu malu. Hemmh, carilah jalan maisah lewat menikah. Nggak akan pernah ada yang tahu gimana alurnya jodoh itu, kami sepasang pemuda dengan usia yang sudah sedikit kadaluarsa saat menikah, disaat mereka yang berusia tiga puluhan sudah mulai menata kehidupan, mulai mengeluarkan dana pendidikan yang selama ini mereka tabung untuk anak-turun, atau bahkan bahkan mulai mempersiapkan lamaran pertama untuk menjemput calon menantu mereka. Sementara sepasang jahula ini malah baru belajar dan membuka hati untuk satu nama yang selama ini seakan sama-sama kami takuti. Ya, Cinta.
Suamiku dengan dunia Metalica-nya, komunitas satu jari, broken hand, dan nama-nama lain yang ketika musik dihentak jantungku spontan berasa sepeti karung sansak tinju. Sedangkan aku, dengan dunia tilawatiku. huruf-huruf keriting yang ketika kecil bisa membuat ku merinding dan mengeluarkan keringat dingin tiap kali pejaran agama tiba atau saat dipaksa ikut anak-anak sebaya beramai-ramai pergi ke langgar untuk mengaji. Hanya ada satu hal yang sama dari sekian banyak perbedaan yang kami miliki, yang membuat kami berani melangkah maju untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama , kami sama-sama mencari agama kanjeng nabi.
Seperti ikan teri kami berjalan melawan arus, berlagak bak romeo dan juliet yang berani menentang kasta dan strata, namun bedanya ... yang sedang kami hadapi adalah nama besar Agama. Satu agama namun berbeda naungan. Seperti Sunni dan Syi'ah, kami yang sesama Sunni pun tetap saja terkesan terpecah belah.
"Ulama-ulama itu egois, seharusnya mereka itu bikin umatnya tenang karena mereka yang punya ilmu dan tahu hukum, bukannya bikin umat resah dan tambah bingung." Si penyuka musik heavy metal yang semenjak lulus STM sengaja memanjangkan rambutnya sempat menyuarakan isi hatinya diawal pertemuan setelah dua puluh tahun lebih tidak bertemu.
"Kita hidup di masa kabut, makanya itu gunanya kita ngaji, di samping ngilangin kebodohan kita, juga ngesahin amalan. Jadi kita nggak akan sempat mikir atau ngucap kalimat tadi. Ulama jugakan nggak harus yang berjenggot panjang-panjang, terus kemana-mana harus pake baju gamis sama sorban. Pean ngaji terus dapet satu ilmu, dengan satu ilmu itu Pean terapin dalam keseharian, syukur-syukur bisa nyampein lagi ke orang lain, terus orang lain itu ikut ngamalin, itu sama aja Pean udah jadi ulama dengan ilmu yang Pean punya, Mas."
Sebuah hadiah indah, untuk airmataku beberapa tahun ini. Tentang penantian, tentang keyakinan akan arti kekuatan sebuah doa, tentang buah dari chusnudhon billah, dan baru akan ku sebut terindah, saat kami berhasil menetapkan kedua telapak kaki kami di dalam Nama yang selama ini kami cari.
Ini sudah kaset kedua dengan putaran kedua pula, bintangjatuh dengan kaos hijau bertuliskan, Satu jari dibagian belakangnya, dan celana model tentara dengan banyak tali hasil belanja gelap mata dipasar tanahabang begitu tahu harganya jauh lebih murah, masih terlihat sibuk dengan tangkai-tangkai rombusa, mos, palstik dan tutusnya. Sementara bibirnya tak berhenti bergerak-gerak, mengikuti lirik lagu sama persis seperti briptu Norman yang sedang menyanyikan chaya-chaya.
"Sabar yah, mungkin ini emang jalan yang harus kita laluin. Yang penting kamu yakin, aku pasti bisa bikin kita sampe ke tempat tujuan kita. Kan kamu bilang, every darkness bring their own light." Kembali berhenti mendadak, menatap wajahku dan memberikan satu kerlingan mata elangnya, sebelum kembali asyik dengan cangkokannya.
Aku kembali tersipu, satu kedipan mata aku berikan pada bintangjatuhku sebagai jawaban, "Iyah, minaddhulumati ilannur. Allohummasmi' was tajib ... ya, Mas. Semoga Alloh mendengar dan mengabulkan semua harapan kita."
Komentar
Posting Komentar