Catatan Sisi Miring - Melipat Baju

    Tahun 2005 saat itu, ketika tiba-tiba saja sukma seperti disedot paksa keluar dari raga. Dituntun kesatu tempat, tanpa pemberitahuan sebelumnya dan seolah tak diberi kesempatan untuk bertanya. 

    Berada disebuah kamar, diatas ranjang luas bertabur bunga. Hening ... lampu menyala, namun seakan tak mampu menundukkan gelap. Ranjang besar itu terasa begitu dingin, hingga rasa dinginnya menyerang ke setiap sendi dan membuat beku darah diurat nadi. Sungguh tak mengerti, kenapa hatiku terasa ngilu saat itu, sepertinya aku mengenali kamar ini, sedangkan aku tahu itu bukanlah kamar tidurku, dan ranjang itu ... sama sekali bukan hak aku untuk ada diatasnya. 

    Kenapa bertabur bunga? Kenapa ditaburi bunga diatasnya, jika bunga yang ditabur adalah kuntum-kuntum yang telah layu? Siapa pemilik kamar ini? tanyaku berulang kali pada diri sendiri, tapi hanya ada satu jawaban yang sama, yang terus berulang dalam hati ... bahwa kamar itu adalah milik sahabatku. Sahabat lama saat sama-sama menjadi penghuni penjara suci.

    Aku tak mengerti, untuk apa aku dibawa kesini? Aku tahu semua ini hanyaa mimpi, dan aku ingin segera terjaga dari tidurku. Namun tetap saja tidak bisa, bahkan saat sengaja mencubiti kulitku sendiri. Gelap dalam kamar semakin merayap, dingin semakin merajai seluruh ruangan. Ku peluk bantal-bantal yang ada didekatku, namun bantal-bantal itu sama dinginnya dengan udara yang mengepungku. 

    Seperti kamar Pengantin baru, tapi kenapa terlihat sedemikian menakutkan? Kenapa seprai yang dipasang harus berwarna hitam? Kuntum-kuntum mawar dan bougenville, kenapa terlihat begitu menyedihkan, kering dan layu? Sungguh ingin berlari saat itu, berusaha mendekati lubang yang telah menarikku. Lelah berusaha, akhirnya aku menyerah dan tanpa sadar berucap, berkata entah dengan siapa, "Silahkan, aku menyerah ... bantuan apa yang kau butuhkan dariku? Walau aku tak menjamin bisa membantu, tapi setidaknya aku akan berusaha semampuku." 

    Lalu disana, disatu-satunya pintu yang terlihat jelas walau dari balik pekat, perlahan ku lihat pintu itu terbuka, walau terlihat ada sinar dari luar sana tapi tetap tak dapat menembus masuk kedalam kamar yang membuatku ketakutan. 

    Disana, dari arah pintu aku melihat gadis tinggi semampai yang bahkan hanya walau hanya bayangnya pun aku tahu siapa itu, perlahan ia semakin mendekat dan terus mendekatiku, dan ketika kami telah berhadapan muka, ternyata benar dugaanku, "Iwenk ?" Dan yang ku sebut namanya hanya membalas dengan senyuman manisnya, kemudian duduk disampingku, meraih bantal yang tersisa dan ikut mendekapnya, memainkan kuntum-kuntum bunga dengan tangan kanannya, "Dingin ya, Yan?" Ia masih memanggilku dengan nama itu, setelah cukup lama kami terjebak dalam kebisuan.

    "Iya, aku sampe nggigil gini, liat deh ...," jawabku sambil menunjukkan tanganku yang gemetar. "Ini kamar kamu kan, yah? Milih warna sepreinya nggak banget sih? Romantis banget, pake ditaburin bunga segala, biar serasa jadi penganten baru terus niyeee ...." Aku berusaha mencairkan suasana, tanpa menyebut bagian kuntum bunga yang layu. Lagi-lagi sahabat Ivoryku tersenyum, tatapannya hampa namun tetap hangat bersahaja, terlihat keluasan dan ketegaran hati disana. "Aku pulang ya, Wenk. Abis kamu cuma senyam-senyum aja dari tadi, takut aku liatnya. Nggak enak juga sama suami kamu, entar kalo dia pulang, mau tidur dimana hayo?" Dan disaat itu, sahabat ivoryku menarik lenganku dan menggenggam tanganku, "Dodot nggak akan pulang, Yan. Dia udah punya rumah sendiri sekarang." Masih dengan senyuman yang menghias tulus diwajahnya, aku dengan sejuta tanya, tiba-tiba terjaga dari mimpi panjangku dengan paksa.

Musim Asrama 2009,

    Pondok Mini Nurul Aini penuh sesak dengan para laskar pejuang agama, ulama yang tak kenal batas usia, dari usia belasan hingga mahkota yang telah berhias uban. Tak hanya pria namun juga wanita, diantara para penyampai aku mencoba memberanikan diriku yang tak berhasil mendapat ijazah resmi sebagai seorang penyampai untuk memaksa ilmu jatuh cinta pula padaku. Berusaha mengejar ilmu dimana pun ia berada, dari arisan seribu sehari akhirnya aku berhasil memiliki salah satu hadist besar yang termasuk dalam kutubusitta itu.

    Pak Pur masih dengan pembawaan yang sama seperti saat aku masih menjadi santriwatinya ditahun sembilan puluh tujuh, tubuh tambun dan suara yang agak berat menambah yoni yang ia miliki. Masih dengan dilema yang sama saat mondok dulu, kantuk masih kelewat sering menyerangku. Dan disela kantuk itulah seorang ibu muda menghampiriku, "Ya ampuuun, jeuung ...." Hanya itu yang ia ucap saat menyapaku, kemudian sibuk mengeluarkan hadist miliknya dari dalam tas, aku hanya mengerutkan keningku kemudian melirik ke arah samping kirinya, ada gadis kecil usia lima-enam tahunan dengan baju model lebahmadu yang terus menempel padanya, kemudian kembali menatap wajah ibu muda disampingku, wajahnya makin terlihat cantik, seperti inneke koesherawati ku bilang. Matanya bundar dengan lensa biru menghias dikedua bola matanya, eyeliner yang ia pakai membuat tatapannya terlihat semakin tajam. Aku tersenyum, " Iwenk ...?"

    Istirahat makan siang, aku yang bukan kiriman ... itu berarti aku tidak dapat jatah makan. Iwenk sengaja mengambil porsi lebih banyak dari peserta wanita lainnya, satu piring untuk bisa dimakan kami bertiga. Aku heran, kenapa banyak sekali peserta laki-laki yang bujang tapi juga yang telah beristri terlihat menggodanya, tak tahukah mereka bahwa sahabatku itu telah bersuami? Tak melihatkah mereka anak yang ia bawa? 

    Dengan sepiring nasi akhirnya kami bernostalgia, mengulang kisah semasa tinggal dipenjara suci. Wajah Iwenk terlihat begitu ceria, masih sama seperti dulu, bahkan senyumnya pun sama seperti senyuman yang aku lihat dalam mimpi. Tak berani aku menceritakan mimpi yang aku dapat beberapa tahun lalu itu, demi melihat wajahnya yang ceria keyakinan langsung aku pasang, bahwa mimpi yang kualami itu murni hanya bunga tidur.

   "Nggak dianter suami, Wenk?" Akhirnya aku memberanikan diri menyebutkan kata suami dihadapannya. "Enggak, suami aku lagi istirahat." jawabnya, sambil meneruskan melahap makanannya dan sesekali menyuapi buah hatinya.

    "Baru pulang dines, kah?" tanyaku kembali.

    "Iya, selesai dines selamanya, Insya Alloh. Suami aku enak banget selesai tugas langsung dapet hadiah, sekarang dia lagi tidur diatas kasur yang empuuuuk ... banget, selimutnya juga aluus banget--"

    "Bunda!!" Aku lihat ekspresi anaknya saat meninggikan suara, memendelikkan kedua bola mata kearah bundanya, "Apa sih, Vio ..." ujar sahabatku, kemudian tak meneruskan lagi ceritanya.

    "Dapet springbed, gituh? Terus tempat tidur kamu yang dulu nggak dipake lagi don? O iya, waktu itu aku sempet mimpiin kamu, emh ... nggak jadi deh." aku urung pula melanjutkan ceritaku saat beberapa kali menjumpai gadis mungil berbaju lebah memberikan tatapan judesnya padaku.

    "Loe masih suka ngimpi-ngimpi gitu ya, jeung? Kamu ngimpiin apa tentang aku, Yan? Bagus nggak? Ngimpiin suami aku juga, nggak?" Sungguh, aku dibuat penasaran dengan sahabat ivoryku dihari pertama kami jumpa setelah berpisah ditahun '99 dan hanya bertemu sebentar dihari bahagianya.

    Masih ditahun dua ribu tujuh, lagi dan lagi seperti ditarik paksa oleh satu lubang tak kasat dan kembali diganggu dalam tidurku. Tiba-tiba ada didalam sebuah pesawat terbang, yang terkadang berubah menjadi sebuah kapal besar seperti milik Titanic, dengan setiap penumpang yang ada mengenakan seragam putih lengkap dengan topinya, kemudian berganti lagi dan diisi dengan deru kereta api, tak satu pun aku kenali penumpang yang ada disana, semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, "Lalu untuk apa aku dibawa kesini?" 

    Tiba-tiba ada seorang bocah laki-laki mungkin usianya tak lebih dari satu setengah tahun, berjalan mendekati aku, berjalan memutar dan menggayut dikakiku, memeluk kakiku dengan terus memandangku, memberikan senyumannya dan aku pun membalas senyumannya, berniat menggedongnya. Disaat itulah tiba-tiba hadir dihadapanku seorang laki-laki dengan tubuh tegap berbalut seragam TNI-AL berwarna putih, lengkap dengan topi dan segala atribut yang melekat diseragam itu, laki-laki itu tersenyum dan seakan menyapaku, tak ku lihat bibirnya bergerak saat ia bicara padaku, serasa berada diruang hampa udara, semua yang ada seperti melayang diudara termasuk pria itu dan bocah laki-laki dalam gendongannya, "Titip iwenk, jaga dia baik-baik. Bilang iwenk, kami baik-baik aja, sampein ke dia jangan suka naek ke atep rumah kalo tengah malem, kalo kangen aku liat aja mata reihan. O iya, ini anak bungsu kami, kamu belom sempet liat, kan? Kami harus pergi, janji jaga iwenk yaah." Dan semua yang nampak dalam pandanganku semakin mengecil dan mengecil dan sekali lagi aku seperti diberi alat kejut untuk memicu kembali kerja jantung ketika aku terjaga dari mimpi.

    "Kamu punya hobi naek ke genteng rumah orang ya kalo tengah malem?" Saat akhirnya kami memilih pulang kerumahnya disaat jam istirahat berikutnya tiba.

    "Koq elo tau, sih? Bukan genteng orang juga kalee, cuma nyambung aja. Ayo naek ...." Kemudian ia membawaku naik kelantai dua rumahnya, "Ini tempat sholat, itu kamar ade aku yang cowo, nah ... ini pintu, dan elo tau apa yang ada dibalik pintu ini ...?" Iwenk membuka pintu itu, "Singgasana gue kalo malem, kalo kangen suami aku pasti langsung naek terus duduk deh disini, ngomong sama bintang, sama bulan, mandangin langit mbayangin suami aku lagi ngeliatin aku." 

    Aku yang akhirnya diberi tahu setelah asrama hari kedua, bahwa suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu, hanya mampu menjadi pendengar tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun, terduduk lemas disampingnya dan ikut menikmati pemandangan jakarta dari atap rumah. Tak berani aku menyinggung tentang mimpi-mimpi lain yang ku dapat tentang ia dan apa yang suaminya alami. 

    "Gue kadang heran deh sama elo, apalagi tentang gue naek ke atep rumah kalo tengah malem. Tau dari mana kamu?" Aku hanya menggelengkan kepalaku. Hanya lutut terasa semakin lemas ketika ia melanjutkan ceritanya, bahwa bayi yang ia kandung meninggal dalam kandungan tak lama setelah suaminya dimakamkan.

    "Dot, kalo benar yang dateng dalam mimpi itu kamu ... aku harus berbuat apa untuk nepatin janji aku? Sedangkan kita sama-sama tau, sudah selesai perkara mereka yang telah wafat dengan yang masih hidup didunia.'

Komentar

Postingan Populer