Agenda bilik in polybag - Langit Om Jekjon.
Tuan putri telah tiba di kandang banteng sekali lagi, Om. Tak hanya singgah tapi kali ini tinggal dan menetap di dalamnya. Tuan putri telah bertemu dengan ksatria bertopengnya, Mamoru ... tapi bukan dengan kuntum mawar melainkan aneka bunga taman yang ia tempatkan dalam polybag-polybag kecil, hasil pertama dari penjualan pucuk merahnya ia kumpulkan untuk bekal kami menikah.
kabut datang menyelimuti gunungsari sore ini, langit biru terlihat begitu indah setelah menumpahkan air hujannya sejak subuh tadi. Ada bakso malang, Om. Ada pentol isi telur puyuh, ada ongklek, ada tempura yang katanya jadi idola. Belum berhasil bertemu kembali dengan guru tersayangku, pak Hudi. Yang wajahnya mirip iwan fals, seperti apa rupanya kini? Apakah tetap sama dengan penyanyi yang barusan kusebut namanya?
Om, Om Jekjon ... langit sepanjang jakarta-malang dulu terlihat jauh lebih biru ya, Om. Walau tuan putri dan saudara-saudaranya terjebak diantara lemari tua dan barang pecah belah lainnya, tertutup terpal sepanjang jalan dan hanya dibuka ketika singgah ditempat peristirahatan truk-truk besar, sekedar untuk mengisi perut, buang air dan mengistirahatkan kaki dan tangan Om yang lelah menginjak rem dan memegang setir.
"Mau naik kuda, tuan putri?" Hemh, aku masih ingat saat om jekjon mengangkatku naik ke pundaknya, kemudian melompat-lompat berlagak seperti kuda dengan dehem yang sengaja dikeluarkannya tiap kali melangkah. ketakutanku akan sosok tinggi besar dan tambun dengan kepala agak lonjong tanpa rambut, persis seperti pemeran om jekjon dalam film warkop DKI. Segera berganti dengan senyum dan tawa riang, tanganku pun ikut menari, sibuk menggapai-gapai ke atas, mengarah ke langit seakan yakin bisa menyentuh langit biru.
"Aku mau bisa terbang bebas seperti burung itu, Om. Aku mau main diatas awan-awan itu ...." Dan om jekjon semakin keras mendehem dan semakin cepat berlari, meliuk kesana-kemari, mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang setelah tiba ditujuan dan selesai jasa kendaraannya digunakan sebagai salam perpisahan.
Dua puluh tahun lebih telah berselang, Om. Aku sudah besar sekarang, sudah dewasa, sudah tua bahkan. Usiaku sudah lebih dari angka tiga puluh, entah berapa usia Om sekarang. Entah benar berjudi atau memang takdir yang membawaku kembali, menjadi salah satu penghuni kandang banteng ini. Karena yang aku tahu cuma bismillah, Om. Ikal dari Belitong saja bisa sampai ke Sorbonne, putri abu ini cuma punya satu mimpi yang masih dijaga sampai detik ini, membuat semesta merasakan arti dari kata Rohmatan lil alamin. Menyatukan apa sedang terpecah-belah, Om. Mengembalikan apa yang telah menjadi paling benar kembali pada jalurnya, membebaskan diri dari apa yang ditakuti kanjeng nabi, berharap dapat membawanya kembali pada jalan tengah yang telah terukir sebelumnya.
Kabut sore tadi sudah berganti dengan hujan sekarang, Om. Itu adzan isya telah berkumandang, sekarang aku sudah tahu apa itu ibadah, bagaimana cara sholat, tahu bahwa sholat adalah amalan pertama yang akan dihisab. Dulu aku takut pelajaran agama Islam, sekarang aku jatuh cinta pada Islam. Dulu aku sering marah dan bertanya-tanya pada yang namanya sering disebut orang, om. Tuhan, nama yang sering membuat aku bingung dan terus bertanya-tanya ketika kecil, kenapa Ia bisa punya banyak nama, kenapa bisa banyak agama?
Kenapa Riky teman SD ku sempat dijauhi hanya karena beda agama? Kenapa aku dibilang murtad setiap kali sengaja menemaninya tiapkali jam istirahat tiba. kenapa Helen dan Santi memegang lidi diujung jari mereka, mengayunkannya beberapa kali kemudian diletakkan dihadapan sebuah patung kecil serupa dewi kayangan dan mereka sebut itu sembahyang? Kenapa ibuku membangunkan anak-anaknya untuk sahur dan puasa selama satu bulan penuh, tapi jarang sekali mengingatkan untuk segera berwudhu ketika suara adzan telah terdengar? Kenapa dulu bapak sama sekali tak pernah sholat dan puasa, senang berjudi dan mempunyai banyak istri sedang diktp, agama yang tertulis adalah Islam? Kenapa ada nama ateis sebagai keyakinan dimuka bumi ini, sedangkan perahu yang berjalan diatas lautan pun butuh tangan sang nahkoda serta bantuan angin untuk membuatnya bergerak dan berjalan?
Tuhan sungguh membuatku bingung sejak usiaku delapan, Om. Tapi sekarang Nama itu membuatku tersenyum, amarah ada bukan lagi karena marah pada-Nya, melainkan karena aku malu belum dapat menjadi hamba dan menyembah-Nya dengan sempurna. Kisah al-fatih dan eloknya kisah dibalik benteng Hagia Sofia menutup pertanyaanku tentang mengapa bisa jadi begitu banyak agama, jika yang disembah adalah Satu Dzat yang sama.
Om, sudah tumbuhkah rambut dik epalamu? Apakah berupa uban? Masihkah menatap langit tahun ini? 2013, Om ... sudah dua ribu tiga belas. Tuan Putri mu ini masih menjadi upik abu, entah kapan aku benar berhasil menjadi seperti gelar yang telah kau beri ketika aku kecil, Tuan Putri.
Ratu untuk kehidupanku sendiri, Om. Permaisuri pangeran bertopengku, Tuan putri untuk kedua benteng kokohku, berharap dapat menjadi seperti nabi Yusuf untuk saudara-saudaraku. Mengangkat derajat sayap-sayap putihku, mengubah kandang banteng menjadi istana para penggembala domba, mengenalkan Tuhan yang aku kenal, seperti sebelum Sunni dan Syi'ah ada, sebelum masa 15 tahun yang dimiliki Kamal Pasha.
Om, jika kita bertemu kembali, izinkan aku memperkenalkan diri kembali. Bukan lagi burung walet kecil atau jalak bali centil, seperti yang biasa kau sebut disepanjang perjalanan kita dari Jakarta ke Jawa, tapi tawon, Om ... LebahMadu, aku ingin menjadi seperti lebahmadu.
salam rindu,
Komentar
Posting Komentar