Agenda bilik in polybag - Sakit bikin baper
Saat hari pertama tumbang ...
"Cak Had, mbak Nik kenek corona, a?" Bisik sepupu kecil ditelinga pak suami yang menemaninya belajar, dengan tanpa henti memijat kakiku.
Tumbang hari kedua ...
"Yek ... bojomu ojo oleh watuk ndhek embong. Engkok ono seng krungu watuk e koyok ngono, iso dikiro kenek corona." Teriak seorang teman pak suami dari sebrang jalan, yang tak sengaja berpapasan sepulangnya kami dari apotik membeli vitamin c.
Aku tahu maksudnya hanya sekedar bergurau, karena saat itu kami serempak tertawa.
Hari ketiga, menolak terus terkapar.
"Sakit jaman sekarang ribet, bikin baper. Batuk dikit dibilang corona, panas tinggi dikit, suspect corona. Mau berobat udah paranoid duluan, takut tau-tau disuruh karantina."
"Lapo e, Und. Jek tas iso tangi, wes guneman ae. Mlaku-mlaku o kono lo nang mak bik, tuku jahe. Jare mu empon-emponan ndhek pawon entek," ujar pak suami tanpa melepas fokusnya dari hobi baru yang sedang ia tekuni.
"He apik seh, guppy pilihanku. Apalagi kalo bener dapet yang ekor biru, jan siip koyok sutra." Aku ikut memperhatikan aquarium dihadapan kami.
"Loh, tambah ndheloki iwak. Ndhang tuku jahe kono lho. Sek loro kabeh a, awak e? Weteng e sek mual?"
"Alhamdulillah, udah enggak. Makin berasa kayak lagi ada difilm Hobbs and Shaw, iya nggak sih? Hemh, semoga aja endingnya bisa sama ya."
Malam sebelum tumbang
"Hen, tak balek no ae wes." Seorang pria paruh baya menyerahkan seekor lalat hijau pada lawan bicaranya
"Lho, la lapo kok balek no? Yo cek matek sek tah, cek mesisan." jawab seorang pria yang menjadi lawan bicaranya
"Astaghfirullohaladziim ...." Aku mengelus dada sekaligus menggelengkan kepala, memperhatikan tingkah tiga orang pria yang kupandangi tanpa sepengetahuan mereka.
"Mau sampai kapan?" aku bertanya, sambil menatap tubuhku yang tengah terbaring tak berdaya, memegang leher dengan segera, karena radang tenggorokan yang kurasakan kali ini sedikit berbeda.
Lewat tengah malam, setelah semua yang sudah dimakan memaksa untuk kembali dikeluarkan.
"Gimana kalo kali ini kabar itu memang untuk aku?" aku bergumam, sambil memandangi dinding kamar.
Pak suami telah terlelap dalam tidurnya, kali ini kami tidur dengan pintu kamar yang sedikit terbuka, karena rasanya aku semakin kehabisan udara. Masih tak habis fikir, dengan mereka yang memutuskan untuk bersekutu dengan pelaku ilmu hitam demi menuruti hawa nafsu. Entah itu melampiaskan dendam, atau karena benci yang tak beralasan. Santet itu tidak ada, karena itu hanya sebuah nama yang diberikan untuk anak turun Adam yang lebih memilih bersekutu dengan setan. Lain lagi dengan sihir, karena sihir adalah ilmu langit. Lalu mengapa tak minta langsung saja pada pemilik ilmu, jika hanya ingin membuat seseorang terluka atau bahkan menderita hidupnya. Dengan begitu, iman dapat terselamatkan, jalan keluar pun pasti diberikan.
"Memang benar seperti sekejap mata, hidup puluhan tahun pun rasanya cuma sebentar aja. Terus aku harus gimana? Kalo yang ditanya, aku yang dulu ... pasti aku bakal ngasih banyak alasan. Tapi makin kesini aku makin sadar, alasan cuma bikin kita makin menyesal. Emang banyak hal yang belum bisa aku capai dalam hidup, sebagai hamba juga aku masih banyak lalai-nya. Tapi aku yakin, kalo Alloh memang Maha Berkehendak. Sekarang hidup aku cuma cukup berpegangan sama keyakinan itu."
Sudah lupa menghitung, hari keberapa tumbang. Yang jelas, rasa aneh ditenggorokan sudah semakin berkurang, berganti dengan batuk yang lebih sering datang dan sakit dileher bagian belakang.
"Kita mau kemana, e?" aku bertanya pada seorang wanita yang tiba-tiba saja datang menjemput dalam tidurku.
"Wes tah ayo, melok o." wanita paruh baya dengan postur tubuh agak tambun menjawab, tanpa sekalipun menghentikan langkahnya.
Aku mengikuti dibelakangnya, berjalan seperti anak kecil yang girang karena menyangka akan diajak ke pasar malam. "Ini kita mau kemana e, sebenernya?" aku kembali bertanya, karena sepertinya jalan kandangan yang kukenal semakin terlihat berbeda. Aku seperti sedang melangkahkan kaki di atas desa, dimana aku dibesarkan selama ini. Melewati gang rumah haji bolot, barisan kontrakan miliknya. Belok sedikit, maka aku bisa melihat kontrakan tempat dulu kami tinggal. Ah, mungkin aku hanya menghayal, terhimpit rindu karena cukup lama tak bisa berkunjung ke kampung halaman.
Kembali fokus pada wanita paruh baya yang menjemputku, mencoba menyamai langkahnya dengan sedikit berlari, namun kembali terhenti karena melihat pohon anggur yang berbuah lebat dan memiliki dua macam jenis dalam satu pohon yang sama. Anggur hijau dan anggur merah yang nampak telah siap dipanen.
"Lho, ayo kok. Sela' ghanok tah, le' koen teter mandek-mandek ae." Aku terkejut dan membatalkan niatku meraih buah segar itu.
Kembali berjalan, tapi kali ini jemariku bisa merasakan pagar besi yang sengaja kusentuh,
"Baitul makmur, ada rumah ibuku di situ." Aku memandang wajah baitul makmur yang baru. Megah, namun terlihat sendu. Ah, semoga keyakinan mereka pada kesucian air wudhu dapat mengalahkan ketakutan pada kemungkinan terpapar corona. Meramaikan kembali tempat-tempat ibadah, dengan mengembalikan hak serta tujuan mereka dibangun di atas bumi.
"Wes, sampe ..." ujar wanita tambun, begitu aku telah berdiri disisinya.
"Ini kita mau ngapain sih ke sini? Ini dimana?" aku bertanya, karena tiba-tiba saja kami berdua ada disebuah dataran tinggi.
"Lho, yo dhelok'en tah. Koen iso ndhelok ta ora? Lek iso mesti koen ngerti, lek ghak iso yo uwes." Kemudian wanita tambun itu berlalu pergi, meninggalkan aku seorang diri yang tengah sibuk menatap langit. Berusaha mencari tahu, apa sebenarnya yang sedang ia coba tunjukkan padaku.
Kuyakin yang sedang kupandangi adalah langit dimalam hari, karena tak kulihat sang mentari ikut menghias di sana. Ada sinar rembulan, walau entah sedang bersembunyi disebelah mana lentera malam itu. Ada beberapa bintang terlihat muncul bergantian, tanpa awan, membuat langit terlihat jernih cemerlang.
Aku sempat membayangkan, mungkin yang sedang berusaha ditunjukkan padaku adalah momen turunnya hujan meteor seperti yang dilihat Sanchai dan Dao ming tse. Aku tersenyum geli sendirian, karena berusaha memanggil teman perjalananku pun sepertinya percuma.
Niat hati meninggalkan tempat dimana aku berdiri, berusaha mencari jalan pulang sendiri, andai wanita yang menjemputku itu enggan untuk mengantarku kembali. Namun sebelum wajah sempat memalingkan muka, dilangit sana aku jumpai pemandangan, yang kuyakin andai ada yang dapat melihatnya juga, maka lafadz yang terucap dari lisan tentunya hanya kalimat, fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban.
"Iya, Mbak ... Aku liat." aku spontan berteriak.
"Yo bagus lek koen iso ndhelok, mariki kari kate yokpo lek wes iso ndhelok." jawabnya dari kejauhan.
Aku termangu, apa yang akan aku lakukan setelah bisa melihatnya? "Sudah kubilang, mungkin aku termasuk hamba yang tak butuh pembuktian. Dapat meyakini, bahwa Engkau adalah Sang Pencipta dan aku adalah hamba ciptaan-Mu, itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti untukku. Akan menjadi baik, seorang hamba yang Engkau kehendaki baik, ya Robb. Dan aku sudah mulai belajar untuk menerima peran yang ku dapat." kali ini tanpa airmata, bukan karena meremehkan, atau tak dapat menghayati nuansa yang ku dapat. Karena aku yakin, Dzat yang aku tuju telah memahami seluruh isi hatiku. Dan saat aku bangkit dari sujudku, suara adzan subuh mulai terdengar saling bersahutan.
Sejenak memandangi wajah pak suami yang masih terlelap, kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Komentar
Posting Komentar