Buku Harian baxy 2020 - Nama-Nya Alloh 2
27 Maret 2013
"Agama Pean bedho, Mba. Iyo, Islam … tapi
ajarane bedho. Iku seng nggarai orang-orang sini mbek Mertua Sampean dewe ora
pati seneng mbe' Pean. Opo meneh sandangan seng Pean pakek iku senengane
gombor-gombor, bapak mertua Pean ghak seneng le' ndelok Pean nggawe iku.
Maap-maap yo, ancene ngerusak pemandangan kalo aku bilang.”
Berjemur dibawah hangatnya mentari pagi, menyibukkan diri dengan
mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di antara bunga polybag hasil cangkokan
suamiku, dan saat kegiatan bubut sudah mendekati rumah adik bungsu ibu mertua
yang kebetulan tinggal berdekatan dengan kami … tiba-tiba saja selambu rumahnya
terbuka, kemudian menyembul wajah ramah dari balik kaca nako yang sengaja
dibuka lebar.
Orang paling ramah kubilang, sejak hari pertama menempati villa
mertua indah. Namun hati kecil seakan terus mengingatkan … yang terlihat baik,
yang terlalu manis saat pertemuan pertama, biasanya yang akan sering memberikan
efek ekstra kejut disepanjang perjalanan hidup kita.
"Maap-maap ya, Mbak. Menurut banyak orang,
agama Islam Pean itu menyimpang, jare sentuhan sama orang diluar golongan Pean
itu najis, sandangan yang dijemur ndhak boleh diangkat atau dipegang sama yang
bukan golongannya, kalo pake kerudung harus pake kerudung-kerudung tertentu ya
contohnya baju yang Pean pake sholat itu, terus—"
"Terus kalo sholat dimesjid kami nggak
boleh, kalo ada yang sholat disitu selesai sholat mesjidnya dipel. Gitu kan, Le'?" Sengaja memotong perkataannya, yang memang sejak hari pertama
kedatanganku ditengah keluarga mereka, aktif mendekati dengan sesekali mencari
informasi tentang nama organisasi Islam yang kubawa.
"Iya, lha buktinya Pean juga nggak mau
Sembayang dimesjid sini," sambungnya
lagi, masih dengan pulungan nasi ditangannya yang disuapkan bergantian dengan
anaknya yang mulai duduk dibangku TK.
"Hemh ...." Aku hanya bisa menghela nafas namun enggan untuk meneruskan
percakapan. Ah, Ihdini limakhtulifa fiihi minal haqqi bi idznik innaka
latahdi ilaa shirotimmustaqiim, baxy. Semakin memahami makna baris terakhir
dari lafadz yang kubaca, setiap kali takbir pertama selesai kuucap diwaktu sepertiga
malam yang akhir.
Apa yang beda, jika sholat yang aku kerjakan sama jumlah lima
waktunya? Puasa Romadhon pun ada dalam kisaran waktu dua puluh sembilan atau
tiga puluh hari. Kenapa harus beda, jika Islam yang disebutkan dibangun atas
lima hal yang sama? Iya, mungkin berhaji yang masih jauh dari mungkin untuk
bisa aku laksanakan, tapi selebihnya aku juga adalah seorang hamba dari satu
agama yang sama, seperti yang diyakini oleh Nabi Nuh serta delapan puluh orang
yang ikut serta dalam perahu buatannya.
Mengenal Islam dari akar ke daun, baxy. Mempelajarinya tak hanya
berhenti dicangkang, namun membuka lebih dalam lagi sampai dijumpai isi yang
disimpannya. Kenapa harus dikucilkan hanya karena warna dan panjang hijab yang
berbeda, ujung celana yang sedikit naik di atas mata kaki? Haruskah karena
semua alasan itu, resmi menyatakan diri tengah menggenggam bara api? Lalu
bagaimana dengan mereka yang telah mendapat kehormatan memenuhi panggilan untuk
beribadah langsung dihadapan bangunan pertama milik-Nya? Dipertanyakan pula Iman
mereka? Atau selain Negara, akankah ditanya dari golongan mana mereka mengenal
Islam sebelum mereka bisa memasuki kota Mekkah?
Haruskah bersedih jika apa yang aku takuti selama ini akhirnya
menjadi nyata, baxy? Kini aku tahu kenapa pemuda Syi'ah tak bisa menyatukan
cintanya pada gadis Sunny. Kenapa harus selalu bertanya Imam siapa yang aku
ikuti? Maliki atau Hambali? Lupakah mereka yang bertanya untuk mengingat, bahwa
nama yang mereka sebut berasal dari satu akar yang sama? Ada di dalam satu
Manhaj yang sama.
Ah, Rohingya maafkan aku. Saudaraku para pejuang Hijab di Tunisia,
aku juga masih belum bisa berguna dengan hijabku sendiri. Entah dengan cara apa
membantu kalian, karena disini pun aku tersandung oleh dahan, terbelit akar, tertibun
dedaunan, yang seharusnya rindangnya pohon tempat kita bernaung adalah untuk
menaungi bukan menyakiti.
Ud'uni, Ud'uni, Ya Mujib? Mengapa
permintaan sederhana bisa berubah menjadi tampar yang membelit diri? Benarkah
semua yang terjadi ini adalah bagian dari Qodar? Qodar-ku? Adakah bagian yang
tertulis bahwa aku akan menjadi makhluk ciptaan yang akan mendurhakai Pencipta-nya?
Adakah tertulis, aku akan mengkhianati amanah yang telah diberikan?
Hidayah? Adakah juga keterangan dari sisi mana aku dialirkan? Pada tiga
barisan, dibarisan mana aku berdiri? Pada dua penghuni, dikiri atau kanan
seperti yang selama ini aku impikan? Adakah tinta khusus di sana, dan aku
mendapat izin untuk menggunakannya, menghapus bagian yang menurutku salah …
karena ku yakin, Khianat dan Durhaka tak tertera dalam Sembilan puluh sembilan Nama
itu.
Tak perduli telah berapa banyak cara digunakan untuk melumpuhkan hati
dari keyakinan yang kupilih. Dibuat terayun dan limbung, terus diserang dengan keraguan.
Sedangkan aku hanya punya satu kata kunci untuk tetap bertahan, Ini adalah jalanku
mempelajari arti Keyakinan.
Sungguh kekuatan do’a bisa melebihi kecepatan cahaya. Setiap
susunan katanya tersimpan rapi dan terekam jelas, bahkan melebihi kemampuan
database menyimpan data setiap penggunanya. Setiap permohonan tak pernah
ditolak, baxy. Jika tak bisa langsung diletakkan dalam telapak tangan, maka itu
sedang ditunda atau sengaja diganti.
Agama adalah kepercayaan kita masing masing ibarat makanan,makana itu enak tapi tidak semua dapat diterima
BalasHapus