Buku Harian baxy 2020 - Prolog
Putih merona jingga, duduk termangu menopang dagu. Menyilangkan
kaki, lutut-ku pangku … sejenak yang kanan kutaruh di atas, kemudian berganti
yang kiri. Tik-tuk, tik-tuk, tik-tuk, satu jari telunjuk mulai mengetuk-ngetuk,
turut pasang aksi dari jemunya menanti. Toleh kanan, tengok kiri, menebar
pandang ke setiap penjuru ruang. Tiap sudut dijelajahi, yang bersembunyi dalam
gelap seakan semakin sengaja dicari.
Gelap … pekat, sedikit pengap. Hanya dengan satu pintu,
dinding-dinding tebal tanpa jendela terasa mengepung ruang. Tertutup rapat,
hanya ada beberapa lubang udara dan dua buah kipas besar yang tak berhenti
berputar. Bernafas satu-satu, bersuara bergantian, membuat setiap tarikan nafas
terdengar seperti irama lagu. Berbagi sama rata, dengan sukarela, penuh suka
cita … ah, nampak kian punah kegiatan indah itu.
Dagu selesai ku topang … kedua kaki kembali kuletakkan bersisian. Jari
telunjuk berhenti mengetuk, berganti tepuk tangan riuh redam. Jemunya menunggu
tengah bersambut dengan yang telah lama dinantikan. Layar besar berwarna hijau
tua yang terkembang mulai digulung perlahan, bersamaan dengan tiga buah lampu
tembak yang menyala, lurus menerangi area panggung. Yeaah, lumayanlah,
setidaknya sedikit turut mengusir pekat. Terlihat jelas disana … sebuah
panggung megah, lengkap dengan atribut dan para pembawa kisah. Sebuah pentas tanpa
naskah, sebuah laga tanpa Sutradara, sebuah drama tanpa lakon utama. Ah … apa iya,
yang seperti itu bisa disebut dan menjadi sebuah cerita?
Serentak setuju menahan nafas, dengan tatapan mata bulat sempurna,
kedua tangan mencengkeram erat, sebagian saling berpegangan dengan belahan jiwa
yang turut serta, sedangkan yang hadir seorang diri terpaksa berpegangan hanya
dengan hati. Sebuah awal yang indah, dipertengahan kisah mengapa bisa seperti
kehilangan arah? Argh, haruskah akhir kisah ditetapkan sebab dilema yang ada? Tak
inginkah terus bertahan pada keindahan yang sempat berjalan?
Cerianya warna-warni seperti dalam perayaan Holly, seketika berubah
mencekam, segera terkurung dalam intaian satu warna menakutkan … Merahnya
Darah. Tak ubahnya Negeri Api yang terus memaksakan diri, untuk duduk paling
tinggi di antara tiga elemen bumi lainnya. Hanya karena perbedaan garis mata, warna
kulit dan gerak lisan saat berbicara. Hanya karena kebebasan dalam mengambil
peran, dan ketiadaannya pemeran utama. Lantas bolehkah saling berebut, saling
sikut dengan wajah cemberut? Beradu cepat, berlomba saling kejar, saling
mengungguli-terus bergerak maju, bergegas menuju istana. Mengincar mahkota,
kursi singgasana yang mulia.
Penonton kecewa, panggung sandiwara kian beralih rupa … menjadi
gelanggang arena, Colosseum tanpa pasir, dengan Gladiator yang merangkap peran
sebagai eksekutor. Aah …! Argh …!! Aaargh …!!! Pejamkan mata, tutup
telinga. Pemirsa mulai berhamburan, sebagian lari keluar, beberapa memilih
untuk tinggal dalam alam bawah sadar- diam menjadi patung, dan hanya bergerak
ketika tiba hitungan genap. Beberapa koloni justru sengaja bergerak semakin maju,
sedang sisanya tetap duduk manis dan terus memperhatikan. Menyimak, menerka,
dalam diam mulai memainkan peran, memerintah jari-jemari mistis yang mereka
punya untuk segera ikut beraksi. Memasang tali disetiap tangan dan kaki, mengikat
para lakon yang kian lupa diri.
“Berhenti, diam dan bergerak. Terus ikuti, kembali pada awal yang
indah atau tak’kan pernah tiba pada penghujung kisah. Mencuri kerling indahnya
gemintang, meminjam damainya sinar rembulan kala purnama tiba, sengaja membuat
tertidur setiap yang tengah terjaga dan menjaganya tetap bergerak dalam buaian
mimpi indah yang sama.”
Saatnya jari-jari tak kasat mata untuk bergerak semakin cepat,
mengganti tali dengan pita merah muda, menukar mata pedang dengan kuntum mawar yang
mulai merekah. Zip, zip … memang tak seindah khayalan, namun setiap upaya baik
patut dilakukan.
Hanya Wayang berjalan. Ya sudahlah, toh kita cuma pembawa peran.
Membawakan peran sampai peran itu selesai. Ditunjukan, tapi sekaligus dibuat
bingung bukan kepalang. Dipermainkan, namun tetap dituntun arah dalam setiap
permainan yang sedang berjalan. Diberi waktu istirahat, tapi lagi-lagi … itupun
ada dalam bagian dari menjalankan peran.
Hemh … yang kukuh, yang teguh. Yang berhasil bertahan sampai babak
terakhir, siapa yang akan keluar sebagai pemenang, itupun sesungguhnya telah
ditentukan. Yang juara bahagia, yang kalah pun tetap dapat bersuka-cita, semua
sudah ada stempelnya, bahkan jauh sebelum peran dimulai.
Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Andai lantang bersuara saat
menolak pun, ternyata tetap dinyatakan bersedia. Sedangkan saat sepenuh hati
menerima dan berusaha teguh dengan pilihan, tapi nyatanya … selalu saja
diarahkan pada kata lalai. Entahlah, mungkin sengaja menguji kesungguhan hati,
atau justru menunjukkan rupa asli dasarnya hati. Membasuh wajah dengan air
mata, mencurahkan hati hanya pada Yang Paling Mengetahui rahasianya jiwa.
Mata … Kapan? Mendebat, mengeluh, mengadu … meminta dengan paksa.
Melupakan dan sengaja berlari setelah diberi. Siapa yang telah memberi peran
seperti itu, coba bantu jawab aku?
Memberi izin, tapi sekaligus menyelipkan ancaman. Seperti papan
catur yang telah siap dibentang, sengaja digelar sebagai pengisi waktu luang. Tak
perduli siapa yang tumbang dan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, karena
intinya semua itu hanyalah sebuah permainan. Seperti belati, namun memiliki
permukaan sehalus roti. Ah … sudahlah, tak akan ada habisnya membahas sesuatu
yang Tidak pasti, tapi akan menjadi yang Paling Nyata suatu saat nanti.
Seperti tengah menatap layar monitor berisi halaman sebuah media
sosial … Posting, Komentar, Pengaturan, Rancangan, Statistik, Lihat hasil, huft
… sedang mengeluh lagikah aku ini? Padahal baru saja kemarin aku secerah
mentari. Abu-abu … inginnya warna hijau selalu. Teduh, damai, biru, sejernih
air dilautan.
Hujah? Alasan? Siapa yang memulai, yang memilihkan peran? Toh tak
bisa menolak dan tak mungkin ditolak. Karena yang menolak dan ditolak pun
menjadi satu kesatuan dari terjadinya alur sebuah kisah. Ya sudahlah, toh aku pun
hanya kumpulan daging yang berjalan. Seperti Pinokio, seperti boneka Tonky … terus
bergerak, selama Sang Pemilik berkehendak.
Wayang Berjalan, yang diberi akal, tapi sepenuhnya tetap ada dalam
pengendalian. Sengaja melupakan musuh ribuan tahun warisan leluhur, mengecilkan
kecerdasan yang mereka punya, hanya karena satu alasan … mereka ada jauh
sebelum aku dilahirkan, jadi wajar saja jika mereka semakin lihai. Salut …
karena mereka mampu fokus, berpusat hanya pada satu tujuan utama saat terusir
dari Surga, membalaskan rasa cemburu dengan mencari teman sebanyak-banyaknya.
Yupz, itu seharusnya point utama yang bisa diambil dan jadikan
manfaat untuk diri sendiri. Fokus pada tujuan utama! Jika musuh yang disiapkan
berkoloni, maka aku pun harus bisa merakit perangkatku sendiri. Hingga akhirnya
berhadapan langsung dengannya didepan papan catur nanti. Tak perduli dengan Juri
yang terus mengawasi, tak perduli, bahkan jika Ia tengah tersenyum geli saat
ini. Karena yang aku tahu, Ia akan senantiasa mengusap lembut punggungku ketika
mulai letih, ketika lemah dan jatuh tak berdaya, ketika mulai merengek manja,
atau bahkan … ketika aku dengan sengaja melupakan keberadaan-Nya.
Iya, dari awal yang aku tuju hanya garis akhir itu. Tak lagi
perduli jika hanya wayang berjalan. Karena setiap wayang pun punya tempatnya
sendiri untuk ia ditelakkan, saat dalang memutuskan untuk wayang rehat sejenak,
hingga perannya kembali dimunculkan.
Wayayaa … masih akan ada kesusahan yang lebih dahsyat daripada ini.
Dan untuk dua tempat pilihan, sama berartinya untuk wayang satu ini. Walaupun
ia tahu, raganya takkan kuat menahan perihnya penderitaan abadi, namun setiap kali
mengingat tugasnya tak lebih dari seorang abdi, maka yang bisa ia lakukan
hanyalah menyerahkan diri. Melayani Sang Tuan yang telah memberikannya kehidupan.
Yang Mulia Dalang Besar, Yang Mulia Maha Bijaksana. Mohon maaf, wayang yang ini lancang
menyembunyikan sebentuk hati untuk dimiliki sendiri. Ya Latif, Ya ‘Aliim …
siapa sesungguhnya yang tengah kucari? Benarkah Engkau, atau arti hadirnya
diriku di dunia ini?
Komentar
Posting Komentar