Buku Harian baxy 2020 - Sawan (2)
Ba’da asar kemarin sore, 20 juni 2019.
Belum lagi aku selesai dzikir dan berdo’a, kenangan pilu seperti
sengaja ikut dibentangkan di atas sejadahku. Berkali-kali mencoba membersihkan
noda darah dibajuku. Hanya mampu membaca istighfar berulangkali, saat sadar
noda darah itu hanya sebuah kenangan pilu ditahun 2010. Seraut wajah yang tak
dapat lagi kulihat, bahkan untuk terakhir kalinya setelah tertutup kain kafan
diawal bulan kelahirannya dua tahun lalu, tiba-tiba saja hadir memberikan
senyuman manisnya. “Ade …,” lirih memanggil namanya, seraya mengusap dan berusaha menutupi
wajahku karena rasa malu.
Ade, baxy … Dini Senja Prihantini si pejuang tangguh, yang terpaksa
berganti nama menjadi Dini Khoirunnisa, saat tak sengaja dalam forum pengajian seorang
pengisi nasehat sengaja membahas nama adikku, yang kala itu tengah terbaring
tanpa daya dirumah sakit.
Nama seharusnya adalah do’a baik yang diberikan orangtua pada
anaknya, dan entah karena sebuah kebetulan atau memang sudah bagian dari
suratan hidup adikku, gabungan dari ketiga namanya ikut berperan dan menjelaskan
kondisi kehidupan yang ia jalani selama ini. Selalu hidup dalam keprihatinan,
waktu senja yang menjadi nama tengahnya membuat kondisi kesehatannya tidak
terlalu baik. Yaah, kurang lebih seperti itulah penjelasan yang dapat ditangkap
oleh telingaku. Sakit hati kah saat aku mendengarnya, baxy? Sesungguhnya, gelar
balung kere yang ku dapat secara turun-temurun secara tidak langsung telah
membuat aku semakin terlatih, untuk tidak mudah sakit hati untuk apapun itu
yang sengaja diarahkan padaku atau pada keluargaku.
Khoirunnisa, sebaik-baiknya perempuan. Pejuang tangguh jika aku
boleh bilang. Berjuang dengan ancaman gegar otak karena darah yang keluar dari
hidung dan mulutnya setelah kepalanya membentur keras pilar Masjid saat kejang.
Hatiku masih beku saat itu terjadi, baxy … dinding pemisah antara
kami pun masih menjulang terlalu tinggi. Ku fikir saat itu, hanya adikku yang
mendapat gangguan dari musuh tak kasat mata, dan aku marah padanya karena ia
tak mau membela dan menjaga dirinya dengan amalan serta do’a penjagaan yang telah
kami dapat selama mengaji. Aku marahi, terlalu sering aku marahi, baxy … tanpa
aku tahu, ternyata amarah dan emosi tinggiku ternyata juga bagian dari upadaya
musuh abadi, dan kekalahan besar itu harus aku tanggung bahkan sampai hari ini.
Aku selalu mengira, semua akan selesai begitu keajaiban do’a datang
di antara kami. Kemungkinan gegar otak yang diperkirakan, dari hasil ronsegn
yang keluar ternyata hanya berupa saraf halus dihidung yang pecah akibat
benturan yang terlalu keras. Sedangkan aku sendiri sempat melihat saat tubuh
adikku tiba-tiba saja berputar menjauhi pintu dan membenturkan kepalanya pada pilar
Masjid, sebelum akhirnya kejang kembali datang menyerang.
Hahaa … dibagian ini aku tertawa lirih, banyak jama’ah masjid yang bergumam
dan berbisik memuji kesabaranku saat melihat kejadian itu, karena ketika orang lain
termasuk ibuku berteriak dan terlihat panik, wajahku terlihat datar dan tetap mampu
berbicara dengan tenang. Berjalan memasuki mobil pun tanpa gemetar, meletakkan kepalanya
dalam pangkuanku seolah tak terjadi apa-apa dengannya. Masih sempat memberikan
senyuman dan mengucap syukur saat dengan spontanitas beberapa jama’ah masjid
meletakkan sebagian rejeki yang mereka bawa ke dalam pangkuanku, untuk
persiapan administrasi yang dibutuhkan selama pengobatan. Aah, baxy … bahkan
didetik itu pun aku tidak sempat berfikir akan membutuhkan biaya cukup banyak, dan
darimana akan mendapatkan biaya pengobatan.
Tidak ada airmata dihari itu, tidak ada airmata bahkan saat empat
hari menjelang hari raya, saat sejak malam ke-26 adikku tak sekalipun
memejamkan matanya. Kejang berulang kali, merancau tak jelas apa yang dimaksud.
Sholat tanpa henti, tanpa tahu berapa kali ia telah ruku’, dan berapa kali ia
sujud, tak mengerti berapa jumlah rokaat, dan sempat lupa dimana arah kiblat.
Ibakah aku melihat kondisi adikku saat itu, baxy? Terluka, baxy … patah
hati mungkin lebih tepatnya. Iya, juga masih terselip rasa marah, terlebih saat
aku melihat dari punggungnya. Itu bukan punggung adikku, tinggi badannya juga
bukan tinggi badan adikku. Tubuhnya memang jauh lebih tinggi dari tinggi
badanku, tapi tidak menjulang tinggi seperti itu. Tubuhnya memang semakin
terlihat kurang berisi, tapi tubuh adikku tidak sekurus itu … lagipula, sejak
kapan adikku memiliki sayap seperti kelelawar putih dibalik tulang belikatnya?
Tatapan matanya yang sendu, semakin lama semakin hilang, kosong, hampa,
tertekan … mungkin itu perasaan yang disimpannya, sejak serangan kejang pertama
yang datang beberapa hari menjelang usianya yang ketujuh belas.
“Nggak tau, Ade ngerasa jauh aja gitu sama
kakak-kakak Ade. Apalagi sama Mba’un, Ade bisa liat Mba’un tiap hari, tapi Ade nggak
pernah bisa deket sama Mba’un. Kadang Ade pengen kaya Mba Sikun, bisa deket
sama Mba’un, tiap hari bisa ngobrol, bisa becanda. Ade tau, Ade emang penyakitan,
jadi Ade mikir … paling Mba’un juga malu punya ade penyakitan kaya gini,
makanya Mba’un jadi males deket-deket sama Ade,” ujar
adikku, saat aku memintanya untuk berani mengungkapkan isi hatinya. Aku hanya termangu
mendengarnya, tidak ada yang tahu percakapan kami malam itu, dua malam sebelum
tiba-tiba saja adikku berhenti dari kejangnya, namun mendadak berubah menjadi
pribadi yang lain. Berteriak dan mengancam melukai diri sendiri.
Bunuh, Tusuk, hanya itu yang keluar dari lisannya, terlebih saat
melihat aku ada didekatnya. Kaki dan tangannya terpaksa diikat, karena lima
sampai enam tenaga orang dewasa tidak dapat menahannya tiap kali mulai meronta,
segera melompat menuju dapur setelah berhasil membebaskan diri, sengaja mencari
benda tajam untuk kemudian diarahkan padaku.
Demi keamanan, aku diminta bersembunyi dikamar tidur, sedang adikku
ditempatkan diruang tamu. Jama’ah-jama’ah yang kebetulan datang ke masjid untuk
mengejar malam lailatul qodar, beralih tempat memenuhi ruang tamu. Berdiri
mengelilingi adikku dengan Alqur’an ditangan mereka dan mulai melantunkan
ayat-ayat penjagaan. Mulai dari al fatihah, ayat qursi, Surah Yasiin, mereka
bacakan berulang sampai lewat tengah malam. Awalnya adikku masih sempat
merespon, tertawa dan mengejek para jama’ah yang berusaha membantunya, kemudian
berteriak sambil menutupi telinganya, namun tak lama kemudian akhirnya tertidur
pulas, karena memang sudah dua hari dua malam adikku sama sekali tidak
memejamkan matanya.
“Lhah, Nunik nya mana mbah …? Adeknya sakit koq
ndak di tunggu’in? Siapa tau Adeknya tambah seneng kalo didampingin kakaknya.
Lagian, Nunik juga kan punya banyak hafalan do’a, jadi paling nggak kan bisa
mbantu nenangin Adeknya kalo kambuh lagi, jadi nggak perlu manggil orang-orang
dimasjid lagi.” Aku kenal
benar suara itu, baxy.
Tetap tak tergerak menyembulkan kepala dari kamar tak berpintu
tempat aku bersembunyi, saat ibuku menjawab dan memberi penjelasan kenapa
sampai aku tidak menampakkan batang hidungku, sedangkan para jama’ah lainnya ramai-ramai
berusaha menolong adikku. “Itu
ada dikamar, Mbak. Emang sengaja saya suruh istirahat, kasian dari isya’ tadi
sendirian dia ngerawit nolongin ade’nya. Tadi udah sempet muntah-muntah, biasanya
emang gitu kalo abis nyuwuk pasti muntah. Mukanya sampe pucet, akhirnya saya
inisiatif minta kakaknya yang laki buat manggil orang-orang masjid,” ujar ibuku.
Aku meremas lembaran makalah ditanganku. Lembaran berisi kumpulan
dalil yang membahas tentang penyakit Sawan beserta metode pengobatannya. “Apa
yang salah? Bagian mana yang salah? Jangan sok jagoan? Jangan sekali-kali
nantangin walaupun kita nggak salah? Kenapa Mas Yazid pake ngasih teka-teki
segala sih, kenapa nggak sekalian aja waktu ngasih solusi. Percuma aku dikasih
ini semua kalo aku nggak bisa berbuat apa-apa.” menutupi wajah dengan tubuh
sahabat terbaikku. Selalu seperti itu, jika rasa takut yang menyerang telah
dirasa berlebihan, maka segera kuraih alqur’an kecil berwarna hijau yang kubeli
saat asrama romadhon dipondok Karawang tahun 2003. Membukanya dan meletakkannya
diwajah sebagai penutup mata, maka lambat laun wajah-wajah asing itu,
penampakan rupa yang tak lazim, dan perasaan takut yang menyergap akan hilang
dengan sendirinya.
Tidak ada setetes pun airmata dimalam itu, baxy. Tidak juga menetes
saat adikku harus kembali anfal, dua tahun setelah bapak meninggal. Hati masih
tak bergeming, entah mungkin memang sengaja ku buat beku, saat mendengar adikku
lagi-lagi ada ditengah bahaya. Kepalanya sempat terjepit pecahan kloset yang
menjadi tumpuannya, saat kejang kembali datang. Aku jauh dari rumah saat itu
terjadi, sedang berusaha menggapai cita-cita, berusaha mewujudkan mimpi sederhana
yang ia miliki. “Pengen
punya kamar sendiri, nanti temboknya kan bisa Ade hias. Ade tempelin posternya
Dicky AFI, Sheila On7, posternya Sakti …,” ucap
adikku suatu hari, setelah perlahan tapi pasti dinding pemisah yang menghalangi
kami mulai terkikis dan semakin menipis.
“Bisa, koq. Pokok kuncinya mah yakin, De’. Yakin
sama Alloh, yakin sama apa yang kita minta pasti dikabulin. Makanya … do’ain Mba’un
bisa lolos seleksi diklat di Maxindo. Nanti kita liat deh setelah dua taun,
pasti kita bisa punya rumah sendiri. Nggak cuma Ade, Mamah sama bapak juga
punya kamar sendiri. Silmi punya kamar sendiri, terus Mba’un nikah deh sama Mas
Hadi. Hehehe …,” kujawab
membesarkan hatinya saat itu, sekaligus menguatkan keyakinanku sendiri.
Hati semakin ku buat sekeras baja, baxy. Bahkan saat dokter syaraf
yang menanganinya diruang perawatan khusus telah mengeluarkan vonisnya, bahwa
jika dalam empat hari tetap tak sadarkan diri, maka kami sekeluarga harus mulai
merelakannya. Itu kenapa ku bilang, adikku adalah pejuang tangguh, dan keajaiban
benar ada dimana-mana. Keajaiban benar hadir selama kita menjaga keyakinan dan
ketulusan saat memanjatkan do’a. Airmata yang ku tahan pun bukan tanpa alasan,
baxy. Jika semua menangis, lalu siapa yang mengambil peran untuk jadi
penghibur? Jika semua menampakkan kelemahannya, lalu siapa yang akan mengambil
peran untuk menguatkan?
Komentar
Posting Komentar