Buku Harian baxy 2020 - Senandung biru Peri Walakidung 4
Banyak yang tak percaya saat aku bilang, bahwa hidupku penuh dengan
keajaiban. Meski telah ku jelaskan pula, semua keajaiban yang ku dapat perantaranya
adalah lewat do’a. Namun tetap saja, aku dinilai setengah gila, berkurang akal
karena terjebak dunia hayal. Perlahan hidung mungil itu menyembul, baxy. Walau
terlihat lebih mungil dari hidung yang tak mancung, tapi tetap saja terlihat lebih
baik dari sebelumnya saat baru dilahirkan, tak pula memperdulikan saat bu bidan
kembali mengulang pesan dokter, agar tak kecewa di kemudian hari karena keadaan
ini. Aku yakin dengan do’a yang kupunya, aku yakin dengan nama yang telah aku
pilih dan sengaja ku persiapkan untuk bayi mungil yang tak diharapkan itu.
Sebuah nama indah sengaja
kurangkai sebagai bentuk penjagaan pribadi, andai aku tak dapat mendampinginya
setiap waktu. Keselamatan, baxy. Karena ia telah terkena sumpah orang-orang
dewasa yang terlalu menuruti hawa nafsu mereka. Tergelitik rayuan prajurit
iblis untuk menjadikan lisannya pedang yang tajam. Mengayunkan kesembarang arah,
tanpa terlebih dahulu melihat seperti apa sasaran yang sedang dituju. Membuat
jiwa baru yang seharusnya hadir disambut dengan penuh sukacita dan airmata
kegembiraan, menjadi terlihat sendu seperti langit yang tertutup awan kelabu.
Ucapan adalah do’a
… waktu itu aku belum mengerti tentang sindrom baby blues, baxy. Aku juga tak
berusaha memahami apa yang sedang dialami kakak iparku setelah melahirkan
bayinya, karena yang aku tahu biasanya suami istri akan merasakan bahagia
begitu melahirkan buah hati pertama mereka. Tapi sepertinya sedikit berbeda
dengan yang kutemui kali ini.
Setiap hari aku
bersemangat untuk merapikan rumah lebih cepat dari biasanya, agar bisa lebih lama
bertemu dan bermain dengan keponakan baru. Tapi apa yang sering ku dapati
setiap kali menyembulkan kepala dari balik pintu, pemandangan yang membuat
hancur hati walau aku tak ikut melahirkannya ke dunia ini.
Dibiarkannya bayi
mungil itu menangis, sedangkan ibu yang melahirkannya lelap tertidur. Menyusui
dengan susu formula itu hal yang biasa, namun memegang botolnya dengan
menggunakan kaki sebagai penahan, sedangkan tangannya bebas dari melakukan
kegiatan? Sungguh, kejadian itu tak pernah bisa hilang dari ingatan. Satu kali,
dua kali, hingga berbulan-bulan ternyata tetap tak ada perubahan. Sedangkan
bayi mungil itu sudah mulai belajar duduk, walaupun suaranya masih sepi
terdengar tapi aktifitasnya terus berkembang. Tubuhnya terlihat kurus tak
terawat, dengan ingus yang menggantung naik turun.
Aku tidak bisa terima, baxy. Apa salah anak yang dilahirkan ke
dunia ini? Berharapkah mereka untuk dihadirkan dalam Rahim, saat dua lawan
jenis tak mampu menahan nafsu dan berkumpul tanpa ikatan? Mendapat sebutan anak
haram, adakah mereka pula yang harus menanggung dosa sebab perbuatan orangtua
mereka dengan sebutan itu? Belum lagi ditolak kehadirannya, dibuang, disia-sia
… tak jarang pula nyawanya direnggut dengan paksa.
Salahkan do’a yang ku buat? Hingga membuat janin yang tak
diharapkan itu terus bertahan pada persinggahan pertamanya. Tak perduli telah
berapa macam jamu yang telah menyiramnya, aneka buah yang katanya bisa
menggagalkan kandungan, sengaja dipukul dan dibenturkan dengan benda keras,
atau mungkin … nama yang ku pilih itu memang telah tertulis di Lauhil Mahfudz,
sana. Entahlah, baxy … peri walakidung-ku ini, apakah juga tertulis dalam buku
kehidupannya akan mendapat pukulan dan benturan sepanjang hidupnya.
“Nda, Nda, ee’ ….” Siapa yang tak melayang terbang ketika mendengar kata pertama yang
terucap dari bayi yang diasuhnya adalah namanya, baxy. Aku sudah punya banyak
keponakan sebelumnya, namun entah mengapa dengan peri walakidung ini aku
seperti memiliki ikatan batin yang lebih. Mungkin karena do’a yang ku
panjatkan, atau sumpah-sumpah yang ku dengar, yang jelas, aku sudah jatuh
sayang begitu tahu ia bertahan selama Sembilan bulan dalam kandungan.
Aku tak pernah
mengajarkannya untuk memanggilku Bunda, baxy. Jujur, kami sekeluarga juga tak
pernah mengajari atau sengaja membuatnya lupa dengan orangtua kandungnya. Aku
terlahir dari darah campuran antara jawa dan betawi, karena itu aku lebih suka
membahasakan diriku bule daripada encing atau tante. Di rumah juga tidak ada
yang memanggil orangtua dengan sebutan Bunda.
Aku memanggil ibuku dengan sebutan Mama, dua kakak perempuanku pun
menggunakan kata Ibu dan Mamah untuk anak-anak mereka. Setiap kali orangtua
kandung walakidung datang pun kami mengenalkannya sebagai ayah dan ibunya. Aku
sedang berselancar di atas tumpukan pakaian kusut saat itu, dan seperti biasa
peri walakidung ada duduk didekatku, ditengah tumpukan cucian yang sengaja ku
buat membentuk lingkaran agar bisa tetap fokus menyelesaikan tugas dan menjaga peri
kecilku. Bunda, baxy… dan sebutan itu masih terbawa sampai hari ini.
Tulisan awal
seseorang dalam buku kehidupan memang tak’kan pernah ada yang tahu, seperti apa
atau bagaimana. Cobaan dimulai juga seakan tak mengenal usia. Entah ujian itu
sebenarnya ditujukan pada orang dewasa yang mengasuhnya, atau memang peri
walakidung telah memiliki ladang untuk lipatan pahala, sejak ia masih balita.
Dibuat bersentuhan dengan upadaya tak kasat mata, bau telur busuk
yang keluar berbarengan dengan pup-nya setelah dua kali ikhtiar melalui jalan
alternatif, karena pengobatan medis yang dilakukan berulangkali tetap tak
membuahkan hasil. Bukan karena meragukan medis, baxy… hanya saja sakit yang diderita
walakidung saat itu agak sedikit ajaib. Sering menangis tanpa sebab, kuat
berjam-jam kalau sudah mulai menangis dan yang membuat hati semakin teriris
adalah tiap kali ia menjambaki rambutnya sendiri sampai separuh botak.
Dengan tujuan apa? Siapa yang tega membuat anak tanpa dosa
menderita seperti itu? Ah, andaipun kuberi tahu, toh tetap saja makhluk yang
diciptakan untuk menjadi musuh abadi manusia ikut berperan didalamnya. Jadi,
cukup maafkan saja, saling mendo’akan, petik hikmahnya dan ambil sebagai
pelajaran. Jika bisa seperti itu, maka kita bisa maju satu langkah melewati garis
kepung musuh abadi.
Kebahagiaan peri
walakidung terus terjaga, dan terasa semakin sempurna saat Pakde yang sudah
terbiasa ia anggap ayah menemukan pasangan hidupnya. Merasakan berjalan-jalan
walau sekedar mengelilingi taman kota dengan sepasang orangtua yang lengkap,
walakidung akhirnya memiliki ayah sekaligus ibu yang bisa mendampinginya setiap
hari. Tak berkurang bahagia yang dia rasa, walau wanita yang dia anggap ibu
telah memiliki buah hatinya sendiri. Di sini ku bilang, satu kelebihan yang
peri walakidung punya namun sayang tak banyak yang memperhatikannya.
Oleh Allah dia diberi pembawaan yang ceria, selalu gembira.
Walaupun masih dengan kesulitannya untuk bicara, karena ia baru bisa merangkai
kalimat sedikit lebih panjang setelah lewat usia tujuh tahun, tapi walakidung seolah
tak pernah kehilangan semangat untuk berbaur dengan anak-anak seusianya. Ah,
baxy … inginnya segera menyelesaikan tulisan yang aku buat ini, berharap bisa
seperti dulu, setiap tulisan yang ku buat dapat menjadi rapalan mantra yang
mendatangkan keajaiban. Membantu membuat akhir yang baik untuk alur pilu yang
terus merundung peri walakidung. Berharap mereka yang saat ini terlanjur
memasang label nakal atau apapun itu, sebutan yang biasa diberikan pada remaja
yang memiliki masalah dengan perilakunya.
Komentar
Posting Komentar