Buku Harian baxy 2020 - Senandung biru Peri Walakidung 3
Aku hanya tersenyum saat mendengar calon kakak iparku mengucapkan
itu tujuh belas tahun yang lalu, sekaligus memohon ampunan-Nya. Karena aku
belum bisa bertanggung jawab, dengan sedikit pengetahuan tentang agama yang ku
dapat. Status pengais bungsu mungkin juga sedikit berpengaruh, terlebih aku
hanyalah seorang adik perempuan tanpa prestasi yang bisa dibanggakan. Hajat pun
dijalankan, duduk dihadapan penghulu dengan satu jiwa yang masih disamarkan.
“Biarin aja. Gua sumpahin anaknya gagu kalo
lahir nanti! Pake sumpah-sumpah bawa nama Alloh segala.” Kau tahu rupanya hati aku saat mendengar kalimat itu, baxy? Ciut,
mengkerut, entah bagaimana aku harus menggambarkannya. Bukan, bukan karena
takut sebab yang mengucap sumpah bertubuh besar dan lumayan tambun, tapi karena
isi dari apa yang diucap oleh lisannya.
Patah hati seketika, baxy. Seperti inikah karakter pemeran-pemeran
baru yang akan mengisi disepanjang hidupku begitu mereka resmi menjadi bagian
dari keluarga kami? Mungkin sebab dua sumpah itulah rangkaian do’a lantas ku
buat. Kubaca seperti layaknya orang merapal mantra, seperti tengah berlomba
dengan waktu, harapan yang kupunya harus bisa terdengar dan dikabulkan dalam
waktu empat bulan. Berusaha mematahkan sumpah orang dewasa, pada jabang bayi
yang seharusnya tak tersentuh oleh dosa orangtua. Berharap bisa mendengar satu
tangisan saja, maka patahlah semua sumpah.
Lewat pertengahan
bulan September 2003, harum aroma jambu klutuk tercium dan menyebar memenuhi
ruang kontrakan tiga petak. Saat membuka pintu, kulihat kakak iparku sedikit
tertatih ketika berjalan menghampiri. Daster yang ia kenakan saat itu tak
terlalu panjang, terlihat kedua kakinya yang basah karena air ketuban yang
telah pecah. Segera berlari kembali ke rumah yang jaraknya tak terlalu jauh
untuk ditempuh, ingin segera mengabari ibuku bahwa ia akan memiliki cucu baru.
Hari itu aku ikut merasakannya, baxy. Perut yang melilit sakit tak
tertahan, pinggang terasa panas tak berkesudahan. Jantung yang terus berdegup
kencang, dan nafas yang terus aku paksa untuk berhembus beraturan. Perasaan
yang aneh, sedangkan aku sendiri belum menikah dan pastinya aku tak tahu
bagaimana rasanya seorang wanita yang sedang mempersiapkan dirinya untuk
melahirkan.
“Hasbunalloh wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa
ni’mannashiir ….” Tak
henti-hentinya membaca kalimat itu sepanjang menemani kakak ipar diruang
persalinan. Suaminya belum pulang bekerja, ibuku juga belum datang untuk
bergantian menunggu. “Pokok, kalo anak ini lahir dia anak aku, Alloh. Jadi
dede’nya aman dari sumpah.” Terus ku ulang kalimat itu dalam hati. Dia
anakku, baxy … aku meminta Alloh untuk menjadikannya anakku, berharap
keponakanku yang baru dilahirkan dalam keadaan sempurna dan dalam keadaan baik-baik
saja.
“Maaf, jangan kecewa kalau anak ini besarnya
nanti agak kesulitan untuk bicara. Batang hidungnya terlalu rata, jadi takut pita
suaranya terganggu,” ujar bidan yang
menangani persalinan.
Bayi mungil itu akhirnya lahir ke dunia, baxy. Setelah adzan ashar
berkumandang, dan aku sedang tidak ada disampingnya karena menunaikan kewajiban
sekaligus mengambil kesempatan untuk mengulang do’a ku kembali.
Satu jam hadir ke
dunia tanpa suara. Bidan setempat yang menangani terpaksa menghubungi dokter
kandungan koleganya. Kurang dari satu jam dokter ahli kandungan yang ternyata
seorang pria itu datang, langsung dipegangnya keponakanku dengan posisi
menggantung. Seperti memegang botol saos yang sulit keluar isinya, kaki dan
paha mungil itu dipukul sampai keluar satu tangisan kecil. Satu tangisan saja,
itu sudah lebih dari cukup untuk aku dengar, baxy. Mematahkan sumpah menjadi
terlihat memiliki harapan. Aku dekati ruang kaca tempat bayi mungil itu
diletakkan, memang batang hidungnya terlihat terlalu rata bahkan untuk orang
yang memiliki hidung mungil. Tapi aku tak putus harapan, baxy … karena
keyakinanku dengan Yang Maha Memberi sedang begitu tinggi. Hanya butuh Kun,
maka jadi. Apapun, asalkan diminta dengan hati tulus dan penuh keyakinan maka
pasti diberi. Hasbunalloh sekali lagi, baxy.
Komentar
Posting Komentar