Catatan sisi Miring - Misteri Tumbal dan Pati (Memori dibalik pintu ibu Yani)
13 September 2016
Seekor kera dengan wajah manusia menggoyang-goyangkan ekornya di depan wajahku. Sesekali menghadapkan pula wajahnya kearahku, dengan sorot mata tajam penuh amarah, namun guratan diwajahnya terlihat jelas menyimpan rasa takut dan kekhawatira entah karena apa.
Terus saja mengejekku dengan ekornya, seperti sengaja memaksaku untuk mengejarnya. Akhirnya aku pun berlari, mulai mengejar, hingga akhirnya kami tiba ditengah hutan. "Monyet licik!" ku bilang. Kera berwajah manusia itu membalas ucapanku dengan melayangkan senyum kemenangannya. Guratan kepanikan nampak hilang seketika dari wajahnya, saat koloni yang ia bawa telah membuat lingkaran sempurna untuk mengepungku.
Hutan belantara tiba-tiba saja seperti menyatukan semua pohon yang ia punya dengan tanah, hingga yang nampak hanyalah tanah lapang yang tandus dan gersang. Kumpulan kera berwajah manusia lantas bersorak girang, serempak bergoyang seakan melakukan tarian kemenangan.
Aku? Hanya bisa mematung kaku menyaksikan semua itu, kemudian menggigil ketakutan saat sekelilingku berubah gelap dan hitam pekat. Kumpulan kera semakin bersemangat, saat satu sosok tinggi besar berjubah hitam datang dan berdiri tak jauh dari ujung hidungku. Ah, bahkan nazghul masih kalah seram dengan makhluk yang berdiri dihadapanku saat itu.
"Sukurin, makanya jangan sok macem-macem kamu!" pemimpin kera berkata, masih memasang sorot tajam dimatanya.
Aku? Seakan berdiri tanpa daya saat terpaksa menatap sosok dihadapanku. Takut, sedih, antara percaya dan tidak, selalu berusaha mengingkari, semua rasa campur aduk jadi satu. Bayang wajah ibuku, suamiku, dengan pesannya tentang dunia sisi miring yang dengan sangat terpaksa aku buka, terus menari dikepala.
Seperti terlilit, nafas dileherku, saat makhluk itu semakin mendekati. "Allohumma ikfinihim bima syi'ta." Hanya itu kalimat yang bisa mengalir dengan mudah dari lisanku.
"Ikfinihim bima syi'ta, Alloh. Cuma Alloh yang tahu apa alasan aku ngebuka lagi pintu sisi miring itu." dan rasa takut perlahan berubah menjadi sebongkah rasa pasrah.
Yang terjadi selanjutnya? Hahaa, mungkin memang benar kalo aku ini butuh didefragmentasi otak, karena terlalu gemar menyantap buku dan tayangan yang diluar nalar.
Belum selesai dengan sekumpulan manusia kera, kulihat makhluk berjubah hitam datang berkoloni, turun dari langit.
Sepertinya aku berada ditempat dan waktu yang salah. Terpaksa menyaksikan dua kubu yang sedang berseteru, dan aku lagi-lagi berlagak bak pahlawan kesiangan. Berusaha membantu seorang kenalan baru, yang dari ceritanya aku tahu, bahwa cobaan yang datang menghampiri hidupnya setiap lima tahun sekali itu, selalu memiliki angka tanggal, bulan dan tahun yang sama.
Dari balik punggungku, aku dapat melihat Pemimpin para makhluk bak pasukan dementor itu melayang diudara dengan kendaraannya yang mirip dengan ikan pari. Terbang melesat dan semakin menukik tajam ke arahku. Sedangkan dihadapanku sedang berdiri satu makhluk yang lumayan berhasil mengurangi jatah udara yang masuk kedalam paru-paruku.
Tameng? Tameng apa yang aku punya untuk menjaga diriku sendiri? "Alloh, cuma Alloh yang tahu tameng apa yang aku punya selama ini. Bismillah, Alloh. Cuma modal Bismillah."
Bersamaan dengan itu, pemimpin pasukan serupa dementor mendarat dan berjalan menembus ragaku. Berhasil memukul jatuh makhluk serupa nazghul dihadapanku dan membuat kawanan kera lari terbirit-birit tak tentu arah.
Aku termangu, terselip tanya dalam hati yang telah berbuah jawab sebelum terlontar dari lisan
"Jangan khawatir, bukan kamu yang dituju. Kamu bisa pergi sekarang, jangan ragu buat manggil, tiap kamu butuh bantuan." Kemudian menawarkan jabat tangannya saat ia mengucap ,"kita adalah teman." dan menaiki kembali kendaraannya yang berwarna hitam pekat. Namun jabat tangan urung ku sambut saat terkejut melihat wajah ikan pari yang tidak terlihat seperti ikan.
Komentar
Posting Komentar