Zirah para Punggawa 2
Kaisar baru mematung diri di teras balkon, memandang purnama yang bersinar … dengan kejora seolah rembulan sengaja berbagi cahaya. Tak ingin kedua matanya mengedip, bukan karena indahnya purnama dan kejora, yang sayang untuk dilewatkan walau sekejapan mata saja, namun khawatir rapuhnya hati menjadi mudah sekali untuk dibaca.
Diletakkannya cawan emas di tangan, berisi arak tanpa sedikit pun
berkurang. Tak pernah kaisar baru mencicipinya, tak juga pernah dengan sengaja untuk
cari tahu seperti apa rasanya … karena pesan sang ibunda ratu selalu terngiang
di telinganya, “Ananda sayang, apa yang akan
kau dapat dari seteguk arak hanyalah kebahagiaan semu. Arak tak hanya
melumpuhkan akalmu, tetapi juga hatimu. Bersulang karena
suka cita, atau meraih cawan untuk melipur nestapa, itu memang tidak dilarang.
Namun apa yang kau pilih sebagai pengisi cawan, itu ikut menentukan seberapa
bijak hatimu, seberapa kuat pikiran mengendalikan kerajaan jasadmu.” Maka kaisar baru selalu menerima tiap kali cawannya juga diisi,
hanya sebagai alibi. Hanya agar kedudukannya diakui, agar keberadaannya
diterima.
Selalu setelah resmi bersulang, kaisar baru segera turun dari
singgasananya dengan alasan ingin menikmati jatah arak miliknya seorang diri.
Meninggalkan balairung yang telah beralih rupa menjadi lantai dansa, tiap kali
para pembesar istana tengah berbahagia.
Kaisar baru menutup wajah, bukan karena silaunya purnama, tetapi karena rapuhnya hati kian menampakkan diri. Merasa diri seperti seekor burung
yang indah, namun terkurung dalam sangkar berduri. Walau sangkar yang dibuat
begitu besar, terbuat dari emas berhias permata, namun apa guna … jika sayapnya
yang indah tak mampu mengepak karena telah sengaja dilukai.
Kaisar baru kembali meraih cawan, memegangnya kuat dengan kedua
tangan. Akankah dikeringkannya semua isi cawan hanya dengan satu tegukan … atau,
justru ia hempaskan ke lantai
Tangan gemetar menahan amarah, terpercik arak pada jubahnya yang
indah … pemberian kaisar lama yang telah membuat kisah hidupnya berubah dalam
sekejap mata. Tubuhnya ikut bergetar, satu pekikan besar meminta untuk segera
dikeluarkan, setidaknya itu bisa sedikit mewakili rasa sakit yang lama tertahan
di hati. “Ananda, amarah adalah
hukuman untuk diri sendiri atas kesalahan orang lain. Sudikah engkau dengan
serta merta menanggung hukuman, sedang kau masih memiliki hak untuk memilih? Coba
kau taklukkan terlebih dulu amarahmu dan jangan biarkan oranglain tahu,
niscaya … banyak buah manis yang akan kau dapati jika kau terus berjalan maju.”
Tiba-tiba saja pesan baginda raja ikut pula menyapa gendang
telinga.
Kaisar baru menyerah kalah, sengaja memejamkan mata dan membiarkan
saja bulir-bulir hangat membasahi pipinya. “Aku harus apa? Mengapa semua terlihat begitu mudah saat
mendengarmu berkata, semua kendali ada di sini dan di sini.” Entah pada siapa kaisar baru mengajukan tanya, tetapi nampak ia
menyentuh kening dan mengusap dadanya.
Komentar
Posting Komentar