Catatan Sisi Miring - Mimpi Pertama

    Terkapar tanpa daya di atas dipan besar, tempat ia biasa terlelap tidur saat malam bersama kelima saudaranya. Wajah harap-harap cemas terlihat dari orang-orang dewasa yang berdiri mengelilingi ditempat ia dibaringkan. Panas, hanya itu yang bisa dirasa. Dimata, ditelinga bahkan saat bernafas pun terasa seperti mengeluarkan semburan api dari mulut naga.

    Seperti Suneo yang gemar mengoleksi kotoran hidungnya. Sengaja memainkan upil kecil dengan dua jari, semakin lama terasa semakin membesar dan berat menindih badan, mungkin saat itulah untuk pertama kalinya bocah kecil pemilik pipi gembil dan berponi itu belajar menyerahkan diri dalam dunia mimpi. “Setidaknya aku tidak lagi merasakan panas, setidaknya aku tidak lagi dikejar dan ditindih bola upil besar.”

    Merasa berhasil menyelamatkan diri dari bola upil, tak perduli jika diri ternyata tengah mematung di atas tebing yang tinggi. Sesungguhnya ketakutan, karena hanya sendirian ditempat yang gelap dan sepi, namun pemandangan dibawah tebing terlihat begitu indah. Birunya air laut, indah bersinar ditengah kegelapan yang meliputi. Sinar bulan, rembulan dengan ukuran besar bulat penuh. Mungkin itu yang disebut bulan purnama, tapi tentu saja gadis kecil itu belum faham benar tentang fase bulan, karena yang ia mengerti hanyalah bulan bersinar dimalam hari.

    Tersenyum sendirian, dan masih melempar senyum saat tiba-tiba saja berdiri seorang pria dewasa disampingnya. Melemparkan senyum manis dan kerling mata indah kearah si bocah, sebelum akhirnya mengangkat busur dalam genggaman tangan kirinya. Memberi isyarat dengan gerakan kepala, untuk bersama-sama melihat ke arah rembulan saat ia melesatkan anak panah.

    Bocah kecil termangu, kemudian kembali menoleh pada pria dewasa itu. Busur panah telah kembali diturunkan namun senyuman itu masih ia pasang, namun kali ini dengan anggukan kepala yang berbeda, seolah meminta bocah kecil agar tidak perlu takut dan memintanya untuk kembali memandang rembulan.

    Siapa orang dewasa itu? Bocah kecil merasakan damai dan aman saat melihatnya, tapi untuk kembali melihat bulan dilangit? Tubuhnya mendadak kembali menggigil seperti saat ia dikejar bola upil, kembali berkeringat seperti saat ia merasa ada semburan api naga keluar dari mulutnya. Sedangkan pria dewasa itu masih tetap berdiri ditempatnya semula, dengan jubah hitam keabu-abuan dan salah satu ujung busur panah telah menyentuh tanah. Sekali lagi tersenyum dan menganggukkan kepala, seakan berbicara dengan bahasa isyarat dan bocah kecil memahami maksudnya.

    “Enggak ...!! Aku nggak ngerti maksud bapak. Mamah bilang nggak boleh deket-deket sama orang yang belum kita kenal. Mamah ... Mamah ...?! Mamaah ...!” Bocah kecil berusaha berlari dan berteriak sekuat tenaga, saat apa yang sempat terlintas dibenaknya akhirnya benar jadi nyata. Rembulan yang dipanah, akhirnya terbelah. Bukan terbelah menjadi seperti paruhan roti tawar yang telah diisi dengan selai kacang, namun utuh bulat sempurna. Satu bulatan tetap bersinar terang ditempatnya, satu bagian yang lain terjun bebas meluncur jatuh ke bumi.

    Bocah kecil lantas bergegas pergi berlari, disergap rasa takut, karena bulan yang meluncur ke bumi mulai menggelinding dan bergerak cepat kearahnya. Bocah kecil terus berlari, menyempatkan diri sejenak menoleh ke belakang untuk sengaja membuang pandang pada pemilik busur panah. Segera memberinya tatapan andalan, seperti yang biasa bocah kecil pasang saat merajuk dan tidak mendapatkan persis seperti yang diinginkan. Entah pemilik busur panah marah atau justru tertawa menggoda, saat melihat ekspresi wajah lugunya. Bocah kecil tak lagi ambil perduli, karena kini ia telah sibuk berlari dan mencari tempat untuk sembunyi. Karena rembulan yang mengejarnya kini tak lagi hanya satu, namun bertambah banyak. “Dua, tiga, lima, tujuh, kenapa bulan yang bersinar terang jadi terlihat seperti bola api besar, terus saja menggelinding dan tak berhenti mengejar?” Bocah kecil sempat menghitung, untuk kemudian semakin menambah kecepatan berlari.

    “Mamaaah ...!” Teriakannya kali ini sepertinya berhasil membawa kembali bocah kecil ke tempat tidurnya, dengan boneka beruang besar dalam pelukan, dan sebuah kaset berisi tembang cinta milik Dian Phisesa dalam genggaman. Semua orang dewasa yang berkumpul mengusap wajah dengan lega dan mengucap syukur bersamaan, saat mengetahui bocah kecil itu berhasil melewati masa kritis karena campak yang tengah menyerangnya.

Komentar

Postingan Populer