Catatan Sisi Miring - Misteri Tumbal dan Pati (Hai juga, kamu yang ada di Majalengka)

 

Out of body experience, istilah kerennya Ngrogo sukmo yang dulu diperkenalkan pertamakali oleh seorang kenalan dalam sebuah komunitas indigo.  Astral projection-istilah yang biasa digunakan Frisly Herlind. Aku menggunakan istilah apa, tiap kali tiba-tiba saja bisa melihat ragaku sendiri sedang tertidur lelap, namun tetap bisa pergi kemanapun yang aku suka dalam sekejap mata? Hahaa … tak punya istilah khusus, tapi mungkin tak jauh beda dengan apa yang pernah dilakukan Spongebob dalam salah satu episodenya. Menyelinap masuk kedalam mimpi setiap penghuni bikini bottom, dan sedikit mengganggu tidur lelap mereka. Berdiri disamping tubuh sendiri, kali pertama rasa takut itu tentu saja ada. Tapi setelah beberapa kali mengalami, rasa yang ku persiapkan berikutnya hanyalah, akan dibawa berpetualang kemana aku kali ini.

            Sejenak memperhatikan sekitar, menghirup udara sejuk dan menikmati nuansa hitam-putih, ciri khas yang dimiliki era 80’an. Bertanya-tanya, dimana kiranya aku tengah berdiri. Terlihat banyak orang yang sibuk lalu-lalang, pria-wanita nampak sama sibuknya. Sepertinya aku sedang berada disebuah kawasan industri. Mencoba mencari tahu, apa kiranya yang sedang mereka kerjakan, lalu apa fungsi menara tinggi yang terlihat seperti cerobong asap itu? Kenapa pandanganku terus tertuju pada bangunan tinggi itu?

            Hemh, selalu saja seperti ini. Angin hitam tiba-tiba saja datang berputar, setiap orang yang ada seketika lari tunggang-langgan, berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri. Kulihat angin bertambah pekat, dan semakin besar saat bergerak memutar. Menghancurkan setiap bangunan yang telah dilewatinya, namun seperti sengaja meliukkan geraknya tiap kali ada kemungkinan bersentuhan dengan anak manusia. Terus memperhatikan, karena merasa ada yang aneh dengan setiap geraknya. Kedua mata ikut mencari, apa sebenarnya yang dituju oleh angin besar itu?

Seperti tak sengaja saling beradu pandang, seakan angin itu juga memiliki bolamata. Saat bersamaan menjumpai sebuah keluarga, seorang ayah yang merangkul keluarganya didalam pelukannya. 

“Jangan, kumohon jangan.” Aku meminta pada angin besar itu untuk mengurungkan apapun niat yang ia bawa.

“Awaas … hati-hati” Spontan berteriak, saat melihat seorang wanita berlari mengejar anak perempuannya.

“Jahat, ya ….” Memberi tatapan hampa pada angin besar yang perlahan memudar setelah berhasil membuat bangunan tinggi itu hancur, dan puing-puingnya jatuh menimpa punggung sang ibu yang berusaha melindungi buah hatinya. Kenapa harus seperti itu? Tak adakah jalan lain? Lalu apa yang akan didapat, jika selalu mengaitkan tumbal dengan kematian?

Dengan perasaan hampa, aku melanjutkan perjalanan. Sambil mengisi waktu, kapan kiranya aku akan dikembalikan pada jasadku. Menyusuri setiap gang yang ada, yang nuansanya semakin lama terlihat semakin berbeda.

Kembali melihat banyak orang bekerja, namun kali ini dengan seragam rapi berwarna biru telor asin. Sepertinya sedang menikmati jam istirahat yang mereka punya, sebagian asyik menikmati bekal makan siang yang mereka bawa, sebagian lagi terlihat sudah selesai mencuci alat makan mereka. Tergelitik mengikuti, menyusuri gang kecil menuju kamar mandi. Tak mungkin aku dibawa sejauh ini, hanya untuk menyaksikan sesuatu yang bukan menjadi urusanku.

“Lah, elu telor busuk. Ngapain lu, ndepis di situ.” Perkenalkan, keponakanku – yang mari kita sebut saja ia dengan nama kecilnya. Tenang saja, walau panggilannya adalah “’telur busuk’ tapi sesungguhnya, dimana pun dia berada, selalu menjadi bunga desa.

“Sieun. Tah eta, sok meuni malototan wae.” Menunjuk kearah kamar mandi, dengan kolam air yang lumayan besar, dengan bentuk hampir sama seperti jeding didalam penjara suci.

“E alah, jauh-jauh dipanggil ke sini cuma buat diliati beginian, tah? Ayo, ah … bangun. Nggak ada ceritanya keturunan pak Acang takut sama yang beginian.” Konon katanya, setan atau jin usil yang berhasil menyapa kehidupan kita, atau sengaja membuka peluang dan tanpa sadar sengaja mengundang mereka, itu karena kita menyimpan rasa takut pada mereka. Hemh, mungkin bahasan ini akan kukupas dalam tulisan yang berbeda.

“Akhirnya, kamu datang juga. Coba kita liat, sehebat apa sih kamu.” Tubuh tinggi besar, hitam, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hanya kedua matanya yang terlihat sedikit merah, entah karena marah, atau karena terkena percikan air sebab tak hentinya mengguyurkan air ke badannya.

“Maksudnya apa, ya? Terus kenapa bawa-bawa keponakan aku sega—, o … ngerti aku sekarang, kenapa aku dibawa ke sini.”

“Hahaa … udah pernah dibilang, jangan pernah ikut campur urusan orang. Pilihannya lawan, atau ponakan kamu yang cantik ini, yang jadi taruhannya.”

“Heran aku, kenapa selalu dibilang suka ikut campur urusan orang, sih? Lagian juga, aku dijawa, ponakan aku di Majalengka. Terus gimana caranya aku ikut campur? Ada masalah apa ditempat kerjanya juga, aku nggak tahu.”

“Udah, jangan kebanyakan ngomong.” Kalimat ini hanya improvisasi sang penulis untuk sekedar menggambarkan keadaan setelah itu. Visualisasi tak mungkin bisa dilakukan, untuk menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas, kenalan baruku itu masih sibuk dengan gayung ditangannya, juga mata merah yang semakin menyala, saat aku terus membaca do’a.

Yups, karena senjata yang ku punya selain keyakinan adalah do’a. Dan untuk aku, yang aslinya memang penakut, tapi selalu memaksakan diri untuk terlihat seperti seorang pemberani, akan selalu mencari cara untuk tetap terlihat berani saat situasi semakin tersudut.

Segera teringat dengan pocong sanggul sailormoon, aku memilih menyudahi do’a yang kubaca. Melawan sihir dengan logika, terbersit ilham baik dalam hati. Memperhatikan dengan lebih seksama, tampilan sosok yang sedang mengajakku adu tanding kesaktian. Setelah berhasil menemukan kelemahan yang kucari, aku pun segera menggurat senyum kemenangan lebih awal.

“Udah lah, cape. Terserah situ mau ngapain ane, tapi awas aja kalo sampe berani nganggu keponakan aku lagi. Ane sisir tuh rambut ente yang berantakan sampe rapih, kalo perlu diribonding sampe lurus, biar tau rasa. Mau?! Udah, egg. Kalo kerja bawa sisir aja, kalo masih usil juga, suruh nginget pesen aku aja.”

Hehee, serem-serem lucu. Sosok tinggi besar yang semula terlihat gahar, mendadak berubah tingkah seperti anak kucing yang takut tersiram air. Segera menutup pintu kamar mandi, dan aku pun kembali pada rumah jiwaku.

Komentar

Postingan Populer