Zirah Para Punggawa

 

Kaisar duduk bersandaran di atas singgasananya. Dengan Mahkota di kepala, serta jubah indah menghias kedua bahunya. Tongkat emas putih dengan satu permata ungu di bagian atas selalu ada di dekatnya.

Kaisar menopang dagu … memandang sebuah periuk besar terbuat dari kuningan, terisi penuh dengan aneka macam buah yang terlihat jelas dari arah jam satu. Ada pelayan yang selalu siap sedia menunggu titah sang Raja, namun rupanya Kaisar sedang enggan untuk menyeru … dibiarkannya saja ranum apel dan kilaunya anggur hijau yang menggoda pandangannya, tetap pada tempatnya.

Sang Raja melepas mahkota, meletakkannya pada pangkuan ibu suri yang senantiasa menemani duduk disisi kanannya. Dengan senyuman, tak lupa memasang kerling mata elang saat menoleh ke kiri. Tempat khusus untuk sang bidadari hati … Permaisuri pun tersipu dan tertunduk malu. Kaisar tertawa menggoda, untuk kemudian kembali duduk bersandar.

Para Panglima, para Jendral besar saling bertukar pandang. Meredam suara, bertukar pandang dan saling bertukar tanya, "Sedang berlaku apa Kaisar gerangan?" karena sungguh, sang Raja bertingkah tak seperti biasanya.

Para Panglima, iya ... para pemilik baju besi dan penunggang kuda hitam. Penghuni garis belakang dengan pedang rapi tersimpan dalam sarung yang menggantung dipinggang-dan baru akan terayun saat pasukan gerilya telah terkikis lelah dan mulai bersimbah darah.

Para penghuni tandu perak, penggenggam cawan emas berisi arak … yang terangkat tinggi ke udara, segera … bergegas, setelah mengetahui kemenangan telah berhasil diraih dan keuntungan perang turut dibawa pulang. Seakan sengaja lupa, meninggalkan jauh pasukan gerilya ditengah lapang, yang terseok dan tertatih saat menyambung langkah, saling menopang untuk bisa berjalan pulang.

"Hemmmh ...." Kaisar membuang nafas begitu berat, melepas ikat tali jubah indah yang melingkar dilehernya. "Jubah ini terlalu berat," ujar beliau. Lalu seketika dijatuhkannya ke lantai, jubah elok bertabur permata yang selama ini dikenakannya.

Memandang barisan para panglima, dengan busana hampir serupa eloknya dengan milik para Raja. Para pembesar dengan banyak gelar, para jendral besar. Nampak terlihat kembali menaikkan alis mereka, bersambung mengelus jakun tak lupa pula untuk menoleh ke kanan dan melirik ke arah kiri secara bergantian. Berusaha mencari sepasang mata yang setuju, untuk menyimpan kalimat tanya yang sama, "Ada apa dengan Kaisar kita hari ini, sebenarnya?"

Kaisar memberi tatapan nanar, memandangi satu persatu wajah para panglima besar. Dari atas kepala hingga ujung kaki, hingga membuat sebagian panglima ingin segera berlari. Sengaja sedikit memalingkan wajah, saat tatap bertemu pandang. Seakan berusaha sembunyi, karena rasa hati tengah ditelanjangi.

Kaisar meraih tongkat putih dengan permata ungu sebagai hiasan tangannya, kemudian berdiri dengan sedikit membusungkan dada lebih tinggi dari biasanya. Seperti sengaja menunjukkan diri bahwa ia-lah pemilik kekuasaan tertinggi, tanpa ada yang tahu, bahwa sang Raja masih menjaga simpanan hati dan helaan nafas yang sama. Sejenak menoleh pandang pada Permaisuri, selalu dan selalu, yang ia jumpai adalah rona muka dan senyuman yang menyejukkan hati. Kemudian mulai melangkah, menuruni lima anak tangga pembuat jeda, yang sengaja dibuat agar singgasana terlihat lebih tinggi dari kursi lainnya.

Berjalan perlahan, sekilas terlihat sepertinya Kaisar akan menghampiri para jendral besar. Tapi tidak, ternyata beliau menyerongkan sedikit telapak kakinya, dan bergerak menuju indahnya ranum dan kilau warna buah segar dalam balairung tersebut. Hati pelayan pemegang periuk buah berdegup kencang, seribu tanya bergegas menyerang … telah berbuat salah apa ia gerangan, hingga Kaisar turun dari singgasana dan sengaja menghampirinya?

Keringat dingin mulai mengucur, menyeruak keluar melalui pori-pori. Tangan, kaki, lutut semakin kuat bergetar. Sekuat tenaga bertahan, agar menjaga buah yang menjadi tugasnya, tak berjatuhan ke lantai. Saat Sang Raja semakin mendekat, terasa nafas semakin tercekat, keringat dingin semakin deras mengucur, "Apa salahku? Apa gerangan salah yang telah kuperbuat?" Gemetar badan pelayan menahan tanya di hati. Kini Kaisar pun telah berdiri tak lebih dari satu jari.

Kembali, sebuah senyuman menggurat pada wajah Kaisar. Cukup mampu untuk menghentikan keringat dingin yang keluar, hanya dengan sebuah senyuman, bersambung dengan gerak tangan penuh wibawa, saat mengeluarkan selembar sapu tangan sutra yang selama ini hanya menghias disaku baju dalamnya, dan segera … dengan tangannya sendiri ia menghapus keringat diwajah pelayan pemegang periuk buah. "Tidakkah kau lelah, sepanjang hari membawa periuk yang terisi penuh seperti ini? Adakah aku yang telah sengaja memerintah, untuk menjadikan kedua tanganmu sebagai penahan beban, sedangkan ada begitu banyak tiang-tiang penyangga didalam ruangan ini. Atau rusak kah meja yang biasa kaugunakan, setidaknya bisa kau gunakan untuk sedikit meringankan beban di tangan. Siapa yang telah memberimu perintah untuk melakukan kesia-siaan seperti ini?"

Pelayan pembawa periuk buah tak berani memberi jawaban, tatap mata pun tak berani ia buang sembarangan. Terlebih jika tanpa sengaja mencuri pandang ke arah barisan para panglima besar yang hadir dalam ruangan. Ia hanya mampu menunduk, terdiam, tanpa sepatah kata pun yang ia izinkan untuk keluar dari lisan.

Kaisar memetik sebuah anggur hijau dan melepas sebuah kurma dari manggarnya, "Tak inginkah kau merasakan buah yang selama ini kau bawa?" Pelayan segera menggelengkan kepala, saat ia sadar bahwa benar dirinya yang sedang diajak bicara.

"Makanlah, dan biarkan sejenak kuambil alih periuk yang selama ini kau bawa." Pelayan tak sempat menolak, karena Kaisar sudah lebih dulu meraih periuk besar itu. Gemetar tangan saat mencoba memetik dan menyuap satu buah anggur hijau ke dalam mulutnya, tersedak saat tanpa sengaja matanya bertemu pandang dengan salah satu panglima yang ada dalam ruangan, dan tengah menatapnya dengan penuh angkara.

"Sudah cukup, Kaisar. Rasanya begitu manis dan segar. Sekarang izinkan hamba kembali melaksanakan tugas hamba, yang telah menjadi kewajiban seorang abdi," ucap sang pelayan, mencoba mengambil alih kembali periuk yang telah menjadi pasangannya menyambung hidup selama ini.

"Kau ambillah terlebih dahulu satu meja marmer di sudut ruang itu, jangan kau lupa sertakan pula kursinya, karena kurasa seluruh penghuni dalam ruangan ini telah menempati tempat duduknya, jangan sampai ada satu ruang kosong terbuang percuma. Sungguh aku benci melihat sesuatu yang terbuang sia-sia. Jika terlalu berat, maka mintalah bantuan mereka yang sedang menatapmu untuk ikut memindahkannya ke sini. Jangan tak berani saat mengucap, karena aku tahu, kau tak cukup kuat untuk mengangkatnya seorang diri. Tunjuk siapa yang kau inginkan untuk membantumu, sampaikan bahwa ini adalah titahku,” ujar sang kaisar.

Komentar

Postingan Populer