Agenda bilik in polybag - Ketika korban bulian mewariskan kebijaksanaan.

 

“Run, Forrest … run ….” 

Jenny terus berteriak, dengan tatapan sedih memandangi punggung sahabat kecilnya, berharap sahabatnya itu mampu menyelamatkan diri dengan berlari. Menghindari timpukan batu yang terus diarahkan pada tubuh ringkihnya, memacu langkah agar bisa melebihi kecepatan teman-teman jahil yang mengayuh sepeda.

Forrest Gump terus berusaha untuk berlari, tak peduli walau sepasang sepatu besi membatasi gerak sendi. Entah, mungkin karena takut tubuhnya akan menanggung semakin banyak luka, tetapi aku lebih yakin bahwa ia terpacu untuk mengeluarkan segenap tenanga karena mendengar satu suara yang terus menyebut namanya. Dan akhirnya, di hari itu, ia mampu membebaskan dirinya. Bukan hanya dari sepatu besi yang terpasang di kaki, tetapi juga dari label dan situasi yang selama ini menyudutkannya.

Forrest kecil tumbuh lebih percaya diri dan tetap menjaga keluguan diri hingga ia dewasa. Mulai berani menentukan sendiri kisah yang akan mengisi buku kehidupannya dan menjadi bagian penting dalam sebuah sejarah tanpa perlu menunjukkan dirinya langsung pada dunia. Menjadi malaikat tanpa sayap hanya dengan menetapi setiap janji yang ia buat. tanpa sadar telah menjadi bukti untuk mereka yang masih meragukan kekuatan cinta, bahwa cinta sejati itu benar ada.

Suara Jenny kecil terus terngiang, sebentuk perhatian yang hadir di saat seisi dunia seakan enggan berkawan telah membawa Forrest pada pintu petualangan baru hidupnya. Tak pernah ia sebut semua itu sebagai perjuangan, tak pernah ia hitung setiap langkah dan usaha sebagai bentuk dari pengorbanan, karena jalan fikir sederhana yang ia miliki membuatnya memandang hidup dengan cara sederhana pula. Karena mungkin menurutnya, hidup bukanlah sebuah masalah yang harus diselesaikan, melainkan sebuah anugrah yang harus dinikmati.

Dan timpukan batu, teriakan Jenny kecil, serta detik saat sepatu besi terlepas dari kaki Forrest, semua masih tetap terbayang dalam benak, meski 26 tahun telah berlalu. Tanpa sadar telah menjadi penyemangat pribadi setiap kali menjumpai situasi seperti yang pernah ia alami. Perundungan, hinaan, berjalan tanpa kawan, kemampuan intelektual yang rendah, tetapi berani menyimpan mimpi yang tinggi. Jika Forrest Gump bisa, mengapa aku tidak?

Memar di badan mungkin akan segera pudar warnanya, tetapi sayatan lisan di hati? Aku sendiri pernah merasakannya, dan memang butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan lukanya. Namun, itu gunanya menyimpan kenangan indah, tidak … tidak … tak harus berupa manis, karena meletakkan kotoran hidung dibawah kolong meja pun sudah cukup untuk membuat kita tertawa. Iya, tertawa … cukup satu menit saja, telah mampu untuk mengusir pergi amarah dan duka dalam waktu enam puluh detik.

Seperti itu seterusnya, menjalani hidup sebaik kita mengenali diri sendiri. Meyakini setiap detiknya adalah anugerah, terus mengayunkan asa sampai tanpa kita sadari, telah turut serta menggores tinta sejarah. Berbagi kepedulian tanpa batasan, menjadi pejuang kehidupan sampai masa yang diberikan usai.

Memutus mata rantai perundungan, karena mereka yang mampu bertahan seringnya adalah bintang dimasa depan.

Komentar

Postingan Populer